Chapter 3 - Unpredictable

1.6K 164 16
                                    

Alunan musik tradisional sunda menggema ke seluruh penjuru ruangan besar yang disulap menjadi tempat diadakannya acara resepsi pernikahan Momon

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alunan musik tradisional sunda menggema ke seluruh penjuru ruangan besar yang disulap menjadi tempat diadakannya acara resepsi pernikahan Momon. Panggung pelaminannya didominasi oleh warna emas dan pink pastel. Sangat menggambarkan kepribadian teman baikku yang feminin.

Monika, nama aslinya. Kami berdua memang cukup dekat, dan sering mengerjakan tugas bersama. Momon pernah bercerita ingin menikah muda. Jadi aku tidak begitu kaget saat tiba-tiba ia bilang akan menikah dalam waktu dekat.

Aku hanya tahu nama pria yang sekarang bersanding di pelaminan bersamanya, dari undangan yang ia berikan. Momon memang agak merahasiakan identitas pacarnya selama ini. Akan tetapi, yang terpenting aku percaya Momon bahagia dengan pilihannya.

Sejak tadi aku memperhatikan raut wajahnya. Sembari tersenyum lebar, ia tulus berterima kasih pada setiap tamu yang datang. Momon tampak sangat bahagia. Wajahnya berseri-seri. Tentu saja. Siapa yang tidak akan bahagia di hari pernikahannya, bukan?

"Gab, kamu perhatiin mukanya Momon, deh. Dia kelihatan bahagia banget, ya."

Ia mengikuti arah pandang mataku, lalu bergumam singkat. "Siapa juga yang nggak bahagia, bisa menikah muda dan dapat suami kaya raya?" ucap Gabriel tenang dengan nada menyindir. Segera saja mataku membulat dan beredar ke sekeliling.

Saat ini kami sedang mengantre untuk bersalaman dengan Momon dan suaminya. Jadi tentu saja posisi kami begitu berdekatan dengan banyak orang. Kalau sampai ada yang mendengar perkataan Gabriel barusan, bisa gawat.

Embusan napas lega keluar dari mulutku, begitu yakin tidak ada yang mendengar perkataan Gabriel barusan. Akan tetapi, tetap saja anak ini harus diberi pelajaran.

"Auw! Sakit, Man!" Gabriel meringis kesakitan akibat cubitan yang kulayangkan padanya.

"Makanya, kalau ngomong itu dijaga, dong! Jangan nggak tahu situasi kondisi kayak gitu!" tegurku sambil berbisik.

"Iya, sorry. Tapi itu kenyataan kali. Jangan munafik gitu, deh," balasnya tidak terima.

Aku memutar bola mata. "Udahlah, Gab. Mereka bahagia dengan caranya sendiri. Kalau Momon dapet suami kaya raya, kita anggap aja itu bonus dari Tuhan. Yang penting itu, mereka saling mencintai—"

"Walaupun suaminya duda beranak tiga?" potong Gabriel cepat sambil ikut berbisik di dekat telinga. Ucapannya membuatku memelotot lagi. Benar-benar tidak habis pikir dengan sikapnya hari ini. Sinis banget, kayak lagi datang bulan.

"Udah, ah! Jangan ngomong lagi sama aku! Males!" seruku seraya menginjak sepatu pesta nan mewahnya yang mengkilap, sebelum akhirnya berjalan cepat meninggalkan antrean.

Aku sempat menyesali keputusan impulsifku barusan. Sebab sekarang harus mengantre ulang dari barisan paling belakang. Namun, aku sudah telanjur muak dengan segala komentar minim etika yang diucapkan Gabriel.

Langkahku berhenti di depan meja bundar berlapis kain emas muda. Mataku terpaku pada jajaran dispenser berbentuk lonjong dengan bermacam jenis minuman yang berwarna-warni. Marah itu memang sangat menguras tenaga. Belum apa-apa tenggorokan sudah kering. Setidaknya aku harus minum atau makan camilan dulu sebelum mulai mengantre lagi dari belakang. It's gonna be along way to go.

WHEN MY BOY TURN INTO A STAR (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang