20 | The Dream is Just Dream

29 3 0
                                    

















Ara histeris.

Dia terus berusaha kabur dari gua tempat persembunyian tatkala Sakra dan Felix datang terengah-engah dan bilang jika Jefrayen dan Miran masih tertinggal di belakang.

Hatinya tak bisa merasa tenang sejak saat itu. Apalagi setelah mendengar banyak suara tembakan memekakkan telinga beberapa waktu lalu. Pikiran Ara tidak bisa jernik, yang ia pikirkan hanyalah kemungkinan-kemungkinan buruk menimpa kedua orang tuanya.

Tadi Ara memang sengaja memisahkan dirinya dari Jefrayen, ia mengikuti Derryl dan Yalla yang berlari ke arah kanan sebab ia pikir Yalla lebih tahu hutan ini, maka akan cepat pula menemukan tempat persembunyian. Namun ia tak menyangka jika kesengajaan yang ia lakukan berakibat buruk.

"Ara, Ara, kita diam dulu!! Tunggu waktu aman buat keluar! Jangan gegabah." Yalla menahan kuat kedua tangan Ara.

"Kamu nggak dengar suara tembakan tadi?! Gimana kalau Ayah sama Mama--"

Sakra dan Felix tetap diam walau mereka berdua tahu Miran sempat tertembak. Jika mereka memberi tahu sekarang maka akan bertambah runyam, Yalla juga tidak akan tinggal diam.

"Coba kita dengerin apa yang Yalla bilang," sahut Derryl. "Kita nggak tau tentara itu masih ada atau udah pergi. Tenang aja, Ayah sama Mama kamu pasti aman."

Ara gigit bibir. Tercetak jelas di wajah penuh peluhnya jika ia khawatir setengah mati. Dia tidak ingat bila sedang berada si zona marah-saling diam dengan Ayahnya. Persetan dengan ego ini bukan saatnya ia tetap marah dan acuh dengan Ayah Ibunya. Lagian anak mana yang bisa tenang dihadapkan keadaan seperti ini.

Matahari di luar semakin siang semakin terik. Mereka tetap disana, Ara mondar-mandir di mulut gua dengan Derryl yang gatal karena tidak bisa menenangkan Ara.

Dengan jarak yang cukup jauh, di sisi lain Sakra diam-diam menceritakan soal Miran ke Yalla, ia harap Yalla bisa mengerti dan memahami keadaan. Tentu saja perempuan itu syok setengah mati namun di sadarkan saat melihat Ara tengah berdebat dengan Derryl.

"Apa kamu bisa menjamin omonganmu itu?! Enggak kan?! Ini udah lama sejak Felix sama Sakra sampai disini, Ayah sama Mama belum juga nyusul!!!"

"Tapi apa dengan kamu keluar Ayah sama Mama mu bisa langsung ketemu? Enggak kan! Enough, Ara. Jangan keras kepala."

"Kamu nggak tau rasa khawatirku kayak gimana! You don't know!"

"Which part i don't know?!"

Tentu itu mengagetkan semuanya karena sejak awal mengenal Derryl mereka tidak pernah melihat Derryl marah dan mendengar suara nyaringnya meninggi.

"Bagian mana yang nggak aku ketahui, huh?!" mungkin karena terbawa emosi Derryl jadi menarik dan mencengkeram kedua lengan Ara. Ara menangis namun Derryl tidak menyadari hal itu. "Walau masih sebentar tapi selama ini aku selalu mencoba memahami kamu, aku tau kamu khawatir. Kamu pikir dulu aku nggak khawatir waktu nungguin Mama di stasiun karena nggak lekas dijemput? Terus beberapa hari lalu aku baru tau kalau ternyata Mama udah meninggal."

Mereka saling tatap. Ara dengan mata dinginnya, Derryl dengan mata penuh amarah yang selama ini ia tahan.

"I keep trying to understand you, but you never care about me. That's the true. You are selfish even your father admits it. What do you know about me? Nothing. So please, listen to what I'm asking for even if only once."

"Why are you talking about us?!" balasan Ara makin beriak.

"I'm talking about your worries. Manage your worries, don't worry too much or those worries will come true."

BORDER: another universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang