Chapter 19 - Chit Chat Session

608 58 14
                                    

"Makannya pelan-pelan aja, Man

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Makannya pelan-pelan aja, Man. Kita kan lagi enggak buru-buru," tegur Gabriel yang tampaknya sudah gerah melihat cara makanku.

"Kamu enggak denger apa kata Mas petugas tadi?" tanyaku. Gabriel menggeleng bingung. Membuatku spontan menghela napas panjang. "Katanya suka ada monyet datang, Gab. Makanya aku makan cepat-cepat. Kalau harum makanan kita udah sampai ke hutan sana, kan gawat."

Perkataanku sukses membuat Gabriel bergidik ngeri.

"Kamu serius?" tanyanya lagi. Omonganku terdengar asal banget, kali ya.

Aku mengangguk sambil merapatkan bibir. "Seriusan! Telepon aja resepsionis kalau enggak percaya," tegasku sekali lagi.

"Okay, tapi tetap hati-hati, ya. Kalau kamu mati tersedak, aku bakal sedih, lho. Belum nikah, udah ditinggal untuk selamanya. Aku bakal galau banget pasti," ucap lelaki itu sambil mengunyah makanannya.

Aku hanya berdeham, sembari lanjut menyantap santap siang di alam terbuka. Sesekali kami berdua bertukar tatapan. Meski mulut terus mengunyah. Saat nasi dan soto bandungnya sudah tandas tak bersisa, baru aku membuka obrolan. Tentunya sambil menikmati cireng dan pisang goreng, juga latte yang tidak panas lagi.

"Gab."

"Hm?"

"Kamu nanti bakal kasih aku izin buat bekerja, kan? Meskipun aku enggak diterima di kemenlu?" Ini pertanyaan yang belum sempat aku tanyakan serius padanya dari kemarin.

Gabriel diam, tampak berpikir keras sampai alis lebatnya hampir bertautan. Kemudian, perlahan ia mengangguk. Membalas tatapanku, dan tersenyum.

"Sejujurnya, aku ingin kamu diam di rumah dan selalu ada setiap aku pulang kerja. Tetapi, berhubung aku tahu jelas cita-citamu dari dulu, jadi ... ya ... it's okay. I think, I can handle it," ia menjawab sedikit ragu.

"Handle what?"

"Meng-handle perasaan rindu dan kesepian karena akan tinggal berjauhan sama kamu, Sayang ...," ucapnya penuh kemesraan.

Sayangnya kemesraan itu belum berhasil hinggap di jendela hatiku. I mean, aku masih ingin sedikit kasual. Tidak mengumbar kemesraan yang bikin cringe.

"Bukannya kamu kekeuh menikahiku karena enggak mau tinggal berjauhan, ya?" tanyaku jadi heran.

Ia menghela napas, lalu sengaja meniupkan udara yang telah diserapnya, hingga tercipta uap seperti asap dari mulutnya.

"Kamu enggak kedinginan, Man? Aku ada jaket di mobil, kalau kamu mau pakai. Dress bunga-bungamu itu pasti enggak mampu menghalau rasa dingin," tuturnya sebelum berdiri dan mengambil kunci mobil yang tergeletak di meja.

"Aku, hm. Ya, boleh, deh. Thank's by the way."

Setelah mengangguk, sosoknya pun pergi menjauh. Terdengar suara alarm mobil, dan tidak lama, Gabriel kembali muncul. Ia segera memakaikan jaket berbahan wool yang sekilas tampak seperti coat ke atas pundakku.

WHEN MY BOY TURN INTO A STAR (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang