Chapter 22

131 9 0
                                    

Vina POV

Suasana malam yang sunyi membuat kami untuk masuk ke dalam tenda masing-masing. Tenda terbagi menjadi dua dan berderet bersanding, kala itu rasanya ingin sekali keluar tuk mewarnai kemah di hutan Akasia. Aku pun meraih gitar dan mengambil korek untuk menyalakan api unggun lalu bersenandung di tengah kesunyian malam hari, bintang dan bulan telah ikut ambil andil dalam sunyinya hutan tersebut.

"Vin, Loe mau ke mana?" tanya Cindy yang kala itu memang sudah bangun dan gelisah sama sepertiku.

"Gue, mau keluar Cin. Nggak bisa tidur gue, lagian ini masih jam segini!" sahut diri ini dan membuka tenda.

Kala itu Cindy ikut keluar bersamaku dan kami menyusun tumpukan kayu yang memang sengaja kami cari sore tadi, api yang sudah menyala menemani hangatnya malam bersama dengan senandung lagu-lagu band Viera aku nyanyikan berdua bersama sahabat terbaikku. Sontak dari tenda sebelah terbuka kedua bola mata melirik ke sana, rupanya Bella, Arumi dan Sella bergegas untuk ikut bersenandung juga.

"Guys, kalian ya. Bising banget tau nggak!" omel Bella yang sudah tertidur.

"Ambil kopi, kita minum kopi panas malam ini guys." Seru Cindy sambil membuat sebuah kopi dan membagikan kepada semua teman-teman.

Beberapa menit bersenandung kami dikejutkan dengan suara yang datang dari sebuah hutan tepatnya di arus sungai, tak seperti biasanya kali ini suara itu sangat keras membuat kami berhenti bernyanyi.

"Guys, kalian dengar sesuatu nggak?" aku nanya pada semua sahabat yang sepertinya juga mendengar suara tersebut.

"I-iya, itu suara apa ya?" sahut Sella menatap datar ke arahku saat ini.

"Seperti orang minta tolong deh, dan suara itu sepertinya dari sana!" jariku menunjuk sebuah arus sungai yang ada di ujung hutan ketika tadi kami datangi.

"Benar-benar, itu dari sana suaranya." Tambah Cindy seakan merasakan hal yang sama denganku saat ini.

"Coba, kita temui deh, barangkali ada petunjuk kali." Ajakku untuk mencari tahu akan suara seseorang minta tolong dari arah yang sudah kami duga.

Dengan membawa senter kami pun berjalan perlahan menuju arus sungai, sesampainya di bibir sungai kami turun perlahan dan di sana memang sudah ada sebuah kain selendang berwarna merah sama ketika aku lihat di sekolah beberapa bulan lalu. Dan selendang itu memang kasar dan sudah nggak beraturan lagi bentuknya, serta diri ini melihat sebuah tas yang menggantung di pohon yang sudah tumbang condong menjorok bibir sungai.

"Guys, itu sepertinya tas deh," tunjukku pada sebuah benda berwarna hitam tengah tergantung di dekat tempat berdirinya Bella saat ini.

Dia pun mengambil tas tersebut dengan menggunakan sarung tangan dan memasukkan ke dalam sebuah kontong plastik, tak kusangka ketika diri ini membuang cahaya senter menuju tengah aliran sungai tengah ada sebuah kepala muncul di sana.

"Itu-itu, Vin." Tunjuk Sella ketakutan.

Aku pun memutar badan dan melihat sedikit ke arah yang telah ditunjuk oleh Sella.

"Hantu ..., kabur ...," teriak mulut ini berlari sekencang-kencangnya.

Beberapa menit berlari dari arah bibir sungai, kami pun terpisah dari teman-teman. Aku bersama Sella menuju jalan yang sepertinya salah, malah kami tersesat di dalam hutan Akasia tanpa suara apapun. Saking lelahnya kami jongkok dan kembali mendengar suara aneh datang menyergap, sepertinya suara semakin dekat dan dekat.

Aku menggandeng tangan Sella dan kembali berlari menuju jalan yang lurus, setibanya kami di ujung hutan jalan malah terbelah menjadi tiga. Sontak aku bingung hendak memilih jalan yang mana, karena ini adalah kali pertama aku memasuki area hutan yang luasnya belum ada yang mengukur.

"Sell, sepertinya kita salah jalan deh," aku berkata lirih padanya yang berada tepat di belakang tubuhku.

"Iya, Vin. Gue, juga berpikir seperti itu tadi." Jawabnya menambah kepala pusing tujuh keliling.

"Gimana, kalau kita pencar aja," usulku pada Sella untuk mencari jalan yang tepat menuju tenda semula.

"Vin, nggak-nggak. Gue, nggak mau pencar. Gue, takut banget!" jawabnya membuat diri ini serba salah.

Akhirnya aku menggandeng tangan Sella dan memilih jalan sebelah kanan, menurud agama dan pituah orang tua bahwa sebelah kanan adalah tempatnya yang baik-baik. Sehingga tanpa pikir panjang kami menuju jalur tersebut, sontak suara yang tadinya minta tolong menghilang dan berubah seperti suara raksasa tengah mengejar kami di sepanjang jalan hutan. Kami terus berlari hingga akhirnya kaki tersandung sebuah akar pohon. Gubrak! Tubuh kami tersungkur dengan sekantong tas dalam sebuah plastik tengah terjatuh juga, senter yang kala itu menyala kini tak lagi menyala. Hanya cahaya rembulan malam yang menemani kami di tengah hutan sangat mengerikan ini.

"Kenapa, Vin." Tanya Sella yang sepertinya lelah dengan sebuah akar pohon sebagai pembanting tubuh.

"Senternya mati, Sell." Sahutku sambil memukul senter berulang-ulang agar dapat kembali menyala.

Tiba-tiba suara wanita tengah tertawa datang dari atas kepala kami berdua, ketika mata sama-sama menoleh ke arah atas rupanya si gaun merah itu turun dari sebuah pohon berukuran sangat besar menimpah tubuh kami.

"Tidak ...," teriak kami karena sangat ketakutan akan kehadiran makhluk gaib itu datang secara tiba-tiba.

Sekitar dua menit menutup mata kami terbangun, rupanya tubuh masih sama berada di tengah hutan. Dengan sisa-sisa tenaga kami bangkit dan kembali berjalan menyeret tanah.

"Sell, kita lari lagi yuk," ajak mulut ini untuk kembali berlari agar cepat sampai ke sesuatu tempat.

"Oke, satu, dua, tiga!"

Setelah mendengar aba-aba darinya kami langsung berlari sambil teriak ketakutan. Gubrak! Tubuh kembali terjatuh karena kedua mata nggak menatap ke arah depan jalan saat ini.

"Auuu ..., sakit banget kepala gue sumpah." Omelku menekan kepala yang terasa sangat pusing karena terbentur sesuatu.

"Eh, kalian. Kok, bisa di sini." Panggil Bella, rupanya mereka se arah dengan aku dan Sella.

"Bell, kalian masih di hutan ini juga?" tanya mulut ini penasaran.

"Loe, sih, tiba-tiba ngilang gitu aja. Kalau kami bertiga memang menuju jalan yang benar tadi, ya nggak Mi, Cin!"

"Hmmm ... iya nih, Vina dan Sella bikin kita repot aja deh, pake acara ngilang lagi berdua. Kita nggak mungkin balik ke tenda kalau kalian nggak ada sama kita," omel Cindy membangkitkan tubuh kami berdua.

"Guys, kalian baik banget deh, nyariin kita sampai rela ninggalin tenda lagi." Jawab mulut tersimpun malu karena merepotkan teman-teman.

"Yuk, kita balik. Jalan yang benar sebelah sini," tunjuk Arumi yang mulai mendadak pintar malam ini.

"Kok, Loe tahu jalannya, Mi?" aku nanya heran sambil mengikutinya dari belakang.

"Nggak tahu gue, tadi juga Arumi yang nunjukin jalan menuju tenda. Malam ini dia dapat rahmad deh, dari Allah." Cetus Cindy meledek.

"Udah deh, nggak usah ngejek gue. Entar gue sasarin mau?" omelnya membuat kami saling tatap dengan cengir tawa kecil.

"Hehehe ... ampun, Mi." Sahut kami serempak.

Dan kami sampai di tenda kembali, tubuh yang sudah kotor membuatku untuk segera mengganti pakaian bersama Sella. Sementara yang lainnya masih ada di luar tenda menikmati hangatnya kopi yang sempat tertunda beberapa menit karena mencari sumber suara aneh, setelah selesai ganti baju kami berdua kembali keluar tenda dan meneguk kopi sambil menghabiskan malam ini untuk tetap bernyanyi hingga pagi hari.

Tujuh Arwah Dalam Jiwaku (THE ROYAL AWARD WINNER 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang