Bagian 9 ~ Sulung Yang Terluka

861 230 49
                                    

Bagian 9

Sulung Yang Terluka

.

.

.

Mumta tidak bisa tidur karena tamparan tak kasat mata yang diberikan Elbiyan. Saat bertemu di meja makan dan sekarang diantar ke sekolah, Elbiyan bersikap seperti orang benar yang tidak melakukan kesalahan apa-apa.

Lalu Mumta sadar, dia tidak harus menuntut permintaan maaf karena Elbiyan melakukan hal benar.

Mengingatkannya dari keburukan memikirkan suami orang.

"Masih memikirkan kata-kataku semalam?"

Diam adalah jawaban yang Elbiyan terima. Lelaki itu kembali bersuara. Namun, suaranya bertabrakan dengan suara Mumta yang juga membuka mulut.

"Kamu sepertinya ahli sekali menyakiti hati perempuan. Kamu tidak tahu kalau hati perempuan itu lemah, setipis kaca yang tergores sedikit langsung pecah. Apa kamu tidak memikirkan dampak dari ucapan kamu?" Emosinya meluap-luap. Namun, Mumta menahan agar tidak berupa teriakan. Marahnya perempan harus elegan. Tidak harus mencak-mencak untuk membela hati.

Elbiyan mengulum tawa kecil.

"Justru karena aku perhatian dengan mereka, makanya seperti itu. Mumta, terkadang hati harus diingatkan dengan keras supaya tidak berlebihan. Maksudku, tegas. Kalau tidak, akan lebih jauh terlena oleh sesuatu yang bukan seharusnya."

"Mengingatkan tidak harus seperti itu."

"Bunda sudah menasehati kamu berkali-kali. Tapi, tidak mempan. Giliran aku yang mengatakannya, kamu langsung memikirkan. Terbukti, kan?" Garis bibir Elbiyan naik dengan angkuh. Nadanya juga tidak jauh beda. Mumta kembali di cubit di sudut hati.

"Ya paling tidak pakailah sedikit kelembutan, biar kata-katanya meresap tanpa menyakitkan."

Elbiyan membelokkan stiur, memarkir mobil tepat di depan gerbang.

"Mumta," panggil Elbiyan.

"Apa?"

Elbiyan sangat senang mengetahui Mumta menimbang perkataannya semalam. Berarti dia ada andil di dalam perbaikan hati Mumta. Dia pun sadar caranya salah, maka selanjutnya inilah yang harus dilakukan.

Meminta maaf.

"Maaf," ujarnya tulus.

Mumta berusaha mencerna baik-baik. Dia tidak mau malu karena salah mendengar.

"Maaf, Mumta," ulang Elbiyan sambil memegang kedua ujung telinga. "Untuk kata-kataku yang kamu bilang menyakitkan."

Mungkin rahang Mumta sedikit turun melihat keanehan yang terjadi. Seseorang keras kepala dan selalu benar mendadak meminta maaf?

"Sudah takjubnya. Bel masuk sudah bunyi."

Mumta kembali ke permukaan ketika telapak tangan Elbiyan mengelus kepalanya yang berlapis jilbab coklat. Kelopak mata naik-turun sebelum tubuhnya berlalu menuju kelas.

Di kelas pun, perubahan Elbiyan masih membayangi hingga mendistraksi cara mengajarnya.

"Ibu Mumta," seorang anak menarik-narik ujung baju Mumta. Mendekap buku di dada.

Mumta melipat kaki. Berjongkok mensejajarkan tinggi dengan anak didik tersebut. Sebab, posisi ini akan membuat anak kecil merasa dihargai, dihormati, sehingga mereka lebih leluasa untuk berkomunikasi. Alhamdulillah, ternyata masih banyak ilmu kuliah yang tersangkut di kepalanya.

Al MumtahanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang