Chapter 2

346 16 0
                                    

Kedua bola mata masih tertutup bersama dengan tubuh lemah serta takut untuk membukanya, berada dalam ruangan UKS membuat diri ini terlelap lagi tuk tertidur. Beberapa menit aku mulai terlelap dan hening ruangan seolah mengajak diri ini untuk masuk ke dalam sebuah dimensi yang penuh dengan kegelapan, di sana tampak seorang wanita tak berkepala sangat ramai berbaris menghadap ke arahku berdiri. Sontak perasaan takut menyergap diri ini, kedua kaki melangkah mundur menuju belakang. Dua langkah menapak tanah yang dipenuhi dedaunan kering tiba-tiba tubuh menabrak sesuatu yang sangat lembut dan basah, mata tak ingin menoleh ke arahnya. Cairan lengket dan bau amis ikut ambil andil dalam rongga hidung ini, kaki tak mampu mundur lagi karena aku merasa di belakang tempat diri ini berpijak adalah buntu dan tak ada ruang untuk menapak.

Aku pun langsung berjalan menyampingkan kaki, dalam hitungan ketiga dalam hati aku akan berlari sekencang-kencangnya.

'Satu ... dua ... tiga!

Diri ini membalikkan badan dan berlari, tetapi aku tetap menabrak sesosok makhluk bertubuh besar dengan rambut yang ada dikeliling badannya. Sontak diriku terjatuh membal akibat tubuh besar itu mementalkan ragaku jauh dari tempat dia berdiri saat ini, mulut menjadi keluh ketika melihat kedua bola matanya bersinar menyala berwarna merah serta gigi yang bertaring panjang seakan menelanku hidup-hidup. Tanpa menghiraukannya aku kembali bangkit dan berlari menuju jalan lurus depan, walau aku berselisih dengan para wanita tak berkepala dan bergaun merah kaki tetap berlari.

"Tolong ...."
"Tolong ...."

Kayu menjegal kaki ini membuatku terjatuh dan tersungkur, badan menjadi lemah tak berdaya serta kacamata hilang. Pandangan kabur dan buram, dunia seakan tak nampak jelas lagi, kini aku sudah pasrah apa yang akan terjadi saat ini. Yang ada dalam otakku adalah menanti ajal tiba bersama wanita bergaun merah tanpa kepala tersebut, selang beberapa menit aku pingsan dalam hutan kedua mata terbuka lebar. Suasana aneh kembali membawa diri ini, tanah dengan dedaunan kering berubah menjadi kasur putih. Selimut putih menyelimuti raga ini seperti mayat yang tak bernyawa lagi, sontak tangan membuang selimut tersebut.

"Kok, selimut ini kasar sekali." ucapku sendiri di dalam ruang kamar aneh seperti istana. Kupandangi kain tersebut secara rinci, ternyata itu adalah kain kafan sebagai selimut tidurku tadi.

"Vin ... selamatkan saya, Vin."

"Siapa itu," teriakku di dalam kamar dengan adanya suara aneh tengah datang, rintihan suara itu membuat bulu kudu meremang seketika.

Suara tanpa wujud membuatku segera lompat dari kasur dan berlari menuju pintu yang terbuka sangat lebar, ketika aku sampai di ujung pintu badan hampir terjatuh pada gejolak danau berisikan darah yang mendidih. Kedua bola mata nanar melihat hal tersebut nyata di depan mata ini, seketika aku kembali masuk dalam kamar itu, kubuka kursi berselimutkan kain putih.

'Sepertinya ini kepala manusia, coba aku buka deh. Barang kali dia bisa membawaku untuk pergi dari tempat ini.' Celotehku dalam hati.

Srek!

"Tidak ...."

Aku pun menjerit setelah tahu bahwa kepala tersebut adalah tengkorak yang masih utuh tengah duduk tertutup kain kafan putih, kedua tangan menekan mata ini seolah tak sanggup menatapnya lagi. Selang beberapa menit suasana hening kembali, gemuruh yang ditimpali bisikan angin sontak diam begitu saja. Dengan memberanikan diri aku kembali membuka kedua bola mata, tampak dari balik cermin tengah ada darah yang mengalir deras. Seperti sosok wanita tanpa kepala seakan keluar begitu saja, aku menyeret tubuh yang duduk di lantai sampai menuju sudut tembok kamar aneh ini.

"Vin ... tolong saya, Vin ...."

"Kamu siapa? Keluar kamu!" teriakku berulang kali.

"Hihihi ...." dia tertawa kekeh membuat tubuh kembali merinding dan takut, suara tawa itu sama seperti ketika aku duduk di bangku sekolah beberapa minggu belakangan.

Dengan bacaan basmalah, berulang-ulang. Membuat tawa sedikit demi sedikit redah dan hilang, ayat kursi masih bisa aku baca sesekali menoleh atap langit-langit kamar tersebut. Sebuah tubuh besar berambut hitam keluar secara tiba-tiba dari balik cermin yang sudah pecah, sontak aku tak dapat membaca lanjutan ayat kursi.

"Tolong ...."
"Tolong ...."

"Vin ... bangun, Vin." Panggil Bu guru menatap kedua bola mataku tajam.

"Ternyata, saya mimpi. Bu!" sahutku memeluk Bu guru yang kala itu terheran dengan sikap ini.

Perasaan takut itu tak mau hilang, para siswa dan siswi tengah mengintip keadaanku dari balik jendela luar. Mereka yang terus menatap membuat diri ini semakin merasakan sebuah diskriminasi luar biasa, beberapa menit berlalu akhirnya debaran dalam dada berhenti dan aku mulai bisa bernapas lebih normal tanpa ngos-ngosan lagi. Meskipun aku masih membayangkan sosok seram itu, sebisa mungkin diri ini menepis segala yang telah terjadi saat ini.

Kring ....
Kring ....

"Vin, bel sudah berbunyi. Bagaimana kalau kita pulang bareng saja!" ajak Bella menatap kedua bola mataku tajam, sambil memegang erat tangan ini yang mulai terasa sangat dingin akibat sesuatu yang terjadi begitu saja.

"Bell, entar ngerepotin Loe, lagi." Tolak diri ini tak ingin menambah beban sahabatku yang setiap hari membela diri ini ketika dibully habis-habisan oleh teman-teman.

"Vin, Loe sudah gue anggap saudara gue sendiri. Apapun ceritanya yang terjadi sama Loe, itu adalah masalah juga buat gue," dia mulai ngegas ucapannya.

"Ta-tapi, Bel ...."

"Vin. Sudah dong, kecuali—Loe, memang sudah nggak mau berteman sama gue lagi!" sosornya memotong ucapanku.

"Baiklah, thanks ya, Bell. Gue, berhutang budi banyak banget sama Loe," sahutku melas merundukkan kepala.

Dengan memperbaiki seragam yang basah akibat keringat mengalir sangat deras, aku pun langsung melompat dari tempat tidur di ruang UKS. Kala itu para siswa dan siswi menatap tajam ke arahku sepulang sekolah, mereka terdiam dan tetap memperhatikan diri ini melangkah.

"Bell, mereka kok, ngeliatinnya gitu banget ya?" tanyaku pada Bella yang sedang menggandeng tangan ini.

"Sudah biarin saja, barang kali mereka hanya heran dengan kejadian tadi." Sahutnya menenangkan jiwa ini semakin penasaran akan apa yang sebenarnya telah terjadi.

Prok ...
Prok ...
Prok ...

"Guys, ada anak culun nih, sepertinya dia mulai gila deh, kejang-kejang nggak jelas seperti tadi." Ledek Risma dan temanya di sepertiga halaman sekolah.

"Loe, jaga mulut Loe, ya!" tantang Bella, menunjuk ke arah kedua bola mata sang pembuat onar tersebut.

"Eh ... lihat nih, si pahlawanya culun mulai ngegas. Guys .... hahaha euy, kamse upay banget nggak dia." Jawab Risma neledek berulang-ulang hingga membuat isi kepala ini hendak pecah.

"Awas ya, kalau Loe, berani menghina kita. Gue, nggak segan-segan membalas perbuatan Loe, itu!" ancam Bella sembari melindungiku dari para ejekan geng yang terkenal sangat suka membuat onar.

"Bell, Bell ... sudah yuk, nggak usah meladeni mereka. Entar kita ikutan gila." Ucapku mengelus pundak Bella secara perlahan untuk meredahkan amarahnya seperti harimau yang hendak menerkam mangsa.

"Lihat tuh, si culun. Sok-sok jadi malaikat dia. Hahaha ..." mereka terus mengejek dan meledek kami berdua.

Aku pun langsung menarik tangan Bella. Kami menuju ke parkiran mobil milik Bella, setelah sampai aku langsung mengelus pundaknya dan mencoba untuk menenangkan jiwa itu seperti orang yang akan menelan hidup-hidup para ulat bulu pembuat onar.

"Bell, sabar!" ucapku mengelus pundak dan tangannya.

"Nggak bisa gitu, Vin." Bantahnya bertubi-tubi.

Tujuh Arwah Dalam Jiwaku (THE ROYAL AWARD WINNER 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang