BAB 27

0 0 0
                                    

Hamzah kembali ke pesantren dengan keadaan hati yang lebih tenang. Mendapatkan izin orang tua adalah suatu senjata yang sangat penting untuk dibawa ke medan perang.  Dari izin itulah akan timbul ridho dari kedua orang tuanya. Dan ridho Allah bergantung pada ridho orang tua. Insya Allah, jika orang tua sudah merestui, sudah meridhoi. Allah juga meridhoi dan akan merahmati.
Tak ada lagi yang spesial di pondoknya, hanya Salma yang terkadang bertemu dimasjid. Itupin jarang, bahkan sangat langka. Tak ada lagi sahabat bawelnya, Azzam. Kabarnya ia sudah berangkat ke Singapura minggu lalu. Walaupun begitu, mereka masih sering berkabar satu sama lain. Persahabatan mereka tak berhenti sampai kelulusan, mereka berharap meraka bersahabat sampai surga.
Mas Rizal, ia berpesan akan menunggu di Kairo. Tentu saja ia tetap kakak tingkat yang jenius. Bahkan tak jarang, Mas Rizal memberikan informasi tentang keadaan Kairo terkini. Ia juga sering mengatakan, jika sudah makan makanan Kairo, bakalan kangen sama makanan Indonesia. Karenanya ia menitipkan, Bakso sapi dari Indonesia saat Hamzah berangkat nanti.
Sesuai jadwal, Hamzah dan beberapa peserta penerima beasiswa lain mengikuti pembekalan selama satu bulan di pondok. Selama pembekalan mereka mempelajari tentang bahasa arab, fiqih, al-quran, hadis, dsb. Bahkan terkadang mereka juga belajar mengucapkan bahasa arab agar terbiasa saat di Kairo nanti.
Seusai Isya, Hamzah dipanggil Abah secara pribadi, entah untuk urusan apa. Hamzah segera memenuhi panggilan itu. Tak lagi seperti dulu, jantung selalu senam ria saat akan mengetuk pintu ndalem. Kini, Hamzah lebih tenang mengucapkan salam didepan pintu ndalem. Hal itu berubah karena Hamzah terlalu sering ke ndalem dan benar-benar merasakan kasih sayang Abah dan Umi didalamnya.
" Jadi gini, Zah." ucap Abah membuka pembicaraan.
" Seperti halnya pada Rizal, padamu juga mendapatkan wejangan khusus sebelum berangkat ke Kairo. Karena kamu juga lulusan terbaik, bahkan enam tahun berturut-turut." sambung Abah. Hamzah masih diam mendengarkan.
" Abah berpesan padamu, Zah. Selama disana jaga nama baik pondok kita. Jangan coreng pindok kita dengan satu perilaku tercelamu. Karena itu akan berdampak buruk untuk kedepannya. Belajarlah dengan sungguh-sungguh, Zah, jangan terlena dengan kenikmatan dunia yang sementara ini. Ingatlah! Bahwa dunia ini hanya panggung sandiwara yang akan hancur di hari kiamat nanti." sambung Abah yang diangguki oleh Hamzah.
" Walaupun kamu sudah sampai Kairo, bahkan keliling dunia. Abah pesan! Jangan pernah lupakan pondok usangmu ini Zah! Kemarilah saat kamu pulang dan pergi! Kemarilah saat kau banyak masalah! Carilah Abah tuamu ini! Bantulah pondokmu saat semampumu, Zah. Jangan pernah lupakan pondokmu ini, Nak." sambung Abah penuh penekanan dikalimatmya yang mengandung perintah.
" Baik, Bah. Insya Allah." jawab Hamzah patuh.

__________________

Hamzah dan sembilan teman lainnya telah bersiap menuju bandara. Terdiri dari lima putra dan lima putri yang akan menaiki dua mobil menuju bandara. Jam penerbangan pada pukul 10.00. Kini mereka sedang pamit dengan keluarga, sahabat, dan beberapa orang terdekat.
Empat tahun bukanlah waktu yang sebentar bukan pula waktu yang lama. Jika kita menikmatinya akan terasa cepat. Namun, jika kita tidak menimatinya, pasti akan terasa begitu lama.
Melihat beberapa teman-temannya berpelukan dengan para sahabat dan keluarga membuat Hamzah teringat Azzam dan keluarganya.
" Jika Azzam masih disini, pasti ia menangis tak ingin berpisah denganku." gumannya melihat Gilang memeluk erat sahabatnya Reno.
Masih teringat saat Azzam akan pergi bersama orang tuanya. Ia tak mau melepaskan pelukannya pada Hamzah, layaknya anak kecil yang tak mau ditinggal ibunya.
" Bagaimana jika aku gak ada temen, Zah?" rengek Azzam waktu itu.
" Bagaimana jika banyak yang memanfaatkan kekayaanku, Zah?"
" Bagaimana jika aku lupa meninggalkan shalat dan tak ada yang mengingatkanku, Zah?"
" Bagaimana jika a____" Hamzah menutup mulut Azzam yang terus berucap, lalu memeluknya, memberikan ketenangan.
Hamzah selalu berlaku layaknya kakak bagi Azzam yang kekanak-kanakan. Bahkan tak jarang Hamzah selalu menenangkan Azzam saat ia gelisah, menangis, galau, dsb. Hanya Hamzah yang mampu melakukan itu semua karena Hamzahlah yang sangat mengerti sahabatnya itu.
" Tenang, Zam tenang." ucap Hamzah mengelus punggung sahabatnya yang akan pergi.
" Percayalah, disana pasti kamu akan mendapatkan sahabat yang lebih baik dari aku. Ada adzan yang selalu mengingatkanmu shalat lima waktu. Masih ada Allah yang selalu bersamamu, Zam." ucap Hamzah menenangkan sahabatnya.
" Pokoknya kamu sahabat terbaikku, Zah. Jangan pernah lupakan aku, Zah." ucap Azzam tegas.
Hamzah tersenyum," Iya kamu juga sahabat terbaikku, Zam." jawab Hamzah menimpali kala itu.  Ah, jadi kangen Azzam.
Keluarga Hamzah bukannya tak mau mengatarkan Hamzah. Tapi, Hamzahlah yang melarang mereka. Selain ongkos yang banyak, Hamzah juga takut tak tega meninggalkan mereka yang pasti sangat sedih sehingga bisa mengacaukan keberangkatannya ke Kairo.
" Assalamualaikum Mas Hamzah." panggil seorang wanita yang sangat familiar tiga tahun terakhir ini, Salma.
" Waalaikumsalam, Salma." jawab Hamzah memutar badannya.
" Mas Hamzah, dah mau berangkat ya?" tanya Salma nampak canggung.
" Iya Salma, mungkin sebentar lagi berangkat." jawab Hamzah.
" Eumm hati-hati ya, Mas. Jangan lupa shalat,  jaga kesehatan, semangat belajarnya. Baik-baik, Mas. Sa"am cuma bisa bantu doa." ucap Salma sendu.
" Iya terimakasih, Salma." jawab Hamzah tersenyum.
" Salma,"
" Mas,"
Ucap mereka bebarengan seperti waktu kepanitiaan. Mereka terkeleh pelan menyadari tingkah konyolnya.
" Mas Hamzah dulu, deh." sahut Salma.
Hamzah nampak ragu hendak berbicara," Eummmm.... Aku cuma mau bilang......." ucapnya menggantung.
" Bilang apa, Mas?" tanya Salma tak sabar.
" Cuma mau bilang.... Terimakasih untuk selama ini. Terimakasih juga buat...."
" Buat..."
Salma menaikkan alisnya tanda bingung.
" Buat rasa itu. Rasa yang selalu menggetarakan hatiku setiap kali bersamamu, Sal." ucap Hamzah spontan.
Salma tak menyangka Hamzah akan mengucapkan hal itu. Suatu rasa yang juga dirasakan oleh Salma. Ya, cinta Salma yang awalnya misterius. Sekarang terjawab jelas . Sejak saat itu, Salma berniat menunggu Hamzah pulang empat taun lagi.
" Sebenarnya, Salma juga merasakan hal yang sama, Mas." ucap Salma malu-malu.
Hamzah tersenyum mendengar penuturan Salma. Perasaannya terbalas.
" Salma janji aka---"
" Zah, yok berangkat." ajak Gilang memasuki mobil.
" Aku berangkat dulu ya, Sal. Assalamualaikum." pamit Hamzah lalu pergi.
" Waalaikumsalam, hamasah Mas Hamzah." teriak Salma yang diangguki Hamzah.

Happy reading
Barakallah fiikum

Story of My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang