Chapter 29 - Hope

60 7 0
                                    

Tiada menit terlewatkan tanpa menyalakan televisi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tiada menit terlewatkan tanpa menyalakan televisi. Ponselku pun selalu siaga. Berjaga-jaga kalau ada yang menghubungi, Bang Adri misalnya. Di hari kedua pencarian, titik koordinat jatuhnya pesawat, belum juga bisa dipastikan. Yang aku tahu dari Bang Adri, Tim Basarnas masih terus mencari. Baru ada desas-desus saja yang mengatakan kalau serpihan badan pesawat sudah mulai ditemukan. Namun, belum ada kepastian.

Selepas keluar dari rumah sakit, aku memutuskan untuk menginap di rumah Gabriel. Mama dan Papa juga menginap di sini. Rencananya di hari Minggu, mereka berdua baru akan pulang ke Bandung. Sedangkan aku belum bisa tahu kapan akan pulang. Rasanya lebih tenang jika berada di Jakarta. Jadi kalau ada apa-apa, aku bisa lebih cepat bergerak.

Suara dari getaran ponsel yang muncul mendadak, membuat hati ini mencelus dalam. Kepalaku berpaling secara otomatis ke tempat gawaiku berada. Dengan langkah ragu dan jantung yang melompat-lompat, kakiku berhenti di depan nakas tempat tidur Gabriel. Ya, aku memilih untuk menempati kamar Gabriel. Meskipun menyiksa, tetapi aku ingin terus merasa dekat dengannya. Setidaknya, hanya ini yang bisa kulakukan.

Nama Wina—staf Wedding Organizer—muncul. Aku mengusap layar satu kali, dan segera menjawab panggilan.

"Halo, selamat siang, Kak Amanda," sapanya dari seberang sana.

"Selamat siang juga, Mbak Wina," jawabku lesu.

"Mohon maaf jika mengganggu atau menelepon di saat yang kurang tepat, Kak. Sebelumnya, saya mau mengucapkan turut sedih, dan berduka, atas musibah yang menimpa Mas Gabriel."

"Iya ... terima kasih, Mbak. Mohon doanya, ya," kataku lagi.

"Iya, Kak. Saya terus mendoakan yang terbaik." Wina berhenti berbicara. Aku tahu, pasti ada hal penting yang hendak ia bicarakan. Ia berdeham sejenak, lalu menarik napas. Suara helaannya terdengar jelas.

"Begini, Kak Amanda. Sebelumnya saya sudah mencoba menghubungi Ibu Erlin dan Ibu Irina, tetapi tidak ada yang mengangkat. Saya ingin menanyakan perihal pernikahan Kakak yang akan diadakan besok. Apakah mau dibatalkan saja, atau bagaimana, Kak? Sebab para vendor sudah menanyakan pada WO, tetapi karena belum ada kabar dari pihak calon pengantin, jadi saya hold dulu, Kak. Sekali lagi saya mohon maaf jika sudah lancang, Kak Amanda."

Aku terduduk di tempat tidur saat menyadari kenyataan pahit itu. Pernikahan yang seharusnya dilaksanakan besok.

Hari Sabtu yang semestinya menjadi Sabtu terindah, sepertinya akan berakhir menjadi Sabtu yang paling kelabu. Aku menahan napas. Bermaksud menahan isakan, walau sebentar. Setidaknya sampai panggilan ini berakhir.

WHEN MY BOY TURN INTO A STAR (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang