BAB 28

1 1 0
                                    

Waktu berjalan begitu saja, meninggalkan jejak sejarah pada setiap manusia. Goresan-goresan tinta buku dalam buku kehidupan. Tak bisa dihapus karena masuk dalam perjalanan yang mengandung kenangan.
Empat tahun sudah, Hamzah menuntut ilmu di universitas tertua itu, Al-Azhar,Kairo. Bukan waktu yang singkat baginya. Namun, waktu yang sangat berharga dan tak tergantikan. Pengalaman yang sangat berkesan dan tak terlupakan.
Empat tahun di negeri orang, seakan mengajarkan Hamzah bahwa dunia ini hanya sekedar tempat singgah, sementara dan fana. Segala sesuatunya akan kembali pada Rabb-Nya. Dulu Hamzah berfikir bahwa Jakarta hanya sementara, tapi Allah berkata lain. Allah ingin Jakartalah tempat tinggalnya tuk selamanya.
Jakartalah yang mengisi separuh hidupnya saat ini. Dimanapun ia pergi, Jakartalah tempat ia berpulang. Disanalah orang tuanya tinggal, dimana sumber ridho yang selalu ia butuhkan.
Hamzah juga mendalam memaknai dunia yang fana ini. Jika tempat berpulangnya adalah Jakarta, maka tempat berpulang setiap muslim adalah surga.  Ia berangkat dari Jakarta, lalu menuju Kairo, dan ia juga kembali ke Jakarta setelah urusan di Kairo telah selesai.
Kairo hanya sebagai tempat sementara dalam hidupnya. Sama seperti dunia yang hanya sementara. Tak akan lama-lama didunia karena sumber kasih sayang adalah Allah Sang Pemilik surga.
Sampai saat ini masih misteri, kapan waktunya kita kembali pada Ilahi. Tak ada yang bahkan sedetikpun. Kapan kita mati? Dimana? Bagaimana? Hanya Allah yang tau semua jawabannya. Ialah pemilik, penguasa semesta beserta isinya. Termasuk jalan hidup dan umur para HambaNya.
Sebagai makhluk Allah, hanya bisa semakin memperbaiki diri disetiap hari. Biarlah Allah yang mengatur, akankah jodoh datang menjemput atau justru maut yang datang menjemput?

_______________________

Kini Hamzah telah bersiap di Bandara Internasional Kairo menuju Indonesia. Bersama beberapa rekannya yang memiliki tujuan yang sama. Mereka semua nampak bahagia akan kembali ke tanah air. Sebagian besar memang empat tahun tak kembali ke tanah air. Jadi, rindu pada keluarga dan kerabat memang telah memuncak.
" Zah, seusai pulang kamu ngapain?" tanya Yusuf, sahabatnya selama di Kairo yang berasal dari Yogyakarta.
" Eummm paling sowan ke pondok, Suf. Kayak Mas Rizal." jawab Hamzah.
Mas Rizal sudah kembali ketanah air, tahun lalu. Karena ia memang kakak tingkat Hamzah. Jadi, lebih dulu menyelesaikan pendidikan.
" Oo, kapan aku main ke Bogor atau ke Jakarta boleh, Zah?" tanya Yusuf.
" Dengan senang hati, Sob." jawab Hamzah tersenyum menepuk pundak Yusuf.
" Kamu jugalah, main ke Jogja." ujar Yusuf.
" Insya Allah, nanti direncanakan, Suf." jawab Hamzah riang.
Berbeda dengan Azzam. Yusuf lebih kalem dan lembut dalam bertutur kata khas Jogja. Sangat jarang bagi Yusuf berteriak ataupun tertawa terbahak-bahak. Ia benar-benar keturunan Jogja yang melestarikan adatnya. Ia juga tampan, dengan hidung mancung dan senyum manisnya yang menyejukkan. Hafalannya pun bagus, fiqih dan ilmu agama lainnya juga mantap, tak kalah dengan Hamzah.
" Zah, berapa umurmu sekarang?" tanya Yusuf tiba-tiba tentunya dengan kalimat yang halus.
" Aku, 22 sekarang, Suf. Kalo kamu?" tanya Hamzah balik.
" Aku 23, Zah." jawab Yusuf.
" Masya Allah kakanda, " ucap Hamzah mencium tangan Yusuf.
" Apaan sih, Zah. Beda setahun aja, masih sebaya ini" jawab Yusuf membusungkan dadanya.
" Hahahahahahahaha," mereka tertawa bersama hingga instruksi untuk memasuki pesawat terdengar mengjentikan tawa mereka.

______________

Sudah dua hari, sejak kepulangan Hamzah dari Kairo. Hamzah masih berkutat dirumah membantu Ayah dan Bapaknya mengembangkan usahanya. Membuka toko cabang baru.
Walaupun Hamzah berada di Kairo. Namun, Hamzah rutin bercengkrama dengan keluarganya lewat telpon ataupun panggilan video. Dari situlah, Hamzah menyarankan perkembangan bisnis orang tuanya. Mulai dari berhenti berdagang keliling,membuka toko, mengajarkan pengelolaan keuangan, dsb. Hingga kini, bisnis sayur Ayah dan Bapaknya sudah memiliki tiga cabang di Jakarta.
" Ini kita ambil sayur yang masih segar saja, Pak, Yah. Nah yang mulai layu kita konsumsi sendiri atau kita sedekahkan. Bukan maksud menyedekahkan barang buruk. Karenanya sebelum layu, masih segar segera diberikan. Supaya esok bisa pake sayur baru. Dan setiap jum'at selalu infaqkan 3% dari penghasilan seminggu, Yah, Pak. Buat bekal akhirat." usul Hamzah yang diangguki Ayah dan Bapaknya tanda setuju.
" Gimana kalo kita ke panti asuhan setiap minggunya, Nak? Kita bagikan hasil penjualan kita." usul Bapak.
" Boleh, Pak. Hamzah setuju. Lagian ini kebanyakan kalo dikonsumsi sendiri." ucap Hamzah diakhiri cengirannya.
Tiba-tiba ponsel Hamzah berdering dengan nama Abah Mukhlis terpampang disana.
" Sebentar ya, Yah, Pak. Hamzah angkat telpon dari Abah dulu." pamit Hamzah yang diangguki oleh mereka.
" Assalamualaikum, Bah." sapa Hamzah mengangkat telpon.
" ..............."
" Alhamdulillah sehat,Bah. Abah sehat kan?"
"........."

______________

Telpon dari Abah itu memerintahkan Hamzah untuk datang ke pondok di hari Sabtu. Kata beliau ada yang akan dibicarakan. Sebenarnya, ia merasa bersalah tidak segera ke pondok seusai tiba di Indonesia. Tapi, urusan di rumah juga harus segera ia selesaikan. Kini, ia sudah berada di rumah Abah, ndalem.
Terdengar suara pintu terbuka, spontan Hamzah menengok.
"Mas Rizal?" ucap Hamzah melihat Mas Rizal keluar dari salah satu kamar di rumah Abah.
" E-eeh Hamzah, apa kabar?" sapa Mas Rizal memeluk Hamzah.
" Alhamdulillah, baik, Mas. Mas, sehat juga kan?" tanya Hamzah balik.
" Alhamdulillah seperti yang kamu lihat." jawab Mas Rizal sedikit terkekeh.
"Mas Rizal ngajar di Pondok?" tanya Hamzah.
" I-iya, Zah." Mas Rizal sedikit ragu.
" Oo, tinggal disini?" tanya Hamzah lagi.
"Eeeee... Eummmm.."
" Eh, Hamzah sudah datang," ucap Abah memutuskan perbincangan mereka.
" Alhamdulillah, Bah." sahut Hamzah segera meraih tangan Abah lalu menciumnya.
" Zal, tolong santri kelas 4 diisi, Ustadz Nizam berhalangan hadir." perintah Abah yang segera diangguki Mas Rizal.
" Nambah ganteng aja kamu ya, Zah." canda Abah memuji Hamzah.
" Hehehe, Alhamdulillah, Bah."
" Udah ganteng, soleh, mapan lagi. Ukhty mana yang gak mau sama kamu, Zah."
" Hehehhehehehe, Abah bisa saja. Saya belum mapan kok, Bah."
" Belum mapan gimana? Orang toko sayurnya dah dimana-mana."
" Itu punya Ayah sama Bapak kok, Bah."
" Sama saja, kan ide kamu."
Hamzah sedikit terkejut mendengar penuturan Abah. Pasalnya tak ada yang tau jika perkembangan toko orang tuanya atas ide dan usulnya.
" Siap nikah, Zah?" tanya Abah tiba-tiba.
Hamzah lagi-lagi dibuat terkejut dengan pertanyaan Abah.
" Heheheh belum ada calonnya, Bah." jawab Hamzah menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
" Abah ada calon nih, kalau mau Abah berikan." usul Abah. Hamzah menjawab dengan deheman bingung. Dibalik pintu ada seorang gadis yang tersenyum mendengar percakapan mereka.
" Santai saja, Zah. Abah nyuruh kamu kesini, Abah minta tolong kamu ngajar di pondok ya, Zah." pinta Abah.
" Dengan senang hati Hamzah menerimanya, Bah. Tanpa Abah minta pun, saya ingin mengajukan." jawab Hamzah.
" Alhamdulillah, mulai minggu depan ya, Zah."
" Baik, Bah."

Happy reading
Barakallah fiikum

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 30, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Story of My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang