Kembali

1.3K 115 2
                                    

Hai, kalian semua apa kabar?

Rasanya sudah lama sekali aku tidak bertegur sapa dengan kalian lewat dunia oren ini. Adakah yang merindukanku? Berbulan-bulan lamanya aku tidak memberi kabar, barangkali ada yang penasaran dengan kabarku saat ini.

Ya, aku merasa jauh lebih baik. Setelah melewati berbagai rintangan dan masalah yang datang silih berganti pada akhirnya hanya ada satu nama yang bisa menjadi tempat tumpuan hidupku.

Dia Sena, kakak sekaligus teman satu-satunya yang aku miliki. Rupanya, rasa tertarik yang dulu sempat hadir kini semakin tidak terbendung.

Tidak masalah kan jika aku mencintainya? Lagipula tidak ada yang bisa melarangku untuk melakukan itu. Aku ingin melanjutkan hidupku di masa depan dan tolong, jangan pernah sebut nama pria itu lagi karena aku sangat muak dengannya dan tidak mau tahu tentangnya lagi.

"Bunda?" Suara gemas dari bocah yang sedang digendong Kak Sena membuat pandanganku teralihkan. Kaki jenjang pria itu berjalan menghampiriku yang sedang duduk bersantai di sofa ruang televisi.

"Halo sayangnya Bunda! Bagaimana sekolah hari ini, heum?"

Namanya Elena, bocah menggemaskan berusia empat tahun yang selalu marah jika dipanggil dengan nama lengkap. Anak ini selalu protes jika aku atau pun Kak Sena memanggilnya seperti itu. 

"No Elena, Ayah, Bunda. Panggil aku El, seperti Bunda Al."

Entah mengapa bocah ini tergila-gila dengan sebutan El dibanding nama lengkapnya sendiri.

Melihat pergerakan Elena yang mulai mendekatiku. Kak Sena segera memberikan ultimatum. "Hati-hati sayang, jangan seperti itu lagi. Kasihan adik yang ada di perut Bunda."

Elena beringsut mundur menjauhi Kak Sena yang baru saja melakukan aksi protes padahal aku tahu bahwa pria itu tidak marah sama sekali. Kak Sena hanya mencoba untuk memberikan peringatan kecil agar Elena tidak melakukan hal seperti tadi. Hampir saja dia menendang perutku. Aku yakin dia tidak sengaja melakukannya.

"Ayah nakal ya? Nanti biar Bunda marahi."

"Jangan terlalu memanjakannya, Al." Sebuah protesan dari Kak Sena sukses membuat senyumku terbit. Sejak dulu aku tidak pernah memanjakan anaknya.

"Aku? Aku tidak, Kak. Kamu yang terlalu berlebihan. Jangan bertindak seperti itu. Dia masih belum mengerti kalau di perutku ada adiknya. Kakak harus bisa lebih sabar, kita coba lagi beri dia pengertian."

"El, mau es krim kah?" tanyaku mengalihkan topik agar bocah itu tidak menangis.

"Boleh Bunda?" cicitnya pelan. Ia melirik ke arah sang ayah sesat. Tapi apa yang di dapat, hanya sebuah gelengan yang artinya ayahnya tidak mengijinkannya.

Aku menghela napas pelan. Akan seperti ini jadinya kalau mereka berdua sudah berperang dingin. Mau tidak mau harus aku yang maju merayu Kak Sena supaya hatinya luluh.

"Tentu saja boleh. Adik El juga mau es krim." Usapan lembut aku berikan di perutku yang semakin membuncit ini. Aku sedang tidak berbohong. Beberapa hari belakangan ini aku sangat suka sekali memakan makanan yang manis.

Celotehan semangatnya itu kembali terdengar. "Yeay! Ye ye! El mau es krim, Ayah!" 

Ku lirik ayahnya sesaat, dia menatapku dalam diam. Tanpa suara aku meminta ijin padanya. "Boleh kan, Ayah?" Seolah tahu jika aku sedang mengidam, dia mengangguk setuju.

Apapun yang aku inginkan, Kak Sena akan berusaha mati-matian untuk memenuhinya. Pria ini benar-benar menjadi ayah yang siaga.

"Boleh, tapi janji jangan terlalu banyak," jawabnya.

Brother In Law | Jung Jaehyun ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang