45. Benar-benar Pergi

896 150 41
                                    

🎧🎧🎧

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🎧🎧🎧

Semua orang mulai berdatangan pagi itu ke rumahnya, bendera kuning nampak terikat dipagar depan, jasad Rasyid pun dibaringkan di ruang tamu dengan selembar kain jarik dan juga kain putih menutupi seluruh wajahnya.

Di sampingnya, nampak Afika yang tengah duduk bersandar dibahu Aqila dengan wajah merah serta isakan-isakan kecil yang membuat tubuhnya bergetar sembari memandang tanpa beralih dari sang Ayah.

Rasa bersalah yang penuh penyesalan, Afika benar-benar ingin berteriak dengan kencang saat itu juga.

"Pak Rasyid orang yang baik, dermawan, selalu menolong sesama, saya yakin Allah sudah menyiapkan surga untuk beliau."

Percakapan itu terdengar samar ditelinga Afika, membuat kepalanya menunduk semakin dalam hingga akhirnya ia pun bangkit dari duduk dan memutuskan untuk pergi ke lantai dua menuju kamarnya.

Brakk!!

Dibantingnya kuat-kuat pintu itu. Tangisan itu akhirnya kembali memecah, ia terduduk lemah disamping kasur sambil memanggil sang Ayah berulang kali.

"Abaa jangan tinggalin Fika..!!"

Badan Afika bergetar hebat, isakan tangis itu terus terdengar hingga membuat kepalanya terasa pusing.

Seketika ia teringat sesuatu, bergegas Afika pun mengusap kasar air matanya. Ia bangkit dari duduknya lalu kembali keluar dengan manik mata yang benar-benar tajam.

"Kamu mau kemana, Nak?" Habibah bertanya ketika Afika lewat disana.

Namun gadis itu tak menjawab, ia terus berjalan keluar. Hingga mendapati banyaknya anggota Angkasa dan teman-temannya disana, termasuk Sean.

Ia pun mengeluarkan motor Hasan dan langsung bergegas pergi dari pekarangan rumah tersebut. Padahal sudah dilarang, namun Afika tak peduli. Yang ada dipikirannya sekarang adalah Rasyid, dengan laju ia terus memutar gas motor itu sampai habis.

Menoleh ke spion sebentar, ternyata Sean mengikutinya. Afika tak peduli, ia semakin memutar pedal gas nya hingga tiba lah ia ke kantor Polisi, dengan niat ingin bertemu dengan pria yang sudah menabrak Ayahnya kemarin.

Kehadirannya disana menarik perhatian mereka, dengan lancang Afika masuk lalu bertanya, "saya mau ketemu sama orang yang kemaren nabrak Aba saya!"

Mereka tahu dengan Afika karena Rasyid adalah orang penting dikota tersebut. Dengan segan lelaki berseragam lengkap itupun bangkit dan mengajaknya untuk pergi menuju sel dimana pria yang dimaksud berada.

Namanya adalah Bima, lelaki berusia tiga puluh tahunan dengan banyak tato ditubuhnya.

Setelah diminta keluar untuk bertemu dengan Afika, lelaki itupun duduk. Ia menatap Afika yang sepertinya hendak meluapkan emosi padanya.

"Lo udah ngilangin nyawa Bokap gue."

"Saya tidak sengaja."

"Dengan entengnya lo bilang nggak sengaja? Lo tau? Gimana rasanya kami semua kehilangan sosok Ayah!?" tunjuk Afika tepat diwajahnya.

Bima diam, ia menunduk dalam. Afika pun bangkit, tangannya mengepal kuat dengan napas yang berderuh kasar.

Bughh!!!

Satu tamparan mendarat diwajahnya, hal itu lantas menarik perhatian semua orang yang ada disana. Baik didalam sel, mau pun diluar.

"Gue bersyukur mereka udah nangkep lo yang berusaha pengen kabur. Tapi, gue ngerasa itu gak cukup."

Bima tercengang setelah mendengar ucapan itu. Afika masih menyorotnya tajam lalu berkata, "mau dibalas bagaimanapun, itu semua gak akan bisa ngembaliin Bokap gue ke dunia."

"Gue.. Bersumpah semoga Allah segera ngebales semua perlakuan lo itu! Walaupun gak disengaja, itu bukan urusan gue." Lanjutnya.

Bughh!!

Bughh!!

"Arghh!!"

Bughh!!

"Kenapa bukan lo aja yang mati!!!"

Afika menghajar pria itu dengan brutal, semua yang ada disana sontak panik dan berusaha melerai keduanya. Sean datang dan memeluk Afika, tangisan gadis itu kembali memecah.

Sekuat tenaga ia memberontak terhadap dekapan itu karena ingin kembali menghajar, namun Sean tetap menahannya.

"Kenapa lo malah nahan gue, Sean? Kenapa!!? Gue benci sama dia, gue benciiii!!! Arghh!!!!!!"

Brakk!!

"LO UDAH NGILANGIN NYAWA BOKAP GUE!!!!"

"Udah, Fik. Udah.. Gue gak mau ngeliat lo sedih gini..," lirih Sean mengusap lembut kepala Afika.

"S-saya.. Minta maaf," ujar pria itu pelan.

"APA LO PIKIR DENGAN MINTA MAAF BISA BIKIN BOKAP GUE BALIK LAGI HAH? NGGAKK!!!!!" balas Afika kembali berteriak.

"Afika, udah! Gue tau lo merasa kehilangan banget, tapi apa gini caranya? Percuma, Fik. Please, gue tau apa yang lo rasain sekarang karena gue udah pernah ngalamin hal itu, gue harap lo ngerti.."

Afika melepaskan dekapannya dan menatap cowok itu sambil menggeleng kecil, "lo gak pernah ngertiin gue, Sean. Lo gak pernah ngertiin gue," lirihnya.

"Gue cuma gak terima Bokap gue meninggal dalam keadaan gak wajar kayak gitu..!"

"Sstt.. Udah Afika..," balas Sean.

"Kenapa Allah ngambil Aba duluan? Kenapa bukan gue?" lirih Afika terisak.

***

Setelah puas dengan apa yang ia luapkan tadi, kini Afika kembali pulang. Semuanya sudah bersiap-siap hendak menyolatkan jenazah Rasyid di mesjid yang berada tak jauh darisana.

Banyak sekali orang yang ikut pergi ke mesjid itu, termasuk anak-anak Angkasa dan rekan-rekan kerja Ayahnya.

"Gue sayang sama Aba," lirih Afika.

Annisa mengangguk paham, "tapi Allah lebih sayang sama beliau.."

"Aba gue orang baik kan, Nis?"

Gadis itu tersenyum dan kembali mengangguk, "Aba lo orang baik, baiik banget."

Afika pun menyandarkan kepalanya pada bahu Annisa sambil memejamkan matanya perlahan.

🎧🎧🎧

Jangan lupa untuk meninggalkan jejak kalian🖤

AFIKA [ END✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang