9 | Stardust

38 10 2
                                    


Stardust
(n) a naivety romantic quality



























Surat prosedur untuk reproduksi esok sudah dibagikan sejak pagi-pagi buta tadi oleh beberapa orang dari pemerintahan ke tiap rumah yang ada disana. Ara sedang tidak ada di rumah, alhasil Jefrayen lah yang menerimanya. Dia mengambil itu, sedangkan di genggaman tangan yang lain ada secangkir kopi yang tengah pria itu sesap perlahan karena masih panas.

"Kapan acaranya dilaksanakan?" seperti biasa, Jefrayen terlihat tampan saat menggunakan kacamata walaupun wajahnya sudah termakan oleh usia.

"Dua hari lagi, Pak. Putrimu harus datang tepat waktu di tempat yang sudah di tetapkan."

"Asphodel Center?"

"Seperti biasa."

"Gedung itu udah lama tapi nggak roboh-roboh, apa pemerintan nggak mau mengganti gedung yang lebih baru lagi? Jaman udah semakin berkembang tapi pemerintahan kita masih aja monoton."

Pria pembagi surat itu tidak menjawab. Dia bergegas pergin setelah Jefrayen mengusirnya. Ayah itu berani mengkritik pemerintahan di hadapan orang pemerintah.

Benar-benar meresahkan. Padahal dia baru saja bertemu dengan putrinya, tapi malah akan di rembut kembali dengan peraturan hereditary gila ini. Mereka semua memang orang-orang sialan yang berpikir cetek.

Tapi mau bagaimana lagi, peraturan tetaplah peraturan. Walaupun Jefrayen tidak setuju, dia akan tetap menyuruh putrinya pergi kesana, seperti yang pernah Miran tuliskan di surat dulu, dia tidak boleh mencuci otak Ara untuk menolak acara ini, dia tidak boleh mencegah Ara untuk pergi ke Asphodel, dia tidak memarahi Ara setelah pergi dari Asphodel, dia tidak boleh ini tidak boleh itu pokoknya banyak sekali. Jefrayen sampai tidak membaca semua kalimat yang tertulis di surat karena dia yakin semuanya hanya tentang Ara dan Ara.

Pria itu meletakkan brosur di atas meja, lalu duduk di sebuah kursi kayu sembari menikmati kopi lagi. Rumah terasa sepi karena Ara belum pulang dari perginya, entah kemana anaknya itu. Ara keluar rumah tanpa ijin. Dari sebelum cahaya matahari masuk ke rumah sampai sekarang lantainya di penuhi jejak sinar matahari, selama itu Ara pergi.

Jefrayen tidak begitu khawatir karena dia yakin Ara sudah hapal arah jalan dan tempat-tempat di daerah ini.

Dan saat kopinya sudah mulai habis, Ara baru datang. Anaknya duduk di kursi depan Jefrayen sambil merutuki sesuatu.

"Rambutku jadi kasar banget, padahal dulu enggak loh. Semenjak pindah kesini jadi jarang di minyakin, biasanya Mama ngasih seminggu sekali. Ini harus di gimanain ya, Yah?"

"Apa sih? Apa? Kamu kenapa?"

"Rambuuuut, rambutku jadi rusak. Ih tadi Ayah dengerin nggak sih pas aku ngomong?"

Untuk yang terakhir kali Jefrayen menenggak habis kopinya. "Di potong aja."

"Enak banget ngomongnya."

"Ya terus mau di gimanain? Ayah juga nggak tau minyak apa yang Miran kasih ke kamu."

Ara cemberut di jawab Ayahnya seperti itu, namun tak lama Ayahnya mengganti topik obrolan soal acara dua hari kedepan.

"Lusa kamu ke Asphodel Center." kata Jefrayen dengan mudah.

"Ngapain?" awalnya Ara tidak paham, tapi kemudian dia mengerti, "Oh Asphodel itu..."

"Miran bilang kamu nggak boleh nolak dan harus dateng kesana."

Jefrayen mengambil brosur yang ada di sebelah tangannya, memberikan kertas itu ke Ara sebagai bukti kalau dia tidak berbohong. Dia juga pergi sebentar untuk mengambil suratnya Miran, menyuruh anak itu untuk membaca kembali dan akan lebih baik jika dia menuruti semua perkataan Miran yang ia tulis di surat.

BORDER: another universe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang