"Man, aku traktir Mcd deh, ya?" rayunya sembari mengedipkan sebelah mata. Gabriel memegang lenganku, mengayunkannya ke depan dan ke belakang. Namun, aku bergeming. Tetap berjalan lurus ke depan.
"Aku beliin paket burger sama es kopi, deh. Es krim juga sekalian. Gimana? Oke banget, kan? Jarang-jarang loh, aku baik kayak begini. Kalo ditolak, kamu yang rugi ntar. Gimana, gimana?" rayu Gabriel sekali lagi. Kali ini dengan berulang kali menaik turunkan alisnya yang tebal.
Kuulas senyum lebar, saat mendengar kata Mcd. Sepertinya ia sudah hafal pada kelemahanku. Aku memang suka sekali sama fastfood satu itu. Walau sadar kalau kebiasaan ini kurang baik, tapi tetap aku saja rutin beli. Sebenarnya yang paling kuincar itu es kopinya. Rasanya enak, harganya juga masih aman untuk kantong mahasiwa.
"Ya, udah. Aku maafin, deh. Tapi, kamu nggak boleh protes sama menu yang aku pesen nanti, ya?" kataku memastikan. Gabriel awalnya tampak ragu, tapi akhirnya ia mengangguk.
"Janji loh, ya? tanyaku sekali lagi. Gabriel memejamkan mata. Hidung besarnya kembang kempis, menahan emosi.
"Iya janji, Bawel," jawabnya singkat. Setelah sepakat, baru kami kembali berjalan.
"Kamu jadi mau kirim lamaran kerja ke mana aja?" tanya Gabriel di sela keheningan.
"Aku udah cari-cari info loker di beberapa perusahaan untuk cadangan, tapi yang utama tetep Kemenlu, sih. Kamu gimana? Nanti jadi daftar bareng, kan?" selidikku. Wajah Gabriel mendadak berubah sendu setelah mendengar pertanyaanku barusan.
"Aku belum tahu, Man. Kemarin malem Ayah telpon. Katanya dia punya rencana untukku, tapi belum mau bilang. Ya ... palingan aku bakal mulai aktif di kantor aja, sih. Kalau nggak salah, Bang Adri mau mulai ekspansi ke Asia Tenggara. Mungkin aku bantuin di situnya," jawabnya pelan, seraya menatap lurus ke depan.
"Oh, iya? Kok keren, sih? Emang restoran yang mana, yang mau buka cabang di luar?" tanyaku berusaha tampak antusias. Meski sebenarnya sudah mulai gelisah.
"Yang warung New Normal. Cabangnya paling banyak, omzetnya juga paling besar. Jadi mulai dari sana dulu." Gabriel berkata dengan wajah serius. Aku mencoba manggut-manggut tenang. Namun, sekelebat bayangan adegan perpisahan kami mulai berseliweran di pikiran.
Sebenarnya aku tahu, cepat atau lambat Gabriel pasti akan ikut terjun di bisnis keluarganya dan bisa ditempatkan di mana saja. Terbiasa selalu berada dekat dan bertemu hampir setiap hari, membuatku sangat bergantung padanya.
Kalau kami berjauhan, nanti siapa yang antar aku pergi? Siapa yang menghiburku pas lagi sedih? Siapa yang bisa aku ajak pergi ke mana saja meski sudah tengah malam? Spesies manusia kayak Gabriel kan, jarang sekali ada di muka bumi. Bisa jadi, cuma ia satu-satunya stok yang ada.
Hm, belum jadi kenyataan saja berita ini udah bikin aku galau.
"Hei! Kalau lagi maghrib jangan bengong," goda Gabriel sambil menyikut lenganku. Ia tiba-tiba berjalan cepat, membuatku tersentak. Aku jadi ikut berlari kecil agar bisa menyusulnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHEN MY BOY TURN INTO A STAR (TAMAT)
RomanceSelama tujuh tahun, Amanda hanya menganggap Gabriel sebagai seorang sahabat yang baik, meski lelaki itu gemar menghina dan membuatnya kesal. Hingga setelah lulus kuliah, tiba-tiba Gabriel melamar dengan alasan tidak bisa hidup berjauhan karena akan...