Chapter 10 - Sosok Yang Meresahkan

788 88 22
                                    

Mario

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mario.

Lelaki yang menempati peringkat nomor satu di daftar orang yang harus kuhindari versi Gabriel, melenggang cepat menghampiri. Senyum terpaksa juga tawa aneh segera menghiasi wajah yang diam-diam menyimpan rasa cemas. Sampai sekarang, aku belum tahu penyebab Gabriel begitu membenci Mario. Namun, Gabriel bukanlah lelaki yang akan melakukan sesuatu tanpa alasan. Walaupun terkesan cuek, suka memaksa, dan malas mandi tapi tetap tampan, Gabriel itu tipe orang yang penuh perhitungan. Aku jadi semakin penasaran, ada apa dengan mereka berdua.

"Hai, Amanda! Finally, kita ketemu lagi," sapa Mario semringah.

"Hai, juga. Iya, ya. Akhirnya." Aku sempat terkekeh kikuk sembari membereskan barang-barang yang tergeletak di hadapan lelaki beraroma citrus.

Sesaat setelah selesai, tatapan kami tidak sengaja bertemu. Dari situ aku tahu, kalau sejak awal sepasang iris mata hitam itu tak pernah berubah arah. Aku sempat mematung. Entah mengapa, aura Mario membuatku merasa tidak nyaman.

"Jadi, Man. Si Mario dari beberapa hari yang lalu nanyain kamu terus. Cuma aku nggak berani kasih nomor hape-mu. Jadi ya, aku ajak aja sekalian. Biar dia yang tanya langsung," sahut Momon menjelaskan. Tatapan Mario akhirnya beralih pada wanita muda yang sekarang berstatus sebagai tantenya.

"Ah ... gitu, ya," balasku sambil mengangguk. "Oh, iya. Soal waktu itu, aku minta maaf sekali lagi ya, Mar. Gabriel nggak biasanya seperti itu," lanjutku masih tidak enak. Momon melemparkan tatapan penuh pertanyaan yang segera kujawab dengan gelengan kepala.

"It's okay, Amanda. Aku kenal Gabriel. Dia memang kayak begitu dari dulu. Makanya, tadi juga aku mau datang ke sini setelah memastikan dia nggak ikut," ujar lelaki berdagu tirus dengan wajah serius. Kata-katanya semacam terdengar ambigu dan mencurigakan.

"Jadi, kalian ini sebenarnya kenal dari mana, sih?" sela Momon penasaran.

"Di tempat les pas SMA, Mon. Mario ini sering sekelas sama aku." Kepalaku kembali berpaling ke arah lelaki yang penuh misteri. "Tapi, seingatku kamu sama Gabriel nggak pernah sekelas kan, ya?"

Kepala Mario mengangguk, tapi aku bisa menangkap ada secuil raut tidak suka dibalik senyum simpulnya.

"Kamu pernah punya masalah sama dia, Mar? Habis aku heran. Gabriel kayaknya gimana ... gitu sama kamu," tambahku lagi tanpa basa-basi. Perkataan barusan kembali membuat Momon mendelik. Dia layaknya orang ketiga yang tidak tahu apa-apa, tetapi terjebak situasi dan tidak bisa pergi ke mana-mana.

"Sebenarnya nggak ada yang penting banget, sih, Man. Kita cuma pernah salah paham aja. Nggak penting, kok. Beneran."

"Oh ... oke, deh. Gabriel aja yang berlebihan kali, ya?" balasku mengiyakan.

Mario hanya menatapku sebentar, lalu melihat ke arah lain. Selanjutnya satu jam berlalu tanpa terasa. Selama enam puluh menit, obrolan kami bertiga mengalir tanpa jeda. Mario ternyata masih tetap Mario yang dulu. Sesekali dia suka melontarkan candaan yang kadang tidak aku mengerti. Akan tetapi, tawa terus tercipta hingga rasa bosan tidak sempat menghampiri. Setelah mengamati lelaki tinggi ini, tampaknya tidak ada yang aneh darinya. Mungkin aku saja yang terlalu berlebihan dan terburu-buru menilai jelek seseorang tanpa menggali kebenarannya lebih dulu.

WHEN MY BOY TURN INTO A STAR (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang