tujuh

2.5K 291 36
                                    

Tiara termenung di atas ranjang miliknya. Ingatannya kembali pada tindakan Zaki yang membuatnya kembali merasa terancam. Ia meremas selimutnya lalu memukul guling yang ada di sebelahnya. Ia merasa gagal menjaga diri. Ia selalu saja merasa malu karena masih mendapat gangguan walau sudah menutup aurat sekalipun.

"Tiara, makan dulu yuk?"

Pintu kamar Tiara terbuka menampilkan Hendra yang baru saja tiba dengan membawa nampan berisikan makan malam. Hendra sudah mendengar kabar tentang putrinya dari Rini. Hendra yang tengah mengadakan rapat di kantornya langsung ia hentikan setelah mendapatkan telepon dari guru Tiara. Ia langsung melesat ke sekolah untuk menjemput Tiara.

"Maafin Tiara ya, Pak." Hendra tersenyum miris melihat keadaan putrinya yang kembali terguncang. Ia merasa belum becus dalam menjaga putri semata wayangnya.

"Tiara nggak salah," ujar Hendra seraya menarik tubuh Tiara ke dekapannya. Sebelum itu ia meletakkan nampan yang ia bawa ke atas kasur.

"Mama pasti sedih ngeliat anaknya nggak bisa jaga diri." Hendra merasa hatinya kembali terkoyak kala mendengar ucapan rasa bersalah dari putrinya. Ia tidak pernah menyalahkan Tiara dalam hal apapun. Kebahagiaan putrinya nomor satu.

"Mama justru sedih kalo liat anaknya sedih," ujar Hendra berupaya menghibur Tiara.

Yang Tiara butuhkan saat ini adalah sosok Ayah. Sosok yang berperan penting dalam skenario panjang kehidupan seorang putri. Pelukan hangat menenangkanlah yang mampu membuat Tiara merasa dirinya aman untuk saat ini. Di saat berada di dekat sang ayah, Tiara tak akan merasa takut karena ayahnya lah yang akan melawan untuk melindunginya.

"Jangan pernah nyalahin diri kamu sendiri. Bapak ngerasa sakit hati kalo liat kamu terus-terusan ngerasa sedih," ujar Hendra seraya mengusap lembut punggung Tiara.

"Demi kebahagiaan kamu, Bapak pasti akan berusaha keras agar semua keinginan kamu terwujud."

"Makasih Bapak."

"Sama-sama, Sayang."

***

Raka memijat pelipisnya pelan. Walaupun ia sering dihadapkan dengan banyaknya kertas-kertas yang meresahkan, tetapi dihadapkan dengan setumpuk kertas ulangan harian para muridnya membuat Raka semakin pusing.

"Emang bukan jurusan gue," gumam Raka.

Saat sibuk memasukkan nilai ke dalam rekapan, atensinya tertuju pada kertas milik Tiara. Ia akui bahwa Tiara memiliki tulisan yang rapi, hanya saja jawabannya hampir tidak ada yang benar. Ia pun kembali teringat kala gadis itu dipinta untuk membuat karangan dalam bahasa Inggris, tetapi yang gadis itu buat adalah karangan singkat yang benar-benar ngarang.

Nama: Tiara Anindita
Kelas: 11-IPS 2
Mapel: Bahasa Inggris

Wish a does who wrong?
Next who wrong, a does the seek.
Been she gear and awake is so she had

Dari setiap kata memang tidak ada kesalahan dalam penulisan, hanya saja menjadi kalimat yang tidak beraturan dan tidak nyambung dengan artinya. Apalagi cara Tiara membaca hasil karangannya dengan begitu bangga.

"Wis adus horong? Nek horong, ados disek. Ben seger and awake iso sehat."

Setau Raka, kalimat pertama memiliki arti, 'Sudah mandi belum?'.

Raka menggelengkan kepalanya cepat begitu menyadari dengan apa yang ia baru saja pikirkan.

"Astaghfirullahal'adzim, sadar Raka."

Raka memang tinggal sendiri di apartemen yang ia beli beberapa bulan yang lalu sebelum ayahnya jatuh sakit. Ia merasa bahwa ia perlu mandiri di saat usianya yang sudah tak lagi muda.

Ting

Raka mengalihkan perhatiannya pada ponselnya yang baru saja muncul notifikasi dari WhatsApp. Tangannya bergerak menyentuh layar untuk membuka pesan yang masuk dari nomor asing.

From: +62-812-3343-xxx
[Makasih, Pak.] 23.45
[Maaf ngerepotin.] 23.45

Raka mengerutkan keningnya. Setelah ia melihat username pemilik nomor pun langsung mengenali diapa pengiriman pesan.

To: +62-812-3343-xxx
[Knp blm tdr?] 23.46
[Tiara?] 23.46

Tak kunjung mendapatkan balasan pun akhirnya Raka mematikan ponselnya dan memasukkan ke dalam tasnya.

***

Keesokan harinya Raka berangkat ke rumah sakit pagi-pagi sekali untuk menjemput ayahnya setelah satu Minggu dirawat karena penyakitnya. Raka menyetir mobilnya dengan kecepatan sedang. Begitu sampai di rumah sakit, Raka bergegas menuju ruang rawat Wahyu yang berada di lantai dua.

"Assalamu'alaikum," ucap Raka.

"Wa'alaikumsalam, Raka."

Raka berjalan mendekat ke arah Wahyu yang tengah duduk di sofa bersama salah seorang temannya yang Raka tak ketahui namanya. Ia pun mencium punggung tangan Wahyu dan Indri—ibu Raka—kemudian disusul mencium punggung tangan teman Wahyu.

"Wah, putramu sudah dewasa ternyata. Dulu waktu terakhir ketemu, dia masih SMA."

Raka tersenyum simpul menanggapi ucapan teman ayahnya.

"Oh ya, Raka. Perkenalkan, namanya Om Hendra Adiwijaya. Pemilik hotel lucyfound di Jakarta," ujar Wahyu guna memperkenalkan sahabatnya pada sang Putra.

"Saya Raka," sahut Raka sembari membalas uluran tangan dari Hendra.

"Kamu katanya gantiin ngajar ayahmu di sekolah? Kenal putri saya tidak?" tanya Hendra.

"Putri Om? Siapa?"

"Hendra ini Ayahnya Hanindita, Rak." Raka sontak membulatkan matanya terkejut dengan ucapan ayahnya.

"Tiara Hanindita?" tanyanya guna memastikan.

***
—tbc

Jangan lupa komen dan vote karyaku ya teman-teman!
Ada yang mau mutualan ig? Bisa komen biar aku follow duluan.

Raka Untuk TiaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang