Chapter 1

574 33 4
                                    

"Lihat tuh, si anak culun sudah datang! Kalian siap?" ucap Risma memberikan aba-aba pada anggota gengnya untuk melakukan rutinitas mereka sebagai penguasa kelas.

"Oke! Satu, dua, tiga."

Bluk! Byur ....

Tubuh mungil dan culun basah akibat ulah geng Risma, tanpa perlawanan membuat sang gadis tersebut kedinginan dan melangkah menyeret lantai. Dari raut wajahnya tampak jelas akan kekesalan sebagai orang yang tertindas setiap hari, tapi apa daya perlawanan akan menambah masalah jika harus berurusan dengan geng paling menakutkan seperti mereka. Dalam hati berkata bahwa diri ini tercipta hanya menjadi barang hinaan semata, tak pernah keadilan datang untuk menemaniku dalam hidup kelam ini.

Isak tangis ambil andil dalam wajah, serta air mata mengering bercampur aduk dengan air tumpahan para pembuat onar tersebut. Seragam yang sudah basah membuat diri ini tak mampu berkata lagi selain pasrah dan menunggu ajalku tiba, diskriminasi sebagai manusia lemah membuat diri ini menjadi sarang hinaan, cacian, makian dan bullyan semua orang. Langkah lebar membawa badan yang kuyup untuk duduk paling belakang kelas, di mana bangku itu hanya satu dan tak ada satupun siswa dan siswi sudi untuk menemani diri ini dari samping.

Merasa dikucilkan karena aku miskin, jelek, dan kampungan. Sejak awal masuk ke sekolah unggulan aku berharap bahwa diri ini bisa menjadi kebanggaan orang tua, bukan malah menjadi bahan permainan orang banyak. Mendikte Tuhan berulang kali akan perjalanan panjang, jatuhnya membuat diriku tak percaya akan kuasa-Nya di bumi semesta ini. Banyak mata, telinga dan mulut tapi tak satupun mau menolongku.

***
Kring ...
Kring ...

Pelajaran pertama dimulai, Pak guru yang membawa materi matematika melirik ke arahku berulang-ulang. Entah apa maksudnya melakukan itu, tapi yang pasti aku mencoba tak menghiraukannya. Tatapan fokus menuju kertas putih serta pena yang mulai bergerak sendiri, awalnya aku sangat terkejut akan hal itu. Seumur hidup ini barulah menatap jelas ke anehan terjadi di depan mata, rasa penasaran menghujani jiwa.

Ssssiiiihhhh Haaaaahhhhhh

'Suara aneh apa itu? Kok, bunyinya seram sekali.' Batinku berdialog dengan hati.

Ssssiiiiihhhh Haaaahhhhhhh

'Kok, suaranya semakin dekat.' Celotehku lagi.

Sontak bulu kudu meremang, desahan suara seperti angin yang datang perlahan membuat diri ini tak sanggup jika berdiam saja. Aku pun langsung berdiri dan berlari dua langkah dari meja saat ini, kedua tangan menekan kepala dan badan tumbang membentur kursi salah seorang siswa.

Gubrak!!!

"Tidak, tidak, tidaaaaaakkkk!" teriakku takut mengarah meja belajar yang mengeluarkan suara berdesik berulang-ulang.

"Vin, bangun, Vin." Ucap salah seorang siswa cantik berhati lembut, dia menatap kedua bola mataku tajam dengan heran.

"Gue, di mana, Bell?" aku nanya pada Bella yang kala itu ada di samping tubuhku.

"Loe, lagi ada di ruang UKS. Tadi Loe, pingsan ketika pelajaran matematika. Dan Pak Burhan menyuruh gue jagain Loe, di sini!" balasnya membuatku sangat bingung.

"Bell, gue kenapa ya?" aku nanya bertubi-tubi.

'Dia hanya menggelengkan kepala karena tak tahu apa yang sedang aku alami sekarang.'

***
Pagi telah tiba, aku sudah siap untuk pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Karena keterbatasan biaya membuat diri ini harus siap untuk hidup susah, sekolah karena beasiswa aku dapatkan ketika menjuarai olimpiade beberapa bulan yang lalu. Untuk menuju ke sekolah aku berjalan kaki saja, meski jarak gedung tempatku menimbah ilmu tak begitu jauh, lelah juga bila diri ini tak memiliki mental serta kesehatan yang sangat stabil. Di sekolah, aku dikenal anak yang pendiam, tertutup, serta berpenampilan culun dengan rambut berkepang dua.

Bisa masuk sekolah unggulan jurusan IPA membuatku sangat giat belajar, apalagi diri ini adalah salah satu anak kesayangan guru pelajaran IPA yaitu, Bu Santi. Dia adalah orang tua keduaku di sekolah, darinya aku mendapatkan uang jajan meski tak terlalu banyak setidaknya cukup untuk membeli gorengan dan roti sebagai pengganjal perut. Sepulang sekolah aku bekerja di salah satu toko roti dekat rumah, untuk membantu biaya hidup seorang Mama yang sudah janda dan sisa uangnya untuk menabung agar bisa kuliah dan menjadi insinyur seperti ketika ucapan Ayah sebelum meninggal dunia.

Aku, Ervina Mawar Ningrum. Bersuku jawa dan tadi baru saja meneguk segelas kopi bersama Mama, tak punya saudara karena aku terlahir semata wayang. Menduduki pringkat satu di sekolah tak membuatku tersohor dan dihargai layaknya manusia, para siswa dan siswi mengolok diri ini karena penampilan, materi dan dandanan. Memakai rok panjang dan baju panjang serta rambut di kepang dua menemani penampilan ini sepanjang hari belajar menimbah ilmu.

Tak lama berjalan kaki akhirnya aku sampai di depan sekolah tepat waktu, melintas pintu gerbang dengan suasana pagi sangat mendung membuat diri ini sedikit malas beranjak dari tempat tidur. Dari ujung mata tampak jelas seorang wanita berbaris rapi memakai pakaian merah, jumlah mereka adalah tujuh orang dengan masing-masing membawa pisau yang sepertinya sangat tajam. Melihat ke arah mereka malah membuyarkan isi otakku, berkedip berulang-ulang serta memutar badan membelakangi pemandangan aneh itu.

Ketika aku memutar kembali 360 derajat tetap sama, mereka masih saja berbaris membuat langkah ini berhenti di tengah halaman sekolah. Karena aku adalah siswi yang datang lebih dulu suasana sekolah sunyi tanpa ada seorang siswa pun yang melintas bersamaku. Saking takutnya tubuh hanya diam, menatap semakin dalam dan semakin terhanyut akan gelagat penampakan sosok menyeramkan penuh darah berserakan di lantai. Darah yang keluar dari tangan mereka mengalir dan buyar di selokan gedung dan tiba-tiba,

Ten ....
Ten ....

"Woi! Minggir Loe, mau mati berdiri di situ?" teriak geng yang paling aku takuti di sekolah ini. Ya, mereka adalah Risma dkk sebagai siswi terkaya.

Tanpa balas kata kaki ini melangkah minggir dan menepi di bawah pohon bunga kertas berwarna merah, aku yang merasa sangat terkejut membuat pandangan buyar akibat diri ini tak bisa berpaling dari penomena menyeramkan itu.

'Astaga! Syukur gue nggak mati ditabrak mereka, huh ...' celotehku dalam hati.

Aku kembali berjalan menuju anak tangga gedung sekolah, kala itu wanita berpakaian merah yang tadinya berbaris sontak menghilang begitu saja. Diri ini memberanikan diri untuk segera sampai di anak tangga tersebut. Sepanjang aku belajar di sekolah baru pagi ini melihat yang seperti itu, sebelumnya aku tak pernah merasakan aneh atau apapun itu. Mungkin karena aku terlalu kecapean atau tadi malam menonton film horor hingga tengah malam, sehingga pandangan seakan memutar hantu yang ada di film tersebut.

Selang beberapa menit, aku pun sampai di anak tangga pertama dengan melintasi toilet kosong di samping tangga tersebut. Berselisih beberapa detik kedua bola mata tengah melihat seorang wanita sedang menyisir rambutnya di dalam toilet dengan kursi yang sudah rusak di sana. Langkah kembali terhenti 'kok, di dalam situ seperti ada orang ya. Sedang menyisir rambutnya lagi. Celotehku dalam hati.

'Vin ....'

"Suara apa itu?"

'Vin ....'

"Siapa?"

Pertanyaan yang tak kunjung ada jawaban membuat kaki ini mundur untuk menoleh dari dua langkah ke belakang tubuh, lirikan yang sengaja terbuang membuat diri ini sangat penasaran akan wanita yang tadinya aku lihat sepintas. Ketika aku sampai di depan pintu, tak ada siapa pun di sana. Yang ada hanyalah bangku kosong rusak tak digunakan lagi, aku pun semakin heran dan bulu kudu meremang tak mau berhenti.

Tujuh Arwah Dalam Jiwaku (THE ROYAL AWARD WINNER 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang