3 | Parapet Wall

115 19 12
                                    


"Kalau aja Ayah bisa melanggar peraturan, Ayah bakal buatin rumah yang besar buat kita, termasuk Mama mu juga. Terus kita bisa tinggal bersama."
-- Jefrayen

(kurang lebih gini gambaran kereka di Padang Elisian)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(kurang lebih gini gambaran kereka di Padang Elisian)





























Ara tidak menyangka Ayahnya bisa hidup sendirian di rumah seperti ini. Atap kayu yang ada rongga di beberapa sisi, semalam cahaya bulan masuk lewat lubang itu dan membentuk sorot seperti jalannya para peri untuk turun ke bumi. Lantainya juga terbuat dari kayu, jika dipijak menimbukan suara derap langkah yang nyaring. Alhasil semalam saat berkeliaran di rumah ini Ara melepas sepatu fantofelnya dan menyisakan kaos kaki putih.

"Ayah? Ayah tidur dimana?" semalam Ara bertanya begini.

"Tidur di bawah, di samping tempat tidur kamu."

"Kenapa? Ayah nggak punya kasur lagi?"

Dengan senyuman, pria itu menggeleng.

"Udah, enggak apa-apa. Ayah udah biasa tidur di tanah."

"Seriusan?" Ara yang tadinya udah tiduran jadi setengah bangun waktu lihat Ayahnya gelar selimut di bawah.

"Iya. Kamu tidur aja, pasti capek habis perjalanan jauh."

Selimut untuk dasaran tidur terlihat lumayan tebal, jadi Ara agak tenang soal Ayahnya. Dan sewaktu Ayahnya tiduran, Ara juga ikut tiduran di ranjang. Sejujurnya dia masih merasa canggung, tapi mau gimana lagi, kalau canggung terus nanti mereka tidak akan dekat.

"Dad, you are really Jefrayen Cho, right?" Ara bertanya lagi.

Jefrayen memandangi anaknya yang ada di atas, "Yes, Love. I'm your Dad. Jefrayen Cho. Why? Don't you believe?"

"I just making sure."

"Yah, itu wajar. Selama ini kita belum pernah ketemu. But you said we are similar to each other," Jefrayen menjawab, "Oke, kalau kamu nggak percaya, kamu bisa tanyain apapun soal Mama mu, Ayah bisa jawab."

Ara menengok, lalu menyampingkan tidurnya menghadap Sang Ayah. Lantas dia bertanya.

"Coba tebak warna rambut Mama apa?"

Tanpa menunggu lama, Jefrayen langsung menjawab dengan yakin.

"Hitam."

Suara tawa dari perempuan itu membuat Jefrayen mengalihkan pandangannya, diam-diam dia juga ikut tersenyum melihat putrinya yang bahagia. Jefrayen pikir Ara akan tidak suka jika tinggal di rumah kecil ini, tapi nampaknya anak itu biasa-biasa saja.

BORDER: another universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang