Chapter 19

137 9 0
                                    

Selang beberapa menit mencari di mana keberadaan Roy, sebuah teriakan histeris terdengar dari gedung satu yang merupakan itu adalah sebuah tempat kami menimbah ilmu, sekolah elite yang memiliki 2 bangunan besar dan bertingkat berderet sejajar sebagai pembeda antara SMA dan SMK sontak membuatku terdiam seribu bahasa mendengarkan sumber suara yang datang tak begitu jauh dari lokasi saat ini.

"Bell, Loe, dengar suara sesuatu nggak?" celetuk mulut sambil menunjuk ke arah gedung bangunan satu.

"Vin, itu seperti teriakan orang deh, kok, semakin kencang gitu ya?" sahutnya kembali menatap kedua bola mataku saat ini.

"Coba, kita cek dulu. Barangkali ada petunjuk tentang kepergian Roy!" kugenggam tangan Bella dan kami kembali berlari menuju bangunan gedung satu sekolah.

Rupanya sudah banyak para siswa dan siswi tengah berkumpul di sekitar lokasi halaman sekolah, para guru juga ikut serta membuat suasana menjadi kacau dan ditimpali dengan aura mistis datang secara tiba-tiba.

"Sell, kalian kok, ada di sini? Ngapain?" tanyaku serius.

Mereka hanya diam dan enggan untuk mengatakan sesuatu hal, yang membuatku heran adalah mereka sesekali melirik ke atas atap gedung.

"Itu, Vin!" tunjuk Arumi takut memukul pundakku.

Rasa penasaran ini terbayarkan ketika kedua bola mata nanar melihat Roy yang sudah ada di atap gedung bangunan. Sepertinya dia akan terjun melompat dari lantai tiga sekolah, saking bingungnya membuatku pingsan dan seketika gadis bergaun merah itu datang tepat di samping tubuhku saat ini.

"Allah huakbar! Vin ... bangun Vin, ya Allah ..." teriak para teman-teman.

Telinga ini mendengar apa yang mereka katakan, tapi kedua bola mata tak bisa untuk terbuka. Selang beberapa menit akhirnya aku memaksa batin ini untuk tak hanyut dalam belenggu jiwa arwah wanita gaib itu, sontak perlahan aku membuka mata dan di ruang UKS sudah ada para sahabat karib menemani hingga saat ini.

"Guys, Roy mana?" tanyaku membuat mereka heran dan tak mau menjawab sama sekali.

"Guys! Roy, mana!" bentak mulut ini lagi hingga semua teman-teman takut dan gemetar.

"Roy, lompat dari lantai tiga sekolah Vin ...," sahut Bella lirih dan memeluk tubuhku erat.

"Apa? Nggak mungkin Roy ngelakuin hal bodoh itu. Jadi, dia di mana sekarang Bell?" omelku sambil mengeluarkan isak tangis begitu mendalam.

"Dia-dia, komah di rumah sakit, Vin ...,"

Aku tak bisa berkata-kata lagi, yang ada dalam otakku adalah sebuah ratapan akan kisah hidup penuh dengan sebuah liku-liku. Baru saja aku menemukan kekasih yang paling aku cintai di dunia ini, sekarang dia pergi bersama maut yang telah menjemputnya.

"Gue, nggak tahan lagi hidup seperti ini terus-terusan! Lebih baik gue, mati bersama Roy."

"Vin-Vin, istighfar. Kematian, maut dan jodoh itu Allah yang tentukan. Manusia nggak ada yang tahu kapan tiga hal itu datang menemui kita, Loe sabar doain aja biar Roy lekas sembuh dan bisa melewati masa komahnya dia."

Bella, Cindy, Arumi dan Sella memeluk tubuhku erat. Sepertinya semua seakan telah menjadi suratan tanganku sebagaimana mungkin ini jalan cerita ketika aku lahir ke dunia.

"Gue, harus ke rumah sakit sekarang!" pekik mulut ini membantah berulang kali.

"Nggak! Vin, Loe, masih belum stabil. Please tetap di sini sama kita," omel Bella berulang kali menolak kepergian diri ini.

"Bella, jangan halangi gue!" bantahku untuk bersikeras pergi ke rumah sakit.

"Nggak! Kalau gue bilang nggak, ya nggak, Vin ...," mereka terus menahan dan menarik tubuhku yang mulai beranjak dari tempat tidur.

Kala itu tangan ini menepis mereka dan kaki membawaku untuk pergi menemui sang kekasih hati, mungkin dia di sana membutuhkan aku. Berlari menuju parkiran sepeda motor aku mengambil helm dan menarik gas sangat kencang, tampak dari belakang semua teman-teman mengikutiku dari tempat parkiran. Tanpa menoleh kanan dan kiri aku hanya fokus menatap arah jalan lurus, dengan hitungan menit akhirnya aku sampai di sebuah rumah sakit ketika beberapa bulan lalu aku tengah di rawat.

"Sus, saya mau tanya?" cetus mulut ini berkata dengan napas ngos-ngosan.

"Iya, ada yang bisa saya bantu!" sahut Suster menatap wajahku tajam.

"Sekitar beberapa menit yang lalu, ada pasien bernama Roy Wijaya nggak datang di rumah sakit ini!" balas mulut ini.

"Oh, ada. Dia masih dalam penanganan Dokter karena dia sedang komah, ada apa ya, Mbak?" dia balik nanya padaku.

"Di mana ya, ruangannya?" tanya diri ini bertubi-tubi.

"Maaf, Mbak. Pasien untuk saat ini nggak bisa di ganggu dulu, tunggu setelah dia melewati masa ..., loh, Mbak yang tadi mana ya?" dia menggaruk kepala.

Aku yang kala itu mengendap-endap untuk masuk ke dalam ruangan Roy tanpa memperdulikan apa kata sang Suster tadi, langkah kecil sampai menuju ruang yang sangat sunyi hanya ada bunyi alat pendeteksi jantung. Dari luar pintu aku mendekat dan menoleh ke arah dalam ruangan, rupanya Roy telah tertidur di sana dengan wajah berlumur darah. Aku kembali menekan mulut dan wajah serta isak tangis keluar begitu saja dari kedua bola mata ini, tanpa bisa melihat terlalu lama membuat tubuh lemah tak berdaya. Kini, aku hanya bisa duduk di bawah pintu ruang rumah sakit yang telah tertutup rapat.

Selang beberapa menit aku terkejut dan menoleh ke arah kiri ruangan pasien, di sana tengah ada cahaya sedang melintas masuk secara tiba-tiba. Sontak aku berdiri dan berjalan dengan langkah kecil untuk memastikan bahwa yang aku lihat adalah orang. Setelah sampai di depan pintu tersebut kedua bola mata menoleh ke arah ruangan dengan pintu sudah terbuka lebar. Di sana kosong dan tak ada satu orang pun sama sekali, diri ini langsung memasuki ruangan tersebut dan sontak pintu tertutup dengan sendirinya.

Gubrak ... kaki ini membawa tubuh dan berlari menuju pintu terkunci sangat rapat, tanpa bisa di buka sama sekali telinga ini mendengar suara bisikan aneh datang melalui telinga sebelah kanan.

Sssshhhaaaa sssshhhhaaaa

'Vin, mendekat sini. Aku hadir bersama kamu di ruangan ini.'

Rasanya takut sekali untuk menoleh ke arah belakang, karena sudah pasti hantu itu ada di balik cermin pecah sebuah ruang rumah sakit. Tanpa menoleh sama sekali aku menatap tajam kaca transparan di tengah pintu tersebut, dan benar bahwa arwah ke tujuh gadis tanpa kepala tengah ada di sana berbaris rapi membawa kepala mereka masing-masing di pangkuan. Mulut tiba-tiba keluh dan tak mampu untuk berkata-kata, tubuh gemetar dan kaki bergerak sendiri memutar hadapan 180 derajat dari tatapan awal. Kala itu mata ini nggak bisa menolak sebuah pemandangan yang tak biasa, para arwah menangis dan mendekat ke arah tubuh ini.

Aku hanya menutup kedua bola mata tanpa memandang, dalam hitungan detik mereka hilang setelah seseorang datang dan mendobrak pintu ruangan tersebut. Kutarik napas panjang berulang-ulang dan keringat membasahi seragam sekolah di tubuhku. Sebuah pelukan erat dan teriakan sangat kencang hadir menemani diri ini seketika.

"Vin, Loe, nggak apa-apakan?" ucap Bella menangis histeris.

Sementara aku tak mampu berkata apapun selain menatap cermin rumah sakit yang tadinya mengeluarkan sosok wanita bergaun merah tanpa kepala. Mereka membalikkan tubuhku untuk menatap ke arah mereka, pelukan itu lepas dan aku kembali memeluk tubuh sahabat dengan tangis yang mulai bisa keluar tanpa di sangka.

"Guys, kalian ada di sini tepat waktu!" celetuk mulut ini sangat ketakutan.

"Emang, kenapa Vin?" tanya Cindy mendekat ke arahku saat ini.

'Aku hanya menggelengkan kepala saja, dan menarik tangan mereka untuk keluar ruangan mistis itu.'

Sesampainya di luar aku menatap kembali ruang rumah sakit. Rupanya sudah ramai dalam hitungan menit saja, para guru dan saudara dari kekasihku itu tengah berkumpul di depan pintu ruang melati. Aku dan sahabat berjalan mendekat melihat Ibunya untuk mengenal sosok malaikat tak bersayap kekasih yang paling aku sayangi itu.

Tujuh Arwah Dalam Jiwaku (THE ROYAL AWARD WINNER 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang