EMPAT BELAS

38 1 0
                                    

Mata Aretha bergerak awas saat melihat isi rumahnya yang masih sepi. Ia melirik pada kamar paling ujung, yang merupakan kamar Fiqih.

"Orangnya udah bangun belum, sih?" Tanya Aretha sendiri.

Ia berjalan mendekat pada kamar itu. Pintu coklat itu tidak tertutup sepenuhnya, memberikan akses pada Aretha untuk mengintip sedikit.

Bibir Aretha mulai naik, saat ia melihat Fiqih yang masih terlelap di atas kasur lelaki itu. Ia dengan segera membuka perlahan pintu kamar itu.

Aretha masuk. Menutup sedikit pintunya, agar tak terlalu menimbulkan jejak. Ia berjongkok, dan mulai berjalan ke arah meja belajar Kaka nya itu.

"Dompetnya dimana, ya?" Gumam Aretha kecil.

Ia berjalan mendekati meja belajar. Aretha melirik lagi pada Fiqih, takut lelaki itu tiba-tiba bangun dan mengejutkan nya.

Aretha sedikit berdiri, untuk mensejajarkan diri dengan meja kayu itu. Matanya melihat-lihat meja yang penuh dengan buku tebal khas anak kampus.

"Kuat aja lagi, dia belajar beginian." Cicit Aretha.

Tangan Aretha bergerak untuk membuka sedikit celah-celah buku tebal itu. Ia meneliti semua celah agar tak ada satupun yang tertinggal.

Aretha tersenyum senang saat menemukan dompet biru Dongker yang terselip di antara 2 buku tebal. Langsung saja, Aretha mengambil dompet itu dan melihat isi kantong Kaka nya.

Aretha mengerutkan keningnya. "Kasian banget cuma punya 80 ribu." Gumamnya. "Gak tega, tapi gue laper."

Aretha buru-buru mengambil uang 30 ribu dari dompet Fiqih. Ia menaruh kembali dompet itu di tempat semula.

"Beruntung banget dia punya Adek kaya gue, yang cuma ngambil 30 ribu. Orang lain mah pasti ngambil gocap nya." Gumam Aretha menengok pada Fiqih.

Aretha kembali berjongkok, dan berjalan perlahan-lahan menuju pintu kamar agar ia bisa dengan segera keluar.

"Thanks Bambang." Cicit Aretha.

Aretha segera menutup rapat pintu kamar Fiqih, setelah ia berhasil keluar dari kamar itu.

Perut Aretha sudah berbunyi. Aretha melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah delapan pagi. 07.30

Aretha menuju dapur, untuk membasuh wajah dan meminum beberapa tenggak air minum.

"Dahlah. Gue laper."

Bermodalkan baju tidur, dan uang 30 ribu, Aretha bergegas untuk keluar rumah. Tak lupa, ia mengunci pintu rumah itu agar sang Kaka yang berada di kamar tetap aman.

Sinar matahari yang menyilaukan mata itu, tak menyurutkan niat Aretha. Ia justru menikmati hangatnya matahari pagi, agar kulitnya ikut hangat.

"Pagi Neng Senja."

Bella mengangguk. "Pagi, Pak. Bapak mau kemana?" Tanya Aretha sopan.

"Mau keliling, Neng. Sekalian berjemur. Neng Senja mau kemana, toh?"

"Oh, aku mau ke depan, Pak. Mau sarapan."

Pak satpam itu tersenyum. "Kalo gitu, Bapak duluan ya, Neng. Sekalian jagain komplek. Monggo."

Aretha tersenyum. "Silahkan, Pak."

Terkadang, Aretha sedikit menyesal dengan nama panggilan orang-orang komplek terhadapnya.

Dulu, sewaktu Aretha baru pindah kesini, ia meminta mama nya u tuk memperkenal nya kepada para tetangga dengan nama Senja. Itu waktu usianya sekitar 5 tahun. Masih sangat kecil.

FAJAR UNTUK SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang