Chapter 9 - Nostalgia

115 10 0
                                    

Waktu mendapat ajakan makan siang di kampus, aku langsung setuju tanpa pikir panjang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Waktu mendapat ajakan makan siang di kampus, aku langsung setuju tanpa pikir panjang. Kupikir, daripada hanya diam di rumah pusing memikirkan hal yang belum pasti dan jadi parno sendiri, lebih baik aku berinteraksi dengan teman sebaya. Gabriel beberapa hari ini menghilang ditelan bumi. Sementara dua hari terakhir aku makin kesulitan tidur nyenyak. Mimpi hamil, mimpi melahirkan sampai mimpi terasingkan di pulau kecil silih berganti terputar di kepala.

Suasana kantin di Student Center siang ini, cukup sepi. Hanya segelintir mahasiswa yang masih datang ke kampus. Aku menunggu kedatangannya sembari menyeruput minuman segar. Cuaca kota Bandung memang sedang tidak menentu. Terkadang hujan deras tanpa henti, terkadang panas terik.

"Hei, Man!" sapa si tersangka yang sudah membuatku menunggu hampir dua puluh menit. Bisa dibayangkan bagaimana bosannya aku sejak tadi.

"Hm ...." Aku berdeham sekilas sebelum menekuk wajah. Momon duduk di hadapan. Menunjukkan wajah semringah, sekaligus salah tingkah.

"Udah lama?"

Aku mengembuskan napas panjang. "Menurut Anda? Memangnya jalanan macet, ya?" Aku menyodorkan menu makanan padanya. Momon meraih lembaran kertas yang sudah dilaminating, membaca sekilas sebelum menjawab.

"Iya, lumayan. Soalnya rumah suamiku jauh dari kampus, Man. Di perumahan yang di Padalarang itu. Untungnya aku dikasih mobil. Jadi ke mana-mana lebih mudah. Cuma ya, itu. Jauh. Hehehe ...," ujar Momon terkekeh kikuk.

Mataku jadi memicing karena tingkah mencurigakan si Momon. "Iya, deh, iya ... pengantin baru. So, how's life? Cerita, dong. Aku penasaran."

"Sebelum masuk ke sesi bercerita, aku pesen makanan sama minuman dulu, ya. Lapar, nih." Terpaksa kutelan kembali barisan pertanyaan yang hampir terucap.

Momon berdiri lalu menghampiri salah satu kios makanan yang menjual ayam bakar, makanan kesukaannya. Kalau aku tadi sudah memesan ayam penyet satu porsi lengkap dengan nasi yang belum juga datang. Baru saja mau menoleh, ibu penjualnya sudah tiba di samping meja.

"Neng Manda, Aa' Gabrielnya mana? Tumben, nggak ikutan. Biasanya di mana ada Neng Manda, di situ ada Aa' Gabriel," tanya wanita berhijab cokelat terang dengan raut wajah penasaran.

"Hm, Gabriel udah kerja, Bu. Sibuk gitu. Aku jadi sendirian, deh," sahutku jujur, seraya mengelukkan bibir mungilku ke arah bawah.

"Adeuh, jadi kesepian atuh, Neng?" imbuhnya sambil tertawa.

"Lumayanlah, Bu." Aku menjawab sambil tertawa garing. Memang terasa berbeda, sih.

"Sabar ya, Neng. Nanti kalo Neng Manda udah kerja, pasti sibuk juga. Jadi nggak akan kesepian kayak sekarang." Aku mengangguk sembari tersenyum. "Ibu lanjut masak lagi, ya. Salam ke Aa' Gabriel. Sekali-kali mampir gitu biar Ibu bisa cuci mata. Hahaha ...," tambah Bu Midah dengan tawa yang semakin renyah. Setelah puas menertawakan keadaan, ia berbalik ke tempat semula. Tidak lama Momon datang. Membawa nampan plastik berisi segelas jus alpukat dan makanan favoritnya.

WHEN MY BOY TURN INTO A STAR (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang