Chapter 1 - Pusat Gravitasiku

3.5K 241 25
                                    

Sorakan berisi yel-yel pembangkit semangat, berhasil memutus lamunan yang telah berlangsung cukup lama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sorakan berisi yel-yel pembangkit semangat, berhasil memutus lamunan yang telah berlangsung cukup lama. Kuangkat kepala untuk memeriksa yang sedang terjadi. Rupanya latihan yang dipimpin Gabriel sudah berakhir. Kini ia tengah memeluk rekan setimnya satu per satu, sebelum berjalan penuh semangat ke arahku. Kakinya yang panjang membuatnya dapat menyeberangi lapangan hanya dengan beberapa langkah saja.

Aku bisa melihat jelas keringat yang tengah membasahi wajahnya. Cairan berbau menyengat yang selalu sukses membuat hidungku berkedut. Akan tetapi, aku tetap tidak bisa jauh darinya. Porsi Gabriel di hatiku sudah terlalu besar dan sulit tergantikan. Walau hubungan kami tidak pernah lebih dari sahabat, tapi bagiku artinya lebih dari apa pun. Ia pusat gravitasiku.

"Sorry lama, Man. Tadi anak-anak pada minta tambahan waktu terus. Kamu bosen, ya? Mukamu asem banget," ujar Gabriel sambil menyeka keringat dengan handuk kecil yang ia ambil dari tas olahraga.

Aku menggeleng lamban. "It's okay. Aku juga males pulang sendiri." Lalu mataku beralih ke beberapa teman basket Gabriel yang masih asyik berebut giliran untuk menggiring bola. "Tumben, pada betah banget latihannya?" komentarku heran.

Gabriel ikut melihat ke arah lapangan basket beserta isinya. Aku bisa melihatnya tersenyum sekilas sebelum tersusul dengan embusan napas sedih. "Pasti kamu lupa kalau ini hari terakhirku latihan sebagai mahasiswa, deh. Minggu depan kan, kita udah wisuda, Man," sahutnya tidak bersemangat. Semburat merah di mukanya yang kelelahan tampak semakin menggelap. Aku tahu jelas, ada perasaan tidak rela di balik kalimatnya barusan.

"Setelah wisuda kamu masih bisa main-main ke kampus, kali. Kalau nggak, cari klub basket aja. Kan banyak banget itu. Tinggal pilih," kataku mencoba menghibur.

Gabriel berbalik, kembali menghadapku. Kedua sudut bibir penuhnya terangkat tipis. "Entahlah. Kayaknya ... setelah wisuda, main basket akan jadi sebuah kemewahan untukku," lirihnya sedih.

"Hah? Memangnya setelah kuliah kamu mau ngapain?"

Perasaanku jadi tidak enak. Jangan-jangan ada sesuatu yang sedang ia sembunyikan.

"Nanti aku ceritain sambil jalan." Gabriel terkesan sengaja menghindar. Namun, meski enggan aku tetap mengangguk setuju sebelum kembali duduk dalam diam. Hingga aku teringat pada hal serius yang ingin kutanyakan padanya.

"Gab, menurutmu ... di antara kita berdua, siapa yang bakal nikah duluan?"

"Hah?" Gabriel sangat terkejut usai mendengar pertanyaanku. Bahkan, ia sampai urung meminum air mineral dari botol yang sudah dibukanya. Mata tipisnya mengamati raut wajahku sembari mengernyitkan dahi.

"Aku nggak tahu, Man. Belum kepikiran ke arah sana juga. Memangnya ada apaan?" balasnya tanpa berusaha menutupi kenyataan kalau ia tidak tertarik pada topik pernikahan. Jawaban kurang memuaskan dari Gabriel, seketika membuat mood-ku terjun bebas. Aku sedikit merengut, tapi masih lanjut menanyakan pokok permasalahannya.

WHEN MY BOY TURN INTO A STAR (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang