Chapter 26 - Your Sweet Disposition

416 37 7
                                    

Aku bisa bernapas lega, ketika mendapati ponselku bergetar beberapa kali saat mobil yang membawaku pulang ke Bandung baru saja keluar dari jalan tol

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku bisa bernapas lega, ketika mendapati ponselku bergetar beberapa kali saat mobil yang membawaku pulang ke Bandung baru saja keluar dari jalan tol. Sebuah nama yang aku tunggu dengan gelisah, akhirnya muncul di layar ponsel. Tanpa sadar, aku hampir menangis malam itu. Pak Sony—supir keluarga Gabriel—terus melirik lewat kaca spion yang ada di mobil. Mengamati wajah calon majikan barunya yang memerah karena menahan tangis.

Sekarang, aku jadi benci perpisahan. Aku tidak ingin harus mengalami adegan di bandara itu lagi. Sejak tiga malam yang lalu, aku telah bertekad untuk mengikuti ke mana pun Gabriel pergi. Ada hikmahnya juga, CV-ku tidak diterima. Kalau iya, maka bisa dipastikan aku akan gelisah terus-menerus sampai akhirnya memutuskan untuk resign sebelum waktunya.

"Manda, baju-bajumu udah siap semua? Kalau perlengkapan gaun gitu disediain dari butiknya, kan?" tanya Mama yang sedang berdiri di ambang pintu kamar.

Aku mengangguk. "Udah kok, Ma. Kalau keperluan gaun gitu disiapin di sana semua. Mama jangan lupa bawa selop pesta. Sama Papa juga. Sepatu formalnya, Ma."

"Ah ... iya." Mama bergerak cepat, ketika sadar ada yang terlewat. Seketika sosoknya sudah menghilang, meninggalkan aku yang masih berkutat dengan baju-baju yang terlipat rapi di atas tempat tidur.

Saat sedang meratapi proses packing yang tak berkesudahan, tiba-tiba benda persegi panjang favoritku berdering kencang. Aku sampai tergopoh, karena ingin secepatnya tiba di tempat ponselku berada. Senyumku tercipta, kala melihat namanya tertera di layar.

Gabriel, my soon to be husband.

"Halo, Sayang!" sapaku riang.

Tawanya langsung terdengar, ketika aku selesai menyapanya.

"Semangat banget, nih. Lagi apa kamu?" tanyanya tak kalah ceria.

"Aku lagi masuk-masukin baju ke koper. Banyak banget. Gara-gara kamu nggak bilang kita pergi berapa hari, aku jadi bawa hampir setengah isi lemariku, tahu!" seruku pura-pura kesal. Tawanya terhenti, diganti dengan suara helaan napasnya yang cukup panjang.

"Kamu kekeuh banget, deh. Udah, bawa seperlunya untuk satu minggu aja. Nanti bisa pakai jasa laundry, atau beli baju baru kalau bajumu sampai habis. Gampanglah," ujarnya tanpa beban.

Begitu sadar kalau perjalananku belum akan berakhir dalam waktu dekat, bahu yang semula masih bisa ditegakkan jadi merosot karena kehilangan semangat. Kurebahkan tubuh lelah ini ke kasur yang empuk. Terlalu lama duduk di lantai, bikin bokongku kaku. Lebih baik, istirahat dulu sebentar, deh. Sambil menghabiskan sore mengobrol dengan Gabriel.

"Kamu udah beres kerja?" tanyaku penasaran.

"Udah. Ini lagi di mobil, menuju apartemen. Bang Adri ngajak makan malam sama para pegawai, tapi aku males. Pengin cepat pulang, terus rebahan. Capek," keluhnya lemah.

Sejak awal meneleponku, tempo suara tarikan napasnya terdengar lambat. Sepertinya Gabriel benar-benar kelelahan. Acara grand opening yang berlangsung kemarin, menyisakan rasa lelah pada dirinya. Untung saja, acaranya sukses. Cukup banyak pelanggan yang datang, karena restoran memberikan diskon setengah harga untuk semua menu makanan dan minuman. Strategi itu dengan cepat menarik minat orang-orang dan tidak butuh lama restoran pun penuh.

Gabriel sampai mengirimiku video yang dia ambil saking bangganya. Kakak laki-lakinya juga mengakui kalau kinerja Gabriel selama ditinggal bulan madu itu bagus sekali. Aku yakin, pasti Om Prabu dan Tante Irina bangga melihat anak bungsunya sudah bisa menjalankan bisnis keluarga dengan baik. Sekarang, tinggal bagaimana aku dan Gabriel akan mengarungi bahtera rumah tangga kami nanti. Semoga akan sukses juga seperti pekerjaannya.

"Kalau begitu, malam ini jangan tidur kemalaman, ya. Aku beres packing mau makan, terus tidur. Besok jam enam pagi, udah cuss ke Jakarta soalnya."

Aku mendengar Gabriel mengatakan beberapa kalimat berbahasa Inggris, sebelum disusul oleh suara pintu yang dibuka, lalu ditutup. "Kamu udah sampai apartemen?" tebakku.

"Iya. Ini baru sampai lobi. Otewe lift. Besok agendamu ke mana aja, Sayang? Tapi check-in di hotel dulu kan, sebelum beredar?" ucapnya penuh perhatian.

"Pasti. Agenda pertamaku cek persiapan yang di hotel dulu, kok. Baru ke butik, buat fitting terakhir," ceritaku. Bunyi dentingan lift, terdengar jelas di telinga. Memberikan sensasi kelegaan di hati yang selalu terselimuti rasa waswas. Tinggal beberapa langkah lagi Gabriel tiba di apartemennya, dan satu hari lagi telah terlewati dengan baik.

"Persiapan calon pengantin wanita itu memang selalu hectic, ya? Untung aja aku laki-laki, jadi nggak ribet kayak kamu," candanya sebelum terkekeh sendiri.

"Ya ... nasib, nasib. Kamu udah masuk apartemen, nih?" tanyaku masih penasaran.

"Sudah, Sayang. Aku mau siap-siap mandi, terus makan dulu, ya? Nanti aku telepon lagi. Okay?"

Manis sekali sih, suaramu.

"Oke, Sayang! Kamu juga jangan lupa siapin baju. Besok pake pesawat jam berapa jadinya?"

"Oh, iya. Aku lupa harus bawa baju. Besok sore, Man. Hm ... jam empat sore, kalau nggak salah. Nanti aku cek email lagi, deh."

"Oke ... jangan lupa, ya!" kataku mengingatkannya sekali lagi.

Setelah mengatai aku bawel dan pendek, Gabriel benar-benar pamit dan mengakhiri sesi obrolan kami. Aku melempar ponsel ke sisi lain kasur. Memejamkan mata, sembari mengistirahatkan tubuh yang sudah terasa pegal hampir di setiap sendinya. Berarti, ini malam terakhir aku tidur di kamar ini dengan status lajang.

Wah! Amanda is going to be a wife!

Wah! Amanda is going to be a wife!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
WHEN MY BOY TURN INTO A STAR (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang