Chapter 16 - Grounded

645 69 28
                                    

Sebelumnya aku selalu berpikiran bahwa menjadi anak tunggal itu adalah sebuah anugerah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebelumnya aku selalu berpikiran bahwa menjadi anak tunggal itu adalah sebuah anugerah. Tidak untuk kali ini. Aku sangat berharap memiliki kakak atau adik yang mampu mengalihkan perhatian kedua orang tuaku. Total sudah tiga hari aku dihukum. Tidak boleh pergi ke mana-mana, jika tanpa ditemani Mama atau Papa. Sebenarnya Gabriel juga diizinkan mengajakku pergi tetapi masalahnya si Pembuat Onar itu sedang berada di negara tetangga. Menjalankan kewajiban mengurus bisnis keluarganya.

Selama tiga hari yang kulakukan hanya menonton drama Korea bermacam-macam judul. Bahkan sejak kemarin aku belum mandi, saking malasnya. Lama-kelamaan virus malas mandi Gabriel jadi berpindah padaku.

Pukul sepuluh pagi aku masih berleha-leha di kamar. Kata Mama, baru mulai minggu depan aku akan sibuk. Mengurus persiapan acara pertunangan yang akan dilaksanakan di hotel bintang empat yang berada di jalan Pelajar Pejuang. Awalnya aku bersikukuh, agar acara pertunangannya diadakan di rumah saja. Namun, saat Om Prabu mengatakan kalau keluargaku tidak perlu memikirkan masalah biaya, mau tidak mau, aku menyetujui ide beliau.

Lagi pula, sudah cukup aku dan anak bungsunya membuat para orang tua sakit kepala. Mama dan Papa tentu tidak keberatan. Dengan syarat untuk acara pernikahan nanti Papa tetap ingin menyumbang sejumlah dana sesuai kemampuan.

Keluargaku sebenarnya tidak kekurangan. Malah bisa dibilang serba kecukupan. Namun, bila dibandingkan dengan keluarga Gabriel, tentu level keluargaku masih berada jauh di bawahnya. Pekerjaan Papa yang menjabat sebagai seorang senior manager keuangan di perusahaan multinational, membuatnya mendapatkan gaji puluhan juta. Apalagi anaknya hanya aku saja.

Mamaku juga bukan tipikal ibu-ibu sosialita, yang ke mana-mana harus menenteng tas bermerek demi mendapatkan posisi di lingkungan teman-temannya. Pesan Mama, tidak perlu memiliki banyak teman. Cukup beberapa, tapi benar-benar teman sejati yang selalu ada di saat apa pun. Sepertinya pesan itu sudah cukup aku terapkan di kehidupanku sendiri. Buktinya, teman baikku hanya Gabriel dan Momon saja.

"Manda!" Panggilan Mama dari lantai bawah mengagetkanku yang sedang melamun. Langkah malas tercipta tidak lama setelahnya.

"Ma ... tadi manggil kenapa?" Aku bertanya di pinggiran tangga.

"Manda, turun!" Suara Mama kembali terdengar.

Tanpa berusaha lebih keras, kuputuskan untuk turun. Butuh waktu beberapa saat sampai aku menemukan Mama sedang berdiri di teras.

"Kenapa, Ma?" tanyaku sambil berjalan menghampirinya.

Saat tubuh Mama berputar, sebuah kepala menyembul dari baliknya. Langkah kakiku langsung berhenti detik itu juga. Lelaki yang sangat ingin aku maki-maki, sedang berdiri di anak tangga teras rumah. Memandang ke arahku dengan wajah penuh harapnya.

"Mario ...."

"Manda, ini teman kamu, Sayang?" tanya mamaku memastikan.

"Iya, Ma. Ini temen Manda. Mama masuk aja. Biar Manda ngobrol di teras," pintaku seraya berjalan maju mendekat ke arah Mario dengan telapak tangan yang sudah mengepal.

WHEN MY BOY TURN INTO A STAR (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang