Chapter 3

284 17 0
                                    

Selang beberapa menit, suasana di dalam mobil senyap dan hening. Tanpa ucapan diri ini dengan fokus menatap arah depan saja, pemandangan yang indah tak mampu terlihat lagi. Kami hanya berdua tapi batinku berkata kalau kami sedang bertiga, aku sesekali menoleh ke arah kanan tempat duduk mobil milik Bella. Walau di sana kosong namun batin ini tak mampu untuk mengiyakan bahwa di sana kosong, suara aneh terus datang begitu saja membuat kepala ini pusing secara tiba-tiba.

"Vin! Loe, kenapa sih. Dari tadi gue perhatiin tengah gelisah banget." Ucap Bella menatap ke arahku tajam.

"Nggak, Bell." Jawabku sambil membuat suasana tidak kacau akan perasaan semakin aneh ini.

Dia terus fokus dan menyetir santai, kala itu kami berada di jalan yang sangat sunyi. Hutan Akasia menemani perjalanan menuju lokasi rumahku, sesekali aku menoleh ke arah kiri tubuh, seperti tengah ada yang menyentuh pundak ini secara perlahan. Aku pun kembali menoleh ke arah belakang lagi, dan gelagat itu membuat Bella semakin penasaran akan apa yang telah terjadi padaku saat ini.

"Vin! Loe, benar nggak apa-apa?" dia mulai ngegas ucapannya seakan memaksaku untuk memberitahu akan apa yang sedang terjadi pada diri ini.

"Bell, perasaan gue kok, sedikit aneh ya?" tanya diri ini padanya untuk dia merasakan apa yang sedang aku rasakan saat ini.

"Iya, Vin. Gue, juga ngerasa dari tadi." Sosornya memotong pembicaraanku.

"Bell, gue takut nih!" Seruku menggumam dan mendekat ke tubuhnya, saat itu dia seakan tak lagi fokus karena suasana menuju rumah mulai redup tertutup kabut.

"Vin! Gue, nggak bisa fokus nih. Coba Loe, minggir dikit!" pintanya menyuruhku untuk sedikit bergeser.

"Nggak Bell, gue takut banget."

Tiba-tiba kabut tebal kembali menyelimuti mobil hingga menutup jalanan, kala itu tak ada satu orang pun melintas di jalan ini. Yang ada hanyalah suara desik seperti ular yang tengah datang menemui kami berdua, Bella yang kala itu mematikan mesin mobil sontak membuatnya membacakan ayat-ayat suci alquran dan surah pendek. Ketika dia membaca sekitar tiga surah akhirnya kabut menghilang sedikit demi sedikit. Tapi naas, hilangnya kabut malah membawa sebuah selendang merah panjang menyelimuti jalan. Selendang merah pekat membuat kami tak dapat melihat arah depan, yang ada hanyalah sebuah pembatas dari selendang itu sendiri.

"Bell. Loe, lihat selendang itu nggak?" tanyaku menatap wajahnya tajam dan duduk di pangkuannya.

"Iya, Vin. Gue, lihat. Itu selendang apa ya?" dia malah balik nanya padaku serius.

Rasa penasaran tumbuh dari diri kami berdua dan membawa tubuh untuk tetap mendekam dalam sebuah mobil, tapi tidak dengan Bella. Wanita yang sangat pemberani malah membuat gelagatnya sangat aneh, sepertinya dia ingin sekali keluar dari dalam mobil.

"Vin, kita lihat dari dekat yuk! Barang kali dari sana kita bisa tahu akan sesuatu petunjuk gitu," ajaknya membuat tubuh ini gematar dan sangat ketakutan.

"Bell, nggak ah. Gue, nggak mau keluar!" tolakku lembut dengan nada suara sangat lirih.

"Ayolah, Vin. Apa yang Loe, takutkan sih?" cetusnya bertubi-tubi malah menambah diri ini semakin gematar saja.

"Ya sudah, kalau Loe nggak mau keluar biar gue yang keluar sendiri!" dia mulai maksa dengan ngegas ucapan.

Diri ini masih diam dan merasa sangat ketakutan! Tanpa menunggu lama, Bella membuka pintu mobil dan hendak keluar. Krek ... suara pintu ikut ambil andil dalam peristiwa menyeramkan kali ini, langkah kaki membuatnya berjalan perlahan menuju samping mobil. Mau tidak mau aku ikut juga padanya, karena dengan diri yang sudah sendirian di dalam mobil malah menambah ketakutan saja. Menggandeng tangannya, kami berjalan perlahan menyeret aspal hitam. Kabut yang masih tersisa berwarna putih menambah greget jiwa ini, sesekali aku menoleh ke arah wajah Bella yang hanya fokus menatap depan jalan.

"Bell ... kita balik saja yuk!" pintaku lirih menarik tangannya perlahan.

"Bentar lagi juga sampai, Vin ... tenang saja deh," tolaknya bertubi-tubi.

Akhirnya kami sampai di depan selendang, ketika tangan sahabatku itu meraih selendang merah malah itu hanyalah cahaya yang datang dari arah hutan. Membuat rasa penasaran kami semakin membara, jejak tapak kaki seolah mengajak untuk berjalan mengikuti ke arah hutan itu. Bella yang semakin penasaran malah hendak berjalan menuju lokasi area Akasia tersebut.

"Bell, Bell, Bell! Gue, rasa nggak usah terlalu dalam deh untuk menuju sana. Soalnya entar mereka merasa terganggu karena kita bagaimana?" tanyaku serius menatap kedua bola matanya tajam.

"Ta-tapi ..."

"Bell, ini bukan wilayah kita! Nggak usah terlalu mengikuti rasa penasaran, nanti kita dapat imbasnya. Bagaimana?" cetusku memberikan nasihat padanya agar segera putar balik.

"Iya juga, ya!" jawabnya singkat mengiyakan ucapanku.

Akhirnya kami segera memutar badan dan berjalan kembali menuju mobil, di sana kedua bola mata kami nanar dengan apa yang sedang terlihat jelas. Coretan bercak darah tertulis kata-kata aneh di kaca depan mobil milik Bella, secara seksama kami memandang tulisan itu dan mulai dekat sedikit demi sedikit.

( Tolong. Gue! Jiwa ini tersiksa selama puluhan tahun. )

"Vin, tulisan itu maksudnya apa ya?" dia nanya mebuatku tak mampu menjawab sama sekali.

'Aku mengelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan yang memang tak bisa aku beri penjelasan.'

Bella mendekati tulisan itu dan mengusap sedikit bercak merah itu, dia pun mencium aroma bercak tersebut yang begitu aneh.

"Apa itu, Bell?" tanya diri ini tak sudah-sudah.

"Ini darah, Vin!" Sosornya memotong pembicaraan seketika.

"Tuh, gue bilang juga apa. Kita sepertinya sudah membuat mereka marah deh!" jawabku memberikan nasihat pada sahabat terbaik.

Diri ini masih saja menggandeng tanganya, dengan langkah lebar kami masuk ke dalam mobil kembali dan duduk bersanding bersama. Kala itu Bella melirikku berulang-ulang, tampak jelas dari wajahnya sangat penasaran akan hal aneh tersebut. Dia langsung menghapus bercak dengan alat penghapus kaca mobil, dengan sigap Bella menghidupkan mesin mobil dan menginjak gas dengan perlahan. Akhirnya kami meluncur ke arah rumah, aku tak pernah membayangkan akan hal seperti itu datang secara bertubi-tubi,

Selang beberapa menit, kami berdua sampai di depan rumahku dengan selamat tanpa ada yang terluka, akan tetapi batin terus memberontak dan penasaran dengan apa yang telah terjadi secara berulang-ulang. Mobilnya masuk ke dalam halaman rumah, kala itu sang Mama sudah menunggu kami karena lama sampai. Tak biasanya aku pulang sangat telat dan sampai sore begini, apalagi diri ini harus segera pergi ke toko roti untuk bekerja.

"Vin ... sudah pulang. Ajak masuk temannya!" teriak Mamaku dari depan pintu.

I-iya, Ma. Bentar! "sahutku lirih." Bell, masuk dulu yuk? Kita ngobrol-ngobrol dulu! "Ucapku lagi."

"Sorry nih, Vin. Gue, ada janji sama bokap untuk pulang lebih awal untuk ikut acara ke rumah nenek." Tolaknya membuatku menatap sedih menuju halaman rumah.

Diri ini tak pernah merasakan kebahagiaan ketika bersahabat dengan orang selain pada Bella, semua orang hanya mengkucilku saja karena diri ini berlatar belakang sebagai orang susah.

"Vin ... ngak usah sedih gitu dong, kapan-kapan gue janji bakal nginap di rumah Loe, tapi nggak sekarang!" dia memberi semangat padaku.

"Janji ..." sahutku melas sambil menatap wajahnya tajam.

"Vin ... jangan sedih dong, kita'kan sahabat dunia akhirat."

Sontak aku memeluk tubuhnya dengan erat.

Tujuh Arwah Dalam Jiwaku (THE ROYAL AWARD WINNER 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang