Hamzah segera mengemasi barang-barangnya lalu pergi ke stasiun menuju Jakarta, dimana rumah Ayah dan Bunda berada. Ia sedikit terkejut mendengar berita yang disampaikan Ibu. Bahkan, sedikit kurang percaya mengenai hal itu. Apalagi, ia masih dalam masa pembekalan menuju Kairo, khawatir tak diizinkan oleh Abah. Namun, dengan senang hati Abah mengizinkannya pulang karena Hamzah santri yang sangat jarang pulang selama enam tahun di Man Ana.
Ibu berkata Bapak datang menemuinya di jalan tadi, banyak pertanyaan yang bersarang difikiran Hamzah yang nanti akan diajukan saat bertemu mereka. Empat jam telah berlalu, kini Hamzah sudah di Jakarta dan segera menghampiri Zaenal, tetangga Ayah yang menjemputnya.
" Assalamualaikum," ucap Hamzah didepan pintu rumah.
Pintu bergetak dibuka oleh seseorang," Waalaikumsalam," terlihat Ibu yang sedang membenerkan jilbabnya yang sedikit miring.
" Alhamdulillah, Nak. Kamu sudah datang." ucap Ibu mengelus rambut Hamzah.
" Alhamdulillah, Bu." jawab Hamzah mencium tangan Ibu.
Hamzah diajak Ibu segera masuk disambut oleh Ayah, Bunda, dan...
" Bapak?" panggil Hamzah melihat seorang laki-laki disamping Ayah.
" Anakku. Hamzah." Bapak tak kalah terkejut dengan kehadiran Hamzah didepan matanya.
" Bapak...."
" Hamzah..."
Kedua laki-laki berbeda usia itu, saling berpelukan melepas rindu yang teramat dalam. Sebelas tahun, bukanlah waktu yang singkat. Selama itu pula, keluarga kecil itu menahan rindu satu sama lain. Tanpa sekabar apapun yang terdengar.
" Bapak? Bapak udah bisa jalan?" tanya Hamzah melihat Bapaknya yang juga bisa berlari.
Terakhir kali melihat Bapak, Hamzah melihat Bapaknya terbaring lemah diranjang yang rapuh dengan goresan lelah diwajahnya yang selalu tertutup dengan senyuman. Garis-garis didahi juga tercipta pertanda selalu berfikir keras. Semenjak Ibu pergi ke Jakarta, Bapak memang lebih pendiam, sesekali tersenyum menyambut Hamzah pulang sekolah dan mengaji. Hamzah sedikit berat hati meninggalkan Bapak, tapi teringat perlakuan Ibu Malik yang mengajak Bapak mendua dan Bapak membiarkannya sungguh merusak kepercayaannya waktu itu.
" Zah?" panggil Ayah.
" Nanya kok malah ngelamun."
Hamzah hanya menjawab dengan cengengesan.
" Sejak kamu meninggalkan Bapak, Bapak frustasi, Nak." Bapak mulai bercerita setelah mengajak Hamzah duduk.
" Bapak gak punya siapa-siapa lagi. Bahkan Bapak merasa gagal menjaga kamu, Nak. Sofia juga kembali tergila-hila dengan Bapak. Padahal waktu itu, masih lumpuh. Hingga akhirnya, ia bunuh diri. Bapak yang sendiri tak bisa bangkit dari tempat tidur itu, akhirnya memaksakan untuk mandiri. Tak jarang, gelas, piring, dan perlengkapan dapur lainnya jatuh dan pecah tanpa bisa Bapak benahi. Hingga Malik, datang membantu Bapak membereskan semuanya. Malik yang waktu itu juga sendiri sering menghabiskan waktu berzama Bapak. Namun, tak lama, Malik diambil pak RT untuk dibawa ke panti. Sedangkan Bapak, dirawat oleh pak RT. Pak RT yang berbaik hati merawat Bapak sampai sembuh, juga diberikan pekerjaan lagi. Bapak terus mencari keadaanmu dan Ibumu, tapi tak kunjung ketemu. Hingga Zaenal yang bekerja di Jakarta menyampaikan keberadaanmu." jelas Bapak memandang Zaenal yang makan cemilan.
" Dari kabar itu, Bapak berniat menjemputmu satu tahun lagi. Bapak kira kamu bersama ibumu, ternyata kalian juga terpisah." sambung Bapak sendu.
" Pak."
" Maafkan Hamzah yang pergi tanpa pamit dan kabar , Pak." ucap Hamzah bersimpuh pada Bapaknya.
" Harusnya, Hamzah dulu mendengarkan penjelasan Bapak dulu, tak meninggalkan Bapak begitu saja. Bapak pasti sangat sengsara sepeninggalanku. Bahkan waktu itu, Bapak masih sakit, harusnya Hamzah merawat Bapak." ucap Hamzah bersalah dan menangis pada Bapaknya.
" Hamzah...." ucap Bapak halus membangunkan Hamzah yang duduk bersimpuh.
" Bapak, gakpapa. Harusnya dulu tak ada yang ditutupi, biar tak terjadi kesalahpahaman. Harusnya Bapak berterus terang mengenai masa lalu, bukan malah memendam. Maafkan Bapak ya, Nak." jawab Bapak yang diangguki Hamzah.
Mereka berdua mengeratkan pelukan, melimpahkan semua rasa bersalah dalam hangatnya pelukan. Menumpahkan kerinduan yang tertahan dalam waktu yang lama. Anak dan Bapak yang berbeda usia, tapi dalam satuan darah yang mengikat keduanya._______________
" Tidak, San! Tetaplah disini, mari kita hidup bersama-sama. Jadikan pertemuan kita tanpa perpisahan, San! Kita sama-sama terlahir sebagau sebatang kara, maka mari kita berkumpul menyambung silaturrahim, San." ucap Ayah saat Bapak meminta izin tuk membawa Hamzah dan Ibunya kembali ke Pringsewu
" Eko, kau begitu baik telah merawat anakku sampai sebesar ini. Bahkan menerima istriku disini. Aku terlalu banyak merepotkanmu, Ko. Biarkan aku mengurangi bebanmu, Ko. Biarkan aku bawa semua keluargaku, membangun rumah tanggaku yang berantakan, Ko. Kumohon." ucap Bapak.
" Tidak, Zah. Kalian adalah keluargaku. Aku tak merasa keberatan sama sekali, jika kalian tetap berada disini. Justru aku akan sangat bahagia, jika tetap disini bersamaku dan istri. Jika kau mau memperbaiki rumah tanggamu, silahkan, San. Asalkan kalian tetap disini bersama kami." ucap Ayah.
" Tapi, Ko. Semua harta bendaku, ada di Pringsewu. Pekerjaanku juga ada disana. Disini, aku tak punya apa-apa, Ko. Hanya menumpang dirumahmu dan merepotkanmu. Aku tak bisa membalas segala kebaikanmu, Ko. Kumohon, izinkan kami pulang tuk mengurangi bebanmu, Ko." sambung Bapak memelas.
" Baiklah. Jika kau ingin membalas kebaikanku, tetaplah disini, San. Itu sudah lebih dari cukup untuk membalas apa yang telah kami lakukan." syarat Ayah.
" Benar Mas Hasan, kami sangat merasa kesepian sebelum kehadiran Hamzah. Apalagi saya dinyatakan mandul, dan tak bisa memberikan suami saya seorang anak peramai keluarga kami. " ucap Bunda sedih.
" Sudah Bun, sudah. Tak apa jika mereka tak mau mengabulkan permintaan kita, Bun. Semoga Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik." Ayah menenangkan Bunda.
Bunda menggeleng dengan air mata membasahi kedua pipinya," Namun, sejak kehadiran Hamzah, rumah tangga kamu terasa lengkap dan tercipta kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Bahkan, saat Mba Fatimah bersedia tinggal bersama kami, kami merasa sangat bahagia. Apa kalian tega merenggut kebahagiaan kami? Kami tau,berpisah dengan anak dan istri itu sangat berat. Oleh karena itu, kami menginginkan kalian semua tetap berada disini. Menghabiskan waktu bersama kami. Walaupun dengan segala keterbatasan, kami yakin mampu memenuhi kebutuhan hidup kalian. Kami mohon Mas Hasan, Mba Fatimah." Bunda menangis sendu.
Bapak memandang Ibu meminta pendapat. Lalu diangguki oleh Ibu, tanda setuju.
" Baiklah Ko, aku terima tawaran kalian dengan syarat biarkan aku membantumu bekerja, Ko. Agar beban keluarga kita emban bersama. Bagaimana?" usul Bapak.
" Kamu serius kan, San?" tanya Ayah tak percaya. Bapak mengangguk sebagai jawaban.
" Alhamdulillah Ya Allah. Iya iya, San dengan senang hati aku akan membagi pekerjaanku, asalkan kalian tetap disini." jawab Ayah antusias.
" Alhamdulillah terimakasih banyak Mas, Mba." ucap Bunda.
" Sama-sama." jawab Ibu dan Bapak lalu tersenyum
Kini dua keluarga yang dulu asing menjadi bagian satu sama lain.Happy reading
Barakallah fiikum
KAMU SEDANG MEMBACA
Story of My Life
Teen FictionHamzah ingin mempelajari dan mendalami ilmu agama. Namun, kondisi ekomoni keluarganya yang kurang dan rumah tangga yang berantakan menghalangi keinginan Hamzah. Hamzah merantau meninggalkan tanah kelahirannya demi mewujudkan cita-citanya. Apakah Ham...