Chapter 25 - Tujuh Hari Lagi

380 41 7
                                    

Sudah beberapa menit aku duduk termangu di kursi makan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah beberapa menit aku duduk termangu di kursi makan. Mengaduk-aduk gula pasir yang dituang ke teh hangat untuk menemani sarapan. Setelah mimpi buruk tadi malam, sejak bangun tidur hingga sekarang perasaanku sungguh tak enak. Entah apa itu, tapi ada yang mengganjal di hati ini.

"Manda, itu rotimu kenapa nggak dimakan? Bukannya kamu buru-buru, Sayang?" Mama yang duduk di hadapanku, melemparkan tatapan bingung.

"Ha? Ah, iya, Ma." Aku buru-buru mengambil roti panggang isi cokelat keju mozarella yang sudah terhidang di meja ketika turun dari kamar beberapa menit lalu.

"Ada yang lagi kamu pikirin, Sayang? Mukamu aneh dari tadi," tanya Mama pelan.

"Hm ...." aku berkata sembari menimbang. Apakah lebih baik menceritakan mimpiku tadi malam atau tidak pada Mama? Namun, lebih baik tidak, deh. Aku takut Mama ikut kepikiran.

Kepalaku menggeleng. "Nggak kok, Ma. Nggak ada apa-apa," kilahku berusaha tersenyum. "Papa mana, Ma? Kok nggak kelihatan?" tanyaku seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah.

Mama mengedikkan dagu ke arah pintu masuk rumahku. "Biasa. Lagi cuci mobil di depan," imbuhnya. Mulutku membentuk bulatan, sembari menganggukkan kepala.

Mama juga sedang menyantap sarapan dengan menu yang sama. Hal yang berbeda adalah minuman pendampingnya. Kalau aku memilih teh manis hangat. Sementara Mama memilih bandrek panas yang uapnya masih mengepul ke atas.

"Jadi, rencana kamu hari ini padat juga, ya? Itu habis konseling di gereja, Gabriel langsung ke bandara?" tanya Mama memastikan lagi agenda yang sudah aku beritahu dua hari lalu.

"Iya, Ma." Aku melirik ke arah jam dinding bulat emas yang terpasang di atas televisi layar datar. "Setengah jam lagi Gabriel dateng, terus kita ke Jakarta. Nanti mungkin cari makan siang dulu di sekitaran gereja. Jam satu baru mulai konseling pra-nikahnya. Habis itu, langsung cuss ke bandara, deh. Pesawat dia jam enam sore. Semoga aja keburu," jelasku sambil terus mengunyah.

Mama mengangguk-angguk. Menatap lurus ke arah wajahku. "Kenapa, Ma?" tanyaku dengan menelengkan kepala.

"Nggak. Mama ... masih nggak nyangka aja. Minggu depan kamu udah nikah. Ya, ampun! Itu beres resepsi, kamu langsung diboyong ke Singapura atau mau bulan madu dulu?"

"Hm ... kayaknya sih, honeymoon dulu, Ma. Gabriel tuh, udah menyiapkan sesuatu yang entah apaan. Aku disuruh ngikut aja katanya. Semua udah diatur sama dia," jawabku, jadi agak sebal lagi.

Calon suamiku itu memang hobi memberikan kejutan. Bahkan, sesi honeymoon saja, ia yang curi start menyiapkannya. Padahal sebenarnya aku juga punya keinginan. Akan tetapi, Gabriel berjanji. Setelah rencananya sukses, aku akan diberikan kesempatan untuk mengatur honeymoon jilid dua yang rencananya akan dilaksanakan akhir tahun ini.

Tentu saja aku menurut. Mana bisa aku menolak saat ia menjanjikan akan mengambil cuti selama dua minggu dan mengajakku keliling Eropa? Tawaran yang sangat menggiurkan.

WHEN MY BOY TURN INTO A STAR (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang