Chapter 12

196 10 0
                                    

***
Selang beberapa menit kemudian, belpun berbunyi. Kami segera pergi berhamburan keluar ruang kelas dan duduk berbaris di tempat duduk teras gedung dua sekolah. Mereka masih sama ketika awal kehadiran diri ini, heran dan terpaku aku pun tak bisa mengungkapkan kata-kata selain mengikuti gerak-gerik mereka yang sangat heran melihat ke arahku sekarang.

"Vin," panggil Arumi dari balik tubuh Cindy melirik ke arahku takut.

"Ya, apa Beb?" sahutku menjawab panggilan lirih itu dari Arumi.

"Loe, marah ya sama gue?" dia nanya mengulang pertanyaan yang sudah basi itu.

"Guys. Nggak ada yang salah dalam hal ini, gue sudah maafin kalian. Dan semua ini jadi pengalaman kita, apapun yang terjadi pada teman jangan tinggalkan!" jawabku tegas membuat mereka berjalan mendekatiku saat ini.

Sontak Arumi memelukku dan menangis di pundak ini, sepertinya dia telah benar-benar menyesali akan apa yang sudah terjadi saat ini. Rasa lapar menyergap kami saat ini, akhirnya Bella sudah tak tahan karena memegang perutnya berulang-ulang tapi enggan untuk mengajak membeli sesuatu.

"Bell. Loe, kenapa meringis gitu?" aku nanya serius padanya.

"Gue, lapar banget guys! Hehehe ...,"

"Kok, nggak ngomong sih! Buruan beli makanan, gue nunggu di sini." Jawabku menyuruh mereka untuk pergi ke kantin sekolah.

"Loe, beranikan sendirian?" mereka berkata sangat serius padaku saat ini.

"Iya, gue sendirian di sini. Tapi, jangan lama-lama ya!" aku mulai ngegas ucapan.

"Oke deh," sahut mereka serempak.

Akhirnya aku kembali sendirian duduk memainkan sebuah handphone milikku, selang beberapa menit aku kembali merasakan akan ada sesuatu hal yang tengah datang menghampiri diri ini. Bulu kudu kembali meremang, dan kaki gemetar bersama dengan bunyi kursi yang aku sedang duduki tengah bergeser sedikit demi sedikit. Kala itu, Roy datang menghampiri diriku yang sendirian memainkan Handphone.

"Hai! Loe, lagi apa?" dia nanya membuatku tersimpu malu untuk menjawabnya.

"Gu-gue, lagi balas whatsapp. Emang kenapa?" aku balik nanya membuat dia membuang tatapan kedua mata datar menuju halaman sekolah.

"Boleh, minta nomer whatsappnya nggak!" dia menyodorkan handphone miliknya padaku.

Tangan ini bersiap untuk menuliskan nomer whatsapp-ku padanya, setelah selesai diri ini memberikan kembali handphone itu padanya sesegera mungkin.

"Entar malam. Loe, ke mana?" dia nanya padaku serius.

"Gue, ada janji sama temen-temen ke puncak."

Asyik dong, boleh nggak kalau gue ikut? "Dia membuang senyum yang sangat manis."

"Boleh, entar Loe, datang saja. Lagian kita juga nggak terlalu lama kok, cuma bentaran doang!" sahutku perlahan.

"Entar malam kabarin gue, kalau kalian sudah sampai! Oke ...!" jawabnya sambil beranjak meninggalkanku di kursi sendirian lagi.

Aku kembali menatap nomer whatsapp dia yang tadi sudah dia tuliskan padaku, kupandangi nomer tersebut. Dan angka yang dia miliki adalah nomer kematian, sontak aku ketakutan dan segera membuat nomer itu sebagai nama dia. Yaitu, [ Mati ]. Selang beberapa menit geng Risma datang lagi di hadapanku membuat diri ini muak akan penampakan hantu paling horor selama aku hidup di dunia ini.

"Jangan mentang-mentang gue udah putus sama Roy, Loe bisa dapatkan cinta dia. Gue, nggak akan segan-segan main kasar sama Loe!" Risma mulai ngegas ucapannya.

Tujuh Arwah Dalam Jiwaku (THE ROYAL AWARD WINNER 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang