BAB 29

0 0 0
                                    

Pagi yang cerah, matahari nampak malu-malu menyinarkan sinar hangatnya. Bersembunyi dibalik dedaunan hijau yang mengembun menghasilkan sinar kristal disetiap tetesan embunnya. Ditambah aroma masakan Ibu yang menggugah selera. Harum sekali.
Hamzah libur karena hari sabtu, mengikuti sarapan bersama keluarganya. Bapak dan Ayah telah duduk rapi di meja makan, disusul Ibu dan Bunda dari dapur.
" Assalamualaikum, semua. Shobakhul khoir." sapa Hamzah.
" Waalaikumsalam, Shobahkunnur." jawab mereka.
" Sini, Zah kita sarapan dulu." ajak Bunda yang diangguki Hamzah lalu menarik kursinya.
Bunda menyiapkan makan untuk Ayah, begitupula Ibu yang menyiapkan makan untuk Bapak. Sedangkan Hamzah menunggu mereka selesai untuk memgambil nasi dan lauknya.
" Hmmmmm.... Gak ada yang nyiapin sarapan ya, Zah." ledek Ayah saat Hamzah sedang menyendokkan sayur kepiringnya.
Hamzah hanya terkekeh sebagai jawaban.
" Bunda, Ayah sayurnya mau nambah." ucap Ayah manja sengaja membuat Hamzah iri. Bunda segera mengambilkannya untuk Ayah.
" Bu, Bapak ikannya lagi," giliran Bapak yang bertingkah sama seperti Ayah.
Ibu segera mengambilkannya, tapi saat Ibu meletakkan dipiring Ibu, Bapak menarik tangan Ibu. Lalu berkata," Kita makan sepiring berdua yuk, Bu." ajak Bapak membuat ibu tersipu malu.
" Kita juga yuk, Bun." ajak Ayah pada Bunda.
Alhasil mereka makan menggunakan satu piring untuk berdua, menyisakan Hamzah makan sendiri.
Seusai makan Bunda dan Ibu segera membereskan  meja makan. Menyisakan buah dan kopi untuk Ayah dan Bapak. Hamzah membuka ponselnya yang terdapat banyak chat masuk dari beberapa temannya. Hamzah sangat sibuk mengajar dan mengatur bisnis orang tuanya hingga lupa membuka ponsel.
Azzam berada diurutan teratas di beranda chatnya. Segera ia buka, ternyata Azzam menginginkan mereka bertemu karena sudah empat tahun mereka tak saling menyapa. Ia bilang akan ada yang ia bicarakan penting. Hamzah hanya terkekeh membacanya.
"Zah," panggil Ibu yang kembali dari dapur.
" Iya, Bu." jawab Hamzah segera meletakkan ponselnya.
" Jadi kapan, kami punya menantu?" tanya Ibu langsung.
" Hehehehehe belum tau, Bu." jawab Hamzah jujur. Sampai saat ini, hati Hamzah masih tersematkan nama yang tersimpan sejak lama. Salma. Meski sampai sekarang ia belum tahu kabar Salma. Apakah ia sudah menikah ataukah belum? Berada dimana? Bagaimana keadaannya? Apakah masih menunggu Hamzah? Ia pun tak tau. Bahkan akan mencari tau lewat siapa? Hamzah juga tak tahu.
" Lahh kok belum ada? Udah dipondok enam tahun, di Kairo empat tahun. Gak ada yang menarik tah? Wanita Kairo kan, banyak yang mancung." sanggah Ibu diakhiri kekehan.
" Atau kamu mau sama...... Sama......" Bunda nampak berfikir.
" Sama... Siapa temanmu yang jenguk dirumah sakit?" tanya Bunda.
" Salma, Bun." jawab Hamzah singkat.
" Nah iya, Salma. Kenapa gak sama dia aja?" usul Bunda.
" Kabarnya bagaimana pun, Hamzah gak tau, Bun." jawab Hamzah lesu.
" Zah." kini giliran Bapak yang memanggil.
" Kalau kamu suka sama wanita itu,cari dia Zah. Pastikan keadaan dia. Jangan kau biarkan begitu saja. Kalau kamu yakin, segera lamar. Sebelum keduluan lelaki lain." nasehat Bapak.
" Iya, Zah. Laki-laki itu dilihat seberapa besar perjuangan dan perjuangannya. Semakin menantang dan berat mendapatkan hati wanitanya.  Maka semakin kuat pertimbangan pada wanita. Bukan laki-laki pengecut. Pergilah, Zah. Carilah dia, wanita yang kau pilih." tambah Ayah.
Semangat Hamzah semakin membara setelah mendengarkan dukungan orang tuanya." Doakan Hamzah, Pak, Bu, Yah, Bun." ucap Hamzah.
Tiba-tiba ponsel Hamzah berdering menampilkan nama Mas Rizal dilayar. Hamzah segera mengangkat dan pergi seusai izin pada orang tuanya.

______________________

Ruangan begitu ramai oleh para alumni pondok. Mulai dari angkatan Mas Rizal sampai adik kelas Hamzah. Malam ini mengadakan reoni yang diselenggarakan di aula pondok. Telpon Mas Rizal waktu itu mengundang Hamzah untuk datang di acara reoni malam ini.
" Hallo, Hamzah. Assalamualaikum." tepuk seseorang di pundak Hamzah.
" Waalaikumsalam, Mas Rizal." jawab Hamzah memutar badan.
" Akhitlrnya datang juga, calon Gus." ucap  Mas Rizal membingungkan Hamzah.
" Ha? Calon  Gus? Maksudnya, Mas?" tanya Hamzah.
Mas Rizal belum menjawab, " Hallo sahabatku, Assalamualaikum." teriak seseorang dari belakang mereka.
" Waalaikumsalam, Azzam!!" jawab Hamzah dan Mas Rizal bebarengan.
"Mas Rizal! Hamzah!! " teriak Azzam memeluk keduanya.
Tiga sahabat yang sangat erat dan terkenal dipondok karena ketampanan mereka. Berpisah selama empat tahun membuat mereka saling merindukan satu sama lain. Banyak sekali kejadian yang mereka lalui tanpa kebersamaan.
" Kangan banget sama kalian," ucap Azzam memeluk erat.
" Sama kita juga, Zam." jawab Hamzah.
Tak lama setelah pertemuan tiga saudara itu, Abah naik mimbar memberikan sambutan dan beberapa petuah. Masih sama seperti dulu, seluruh santri diam mendengarkan penuturan Abah dengan hikmat.
Dalam kurun waktu empat tahun, banyak sekali kejadian yang terjadi pada setiap manusia. Kini, telah banyak kabar lamaran, pernikahan, bahkan ada beberapa santri putri yang sudah menggendong anaknya. Rupanya jika diceritakan mungkin akan jadi satu novel.
" Nih aku bawakan khusus buat kalian." Azzam mengeluarkan dua lembar undangan tertulis nama Hamzah dan Mas Rizal.
Azzam dan Rere.
" Ini Rere yang dulu buat ulah di pondok itu kan, Zam?" tanya Mas Rizal.
" Iya Mas. " jawab Azzam malu-malu.
" Dia udah hijrah, Mas. Aku ketemu di Singapura udah berhijab." jelas Azzam.
" Masya Allah." jawab Hamzah dan Mas Rizal bebarengan.
" Dek, mau kemana?" tiba-tiba Mas Rizal memanggil Salma yang melintas dibelakangnya.
" Mau ke ndalem, Mas. Kenapa?" tanya Salma.
" Ambilin itu, di kamar Mas, ya." perintah Mas Rizal membuat Azzam dan Hamzah terbengong.
Mas Rizal berlagak tanpa dosa. Azzam berlagak bingung, melotot, tak percaya. Sedangakn Hamzah tak menyangka, gadis pujaannya. Apa Salma sudah menikah dengan Mas Rizal? Sesakit inikah?
" Salma istri Mas Rizal?" ceplos Hamzah tanpa sadar.
Bukannya menjawab, Mas Rizal malah tertawa. Tentu saja Hamzah dan Azzam bingung.
" Baik, sekarang aku jelaskan."
" Sebenarnya, aku adalah anak sulung Abah Mukhlis dan Gus pondok ini. Pasti kalian bingung, kenapa kabar yang beredar anak abah ada di Surabaya. Ya, benar sejak kecil aku berada di Surabaya, tempat nenek agar keberadaan kami tak terlacak dan akan kembali ke pondok sebagai santri pada umumnya agar tak sombong."
" Ini, Mas." ucap Salma memberikan dua kertas semacam undangan.
" Terimakasih, Dek." jawab Mas Rizal.
" Dan Salma adalah adikku. Saudara kandungku, yang jejaknya sama sepertiku. Bukan istriku. Ini calon istriku." ucap Mas Rizal setelah Salma pergi dan menyodorkan undangan kepada Hamzah dan Azzam.
Rizal dan Zaskia
" Temennya Salma?" tanya Hamzah.
" Tepat sekali, acaranya seminggu sebelum resepsi Azzam." jawab Mas Rizal.
" Masya Allah. Barakallah buat kalian. Ternyata saya tertinggal." ucap Hamzah miris menyadari sahabatnya akan segera menyempurnakan agama mereka. Sedangkan ia baru saja menjumpai wanita pujaannya.
" Kamu kapan nyusul, Zah." tanya Azzam menggoda.
" Doakan saja, Zam." jawab Hamzah sendu.
" Salma masih nungguin lamaran kamu loh, Zah." ucap Mas Rizal.
" Seriusan, Mas?" tanya Hamzah berbinar.
" Iya, kemaren ada yang lamar dia, tapi ditolak. Mas tanya dia nungguin kamu, Zah." jelas Mas Rizal.
Hamzah tersenyum mendengarkannya. Ternyata ia hanya salah sangka. Gadis pujaannya menolak lamaran dan memilih menunggu lamarannya. Perasaannya terbalas, itu yang paling utama.
" Siap, Mas. Tunggu besok malam, aku dan keluargaku  datang untuk melamar adikmu." ucap Hamzah mantap.

--TAMAT--

Happy reading
Barakallah fiikum

Story of My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang