Chapter 4

261 12 0
                                    

Bella POV

Suasana menuju rumah kembali melintas dari arah jalan yang ketika tadi aku lewati, dengan merasa sangat aneh isi kepala masih dihujani oleh hal tersebut. Menginjak gas mobil sangat kencang membawa diri ini melesat dua kali dari biasanya, sepertinya akan telat pulang ke rumah dan Bokap akan mengomel di sana. Tanpa menoleh kanan dan kiri aku tetap fokus menyetir mobil itu, bercak yang menempel pada kaca mulai mengering karena terpaan angin dan terik matahari muncul di sepanjang jalan hutan Akasia.

Ssssshhhhh hhhhhaaaaa

'Suara apa itu! Kok, sepertinya dekat sekali denganku.'

Ssssshhhhh hhhhhaaaaa

'Allah huakbar .... Allah huakbar .... Allah huakbar ....'

Sambil berzikir dalam hati aku tetap santai, meski batin tengah seperti diperhatikan oleh seseorang yang tak tampak jelas dari kedua bola mata membuatku sangat heran. Tak sedikitpun takut itu ada, akan tetapi malah menambah adrenaline ini untuk mengetahui akan siapa yang tengah bermain gaib dengan diriku. Tetesan lendir jatuh dari atas atap mobil mengenai pundak ini, tangan kiri meraih dan mencium cairan lengket itu. Setelah sadar bahwa cairan itu merah, aku yang terkejut seperti melihat seorang gadis tengah melintas dari arah depan mobil.

"Tidak ...."

Gubrak .... sontak ban mobil berhenti dan mesin mati seketika, aku yang tengah menabrak seorang gadis berpakain serba merah membuat diri ini takut akan masuk penjara nantinya. Rasa penasaran membuat kedua kaki untuk membuka pintu mobil dan keluar sangat perlahan, berjalan mengendap-endap melintasi aspal dan menoleh ke arah bawah ban mobil. Sudah pasti gadis itu masuk di bawah kolong mobil milikku dan tergilas hancur, yang anehnya setetes darahpun tak ada di sekitar kejadian. Aku jongkok dan menatap bawah lorong mobil milikku, dan di sana tak ada siapa-siapa.

'Sepertinya aku tengah berkhayal, tapi tadi nyata kok, bahwa gadis itu tertabrak mobilku.' Celoteh terus bersiteru dengan hati tanpa henti.

Karena tak ada sang gadis itu membuat tubuh untuk kembali berdiri dan menatap ke arah mobil milikku, tangan kiri kembali menyentuh darah yang tadinya menetes di pundak ini. Aku mencium lagi aroma cairan amis itu, setelah darah mulai hilang dengan sendirinya tengah ada yang menarik kaki kiri ini erat sampai aku tak bisa berjalan. Gubrak .... tubuhku terjatuh dan membuat kulit tersayat aspal hitam.

"Tolong ...." teriakku.

"Tolong ...."

"Tolong ...."

Tak ada satu orang pun melintas di area lokasi hutan Akasia, kicauan burung yang sangat menyeramkan menyergap kedua telinga ini. Kala itu tengah ada gagak berwarna hitam terbang dan turun di depan hadapan mata ini, dia yang seperti ingin berbicara padaku tapi itu hanyalah sebuah isyarat untukku mengikutinya menuju hutan tersebut. Selang beberapa menit berteriak akhirnya tengah ada sebuah mobil merah datang dan berhenti di samping diri ini, sontak pengendara itu turun dari mobilnya dan menemuiku saat ini.

"Tolong ...." aku kembali teriak kesakitan akibat cakaran sebuah tangan yang muncul seketika dari aspal hitam tersebut.

"Hei, kamu kenapa?" tanya seorang gadis berseragam SMA yang tadinya melintas dan berhenti karena melihatku terjatuh kesakitan.

"Tolong, gue." Isak tangis ikut ambil andil dalam peristiwa kelam hari ini, air mata tak sudah-sudah terus mengalir dari lekuk pipiku.

"Loe, terjatuh ya?" dia mulai nanya lagi sambil membangkitkan tubuhku yang mulai terasa sangat lemah tak berdaya.

"I-iya, tadi gue menabrak gadis memakai gaun merah di sini. Pas gue keluar tapi gadis itu nggak ada!" sahutku lirih sangat heran dan gemetar.

"Suuuutttt ...." dia menutup mulutku dan berbisik untuk tidak melanjutkan perkataan ini.

Sontak dia menggandeng tangan kiriku dan hendak mengajak menuju mobilnya di samping jalan aspal hitam, dia menarik paksa dan membuka pintu untukku segera masuk. Karena diri ini sangat penasaran akhirnya mengikuti dia juga untuk memasuki mobil miliknya berwarna merah muda.

"Nama gue, Sella." dia menyodorkan tangan kanan dan berkata sangat pelan kepadaku.

"Gue ... Bella," sahut mulut dengan nada lirih karena mengikuti gelagatnya barusan. Sepertinya dia akan mengatakan sesuatu hal padaku sehingga diri ini akan mengikuti caranya berbicara tanpa mengeluarkan nada yang sangat keras.

"Ketika Loe, melintas di sini. Usahakan jangan pakai apapun yang berkaitan dengan warna merah!" dia menjawab teka-teki yang ada dalam isi otakku tadi bersama Helena ketika melintas bersama mobil merahku.

"Ma-maksud Loe, gimana ya?" tanya mulut ini sangat penasaran.

"Jadi gini, dulu. Sekitar 10 tahun yang lalu telah terjadi pemerkosaan 7 gadis memakai gaun merah, awalnya mereka adalah siswi SMA yang akan melaksanakan ulang tahun. Ketika mereka pulang dari hutan Akasia ini tiba-tiba mereka dibunuh dan diperkosa oleh para penjahat, dan mayat mereka bertumpukkan di area tengah hutan. Sehingga setiap yang melintas area ini dengan memakai sesuatu berwarna merah siap-siap akan celaka!" jawabnya menambah adrenaline ini tumbuh dan memuncak.

"Terus ... urusannya sama gue, apa?" cetusku bertubi-tubi.

"Lihat itu!" dia menunjukkan jarinya pada sebuah pondok yang tampak sangat kecil terlihat samar-samar dari balik mobil.

"Kenapa sama pondok itu, Sell?" aku mulai ngegas penasaran.

"Di sanalah terjadinya pembantaian tujuh gadis yang gue maksud tadi, gue harap Loe, nggak melanggar peraturan pituah di sini. Setiap yang berwarna merah melintas akan kena imbasnya meski orang itu nggak salah apa-apa!" tegasnya memberitahu soal larangan sejak sepuluh tahun terjadi.

"Oh. Begitu, kalau boleh tahu kamu siswi mana ya? Kok, gue nggak asing lagi sepertinya!" sosor mulut memotong ucapannya.

"Gue, siswi SMK teladan. Kalau Loe?" tanyanya.

"Gue, dari SMA tunas bangsa!" jawab diri ini lirih.

"Wah bagus dong, sekolah paling ternama. Soalnya gue— nggak lulus ketika seleksi. BTW-berarti Loe, anak konglomerat dong bisa masuk sana!" dia mulai ngegas ucapannya.

"Ah, nggak juga kok, Sell. Biasa saja," sahut mulut sambil memperbaiki hijab yang mulai sedikit kendor akibat tarikan dahsyat makhluk aneh.

Setelah berbincang panjang lebar kedua bola mataku melirik arah jendela dan tampak jelas seorang gadis merapatkan wajahnya yang hancur di balik kaca mobil milik—Sella.

"Sell, itu ... itu, itu ...." tunjuk jari ini menutup kedua mata."

"Sepertinya mereka sedang berada di sini, Bell. Loe, pegang garam ini." Sodornya meletakkan segenggam garam putih.

Kami membuka pintu mobil den berjalan perlahan menuju kendaraanku, kabut putih kembali menyergap tubuh. Dengan berdiri menempel dibalik badan Sella, kami seperti tengah dikelilingi oleh gadis berpakaian merah tanpa kepala dan membawa pisau tajam berlumuran darah, kaki ini gemetar setengah mati melihat ke arah mereka.

"Tolong saya ..." ucap suara lirih entah darimana datangnya.

"Bell, konsentrasi. Jangan sampai kosong pikiran Loe!" Bella menyuruh diri ini untuk tetap fokus dan tak terlena sedikitpun.

"Sell, sepertinya mereka minta tolong pada kita." Cetus mulut berbisik.

"Gue, nggak ngerti apa yang mereka katakan!" sahutnya membuang rasa takut tersebut.

Aku pun segera melemparkan segenggam garam menuju para gadis itu, sontak mereka hilang dan lenyap bersama kabut hitam menjadi sebuah pemandangan yang biasa saja. Dengan menoleh ke arah Sella, aku mendorongnya untuk segera memasuki mobil masing-masing. Kami pun menginjak gas dan memutar badan mobil untuk tancap menuju rumah yang berlawanan arah, dengan terburu-buru kaki ini terus menginjak gas.

Tujuh Arwah Dalam Jiwaku (THE ROYAL AWARD WINNER 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang