BAB 8

0 0 0
                                    

Kabar kasus Hamzah tersebarluas dengan cepat. Seluruh penghuni pondok baik putra maupun putri telah mengetahui kasus itu. Disetiap tempat para santri saling membicarakan kasus yang belum terbukti kebenarannya. Bahkan tak sedikit dari meraka yang menghujat, mencela, menghina, dsb.
Hamzah menjadi lebih murung dari biasanya. Hilang sudah Hamzah yang ceria dan banyak ide. Penghuni kamar terlihat lengkap tapi, nampak kehilangan nyawa. Sunyi dan sepu mendominasi suasana kamar.
Ketiga sejoli itu hidup mengikuti alur peraturan, jarang sekali candaan-candaan yang mendapatkan respon positif. Bahkan Azzam yang sangat aktif ikut pendiam saat ini. Ia kehabisan akal untuk menghibur Hamzah dan mencairkan suasana.
Hingga saat mereka berjalan seusai jamaah asar, terlihat segerombolan santri didekat menara masjid. Mereka nampak membicarakan sesuatu. Ketika Hamzah dan kedua sahabatnya mendekat melewatinya, tiba-tiba salah satu diantara mereka menghalangi jalan dan menghadangnya.
" Dasar kumpulan orang munafik, kemaren yang ini kena kasus pelecehan wanita dan narkoba." ucapnya sedikit mendorong Mas Rizal.
" Sekarang yang ini, kena kasus pembunuhan. Keduanya penerima beasiswa lagi. Apa masih pantas kalian menyandang beasiswa tersebut? Coba dong kalian tuh ngaca, nih aku bawain kaca." serangnya menyodorkan kaca lipat.
" Ngaca kalo kalian tuh munafik, ditutupi aja sama kecerdasannya, kayaknya mengelabuhi Abah juga cerdas deh ya." tambahnya persis ala perempuan sang orator.
Mas Rizal dan Azzam nampak geram, menahan marah. Buku-buku jarinya memutih dan giginya bergemeletuk. Sedangkan Hamzah mampu mengendalikan emosinya.
"Apa kamu bilang? Munafik?" ucap Mas Rizal pada santri itu bernama Haris.
" Iya, kenapa? Kan emang bener kan?" jawab Harus meminta persetujuan teman-temannya dan mengangguk.
" Sekali lagi kamu bilang kami munafik, tinggal nama kalian di pondok ini sekarang juga." ucap Azzam garang menarik kerah kemeja Haris.
" Oo si anak pejabat, kurang kasih sayang main ancam-ancam teman-teman." ucapnya meremehkan yang diikuti gelak tawa para temannya. Azzam menghempaskan Haris kasar.
Hamzah tak bisa berbuat banyak, ia ingin melerai tapi seakan tak mungkin dengan kondisi psikologisnya yang buruk. Mas Rizal dan Azzam berantem dengan Haris. Hampir saja mereka baku hantam. Namun, Abah yang melewati segera memisahkan keduanya. Kemudian, meraka saling menjelaskan apa saja yang barusan terjadi.
Setelah melerai mereka Abah menghampiri Hamzah, " Tenang Nak, Abah yakin kamu gak akan melakukan perbuatan bejat itu. Kamu anak baik, Abah mengenalmu dengan baik. Berdoalah untuk yang terbaik, Abah percaya padamu." ucap Abah menepuk pundak Hamzah lalu pergi.
Ucapan Abah menjadi pegangan Hamzah untuk kembali bangkit. Kepercayaan itu mahal harganya, Hamzah bertekad untuk menjaga kepercayaan Abah.
" Gak cuma Abah, Zah. Kami juga selalu dikubumu. Kami akan mendukungmu menyelasaikan permasalahan ini. Kami percaya kamu anak baik-naik Zah
" jelas Mas Rizal.
" Iya bener Zah, meski ucapan kami tak seampuh ucapan Abah. Kami selalu medukungmu dan ada disisimu saat kau membutuhkan. Semangat." tambah Azzam mengepalkan tangannya.
Hamzah segera memeluk kedua sahabatnya itu. Tak terduga semulia itu hati mereka.
" Saat kamu dibully, mari kita hadapi sama-sama Zah, jangan diam saja. Tunjukkan bahwa kau tidak bersalah.." kata Azzam menggebu-gebu.
" Baik, Iya Zam. Makasih banyak." balas Hamzah sedikit mellow.

_______________

Keesokan harinya, Hamzah lebih percaya diri dari hari-hari sebelumnya. Dukungan Abah, Azzam dan Mas Rizal mampu menguatkannya menatap hari lebih cerah. Tak hanya itu, Hamzah juga selalu mengadu pada penciptanya setiap malam, semoga segala urusan segera usai. Pagi itu, ia sedang berjalan sendiri di lorong menuju kamarnya. Seorang santri menyampaikan bahwa ia segera ke ndalem ada perkembangan mengenai kasusnya.
Hamzah penuh semangat dan percaya diri melangkahkan kakinya menuju ndalem. Ia sangat yakin ada kabar baik baginya, bahkan semalam Abah telah menemukan beberapa titik terang, terutama penjelasan Alwi. Tak lupa lantunan dzikir tak lepas dari bibirnya. Azzam dan Mas Rizal segera menyusul setelah usai mencuci pakaian mereka.
Seaampainya di ndalem, ada dua orang polisi yang menagkap Mas Rizal waktu itu, dua orang dokter, Alwi, Abah, beberapa asatidz, dan........ Haris?! Haris kenapa ada di ndalem juga? Mau izin pulang? Kenapa gak cepetan? Dah tau mau ada acara penting.
" Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh." ucap Abah membuka forum ini disertai Haris didalamnya. Setelah beberapa muqoddimah, Abah bertanya pada Hamzah, " Zah, apa benar kamu menitupkan minuman pada Alwi saat kamu ke toilet?"
" Benar, Bah." jawab Hamzah singkat.
" Mari sama-sama kita dengarkam penjelasan Alwi. Silahkan Nak," jawab Abah.
Alwi adalah santri polos dengan predikat termuda di pondok. Ia masih berusia 8 tahun, masuk pondok tahun lalu. Ia anak kecil yang jujur dan sangat polos, karenanya ia diasuh langsung oleh Umi.
" Kemarin waktu Mas Hamzah ke toilet, Mas Haris dateng. Katanya amanah dari Mas Hamzah kalo minumnya belum dikasih gula, terus Mas Haris ngasih tiga bungkus semacam gula, katanya 'ini gulanya, tambahin aja di minumannya. Anamah dari Hamzah' katanya gitu. Aku mau nanya ketemu Mas Hamzah dimana, malah Mas Haris pergi duluan. Karena amanah wajib disampaikan, makanya aku kasih bunkusan tadi diminumannya. Fikirku mungkin Mas Hamzah tau kalo aku gak bisa takarannya seberapa, makanya udah dibungkusin sama Mas Hamzah." jelas Alwi polos.
" Setelah diselidiki, racun yang ada diminuman itu dengan zat yang ada dibungkus itu sama. Saat itu Alwi membuangnya sembarangan di dekat kompor, makanya polisi mudah menemukannya saat memeriksa kemarin." jelas Abah.
" Jadi, Haris yang jebak aku Bah?" tanya Hamzah tak percaya, karena selama ini Haris tidak pernah jahat padanya, kecuali saat kejadian di masjid itu.
" Iya Zah," jawab Abah.
" Ris, kenapa kamu tega jebak aku Ris? Aku salah apa sama kamu?" tanya Hamxah berusaha tenang.
" Aku iri sama kamu Zah! Kamu selalu pertama, mendapatkan beasiswa, lulusan terbaik sedangkan aku yang mati-matian belajar selalu dibawah kamu Zah! Aku benci! Aku benci kamu!" teriak Haris mengagetkan.
Abah segera menenangkan Haris, sedangkan Hamzah menggeleng tak percaya.
" Semua hamba punya nikmat masing-masing Ris," jawab Hamzah lembut.
" Arrrghhhh, terserah! Aku benci sama kamu Zah. Mendingan aku mati aja, pisau mana pisau? Aku mau matiiii!!!! Gak ada gunanya aku hidup, aku mau matiiii!!!" teriak Haris segera ditangani oleh kedua dokter dan dibawa pergi. Hamzah juga tak mengerti apa sebenarnya yang terjadi pada Haris.
" Nah Hamzah, kamu dinyatakan bebas dari kasus ini. Haris memang penjahat sejak lama yang kami cari, namun kami kehilangan sejak ia memasuki pondok. Saya sempat curiga saat menjumpainya kemarin. Ternyata saya tidak salah. Kalau begitu saya pamit. Assalamualaikumm" kata polisi itu.
" Waalaikumsalam." jawab kami serentak.
Hamzah dapat bernafas lega, tetapi Abah menepuknya," Hamzah, bisakah kamu memaafkan Haris dan membantunya keluar dari segala kemaksiatannya, Zah?"
Hamzah sedikit bingung, tetapi Abah segera menjelaskannya.
" Baik Bah, saya setuju." jawab Hamzah mantap.

Happy reading
Barakallah fiikum

Story of My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang