Memilih Kebahagiaan

1.1K 127 2
                                    

Pagi ini aku mendapatkan video call dari Mark. Sungguh, aku tidak berbohong jika aku sangat merindukan pria itu. Sayangnya, aku merasa cemburu ketika dia mengenalkan seorang gadis dan mengaku sebagai teman barunya yang bernama Claudia. Ya, Mark memilih untuk melanjutkan kuliah di Canada sembari bekerja.

Sebetulnya aku merasa senang ketika dia memiliki teman baru atau lebih sekedar dari teman dekat. Hanya saja aku merasa kehilangan perhatiannya akhir-akhir ini.

Apakah aku terlalu egois?

Ketika dia merelakanku untuk mencari kebahagiaanku sendiri, aku justru merasa cemburu di saat dia mencari kebahagiaannya di sana.

Meskipun statusku sudah menjadi istri dari Jefri. Aku sama sekali tidak mengharapkan apapun darinya karena kalian tahu sendiri bagaimana sikapnya kepadaku sejauh ini. Bagaimana dia memperlakukan aku akhir-akhir ini.

Jangan salahkan aku jika aku merasa asing ketika bersamanya. Rasa cinta yang tumbuh untuknya kini mulai menghilang.

Setelah kami pulang dari kediaman keluarga Wijaya, Jefri sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya. Dia terlihat aneh setelah berbincang dengan Kak Ten dan tiba-tiba mengajakku pulang padahal aku belum berbicara dengan kakakku perihal mantan kekasihnya itu.

Aku terkesiap saat seseorang menyambar secangkir kopi di tanganku dengan sengaja. "Aku lembur. Tidak usah menungguku pulang. Lakukan tugasmu dengan baik untuk menjaga Yuno. Hari ini aku tidak mengijinkan kamu keluar dari rumah." Dia berbicara dengan nada yang terlihat tidak bersahabat.

"Jefri, aku har—"

"Masalahmu di toko sudah aku tangani. Fokusmu sekarang hanya Yuno. Masalah uang biar aku yang penuhi." Belum sempat aku menyelesaikan protesanku. Lagi dan lagi dia seenaknya memotong ucapanku.

"Bukan itu masalahnya. Apa kamu tidak sadar? Kamu benar-benar mengekangku Jef. Kamu melarang aku melakukan kegiatan yang aku mau. Tolong berhenti untuk melakukan itu atau aku akan—"

"Akan apa? Apa yang bisa kamu lakukan?" selanya.

Begitukah caranya dia meremehkanku?

"Statusmu seorang istri meskipun hanya sebuah status tapi seharusnya kamu paham itu. Rasanya tidak perlu aku jelaskan lagi kan?" Ia memperlihatkan sorot matanya yang selalu aku benci.

"Untuk apa? Kamu saja tidak menghargaiku sebagai istrimu. Urusi saja urusanmu. Jangan pernah melarangku karena aku tidak akan mendengarkanmu mulai detik ini. Jangan khawatir terhadap Yuno. Dia akan tetap menjadi prioritas utamaku." Aku menatapnya sengit seperti menatap musuh di hadapanku yang siap untuk diterkam.

"Baik kalau itu maumu. Jangan salahkan aku dan terima sendiri akibatnya." Jefri menatapku tak kalah sengit kemudian berlalu meninggalkanku sendirian di ruang makan dengan segelas kopi yang sama sekali belum dia minum.

"Laki-laki kurang ajar," geramku.

Aku memilih untuk mengirimkan pesan kepada Tian. Masa bodoh dengan apa yang akan Jefri lakukan setelah ini. Peduli setan dengan Jefri. Dia pikir aku ini bonekanya yang seenaknya bisa dia mainkan?

Jangan harap!

Jika dia bersikap seperti itu padaku, aku tidak akan terima karena mulai detik ini aku mengibarkan bendera perang dengannya.

To : Pak Tian.

Tian, bisa kita bertemu?





-----------------------------

"Bagaimana kabarmu, Al?" Sebuah sapaan yang menurutku begitu basi.

Brother In Law | Jung Jaehyun ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang