Bagian 5 : Full Of Love

4.8K 456 6
                                    

"Mau kemana sih?" Radit berkacak pinggang di depan pintu ruangan bosnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mau kemana sih?" Radit berkacak pinggang di depan pintu ruangan bosnya. Merelakan jam makan siang yang sudah berlalu lima belas menit.

Yara terkekeh di kursinya. "Kepo banget deh lo."

"Ya gimana gue nggak kepo, lo tiap hari keluar mulu. Nggak ngasih tau lagi kemananya," keluh Radit.

Radit curiga dengan Yara yang beberapa bulan ini sering keluar sehabis jam makan siang. Biasanya kalau ada apa-apa Yara akan selalu memberi tahu, tapi kali ini tidak.

"Emang kenapa? Nggak boleh keluar gue?"

Radit mendengus. "Nggak gitu maksudnya Yar. Gue cuma pengen tau aja, serius."

"Ada pokoknya, lo nggak usah tau."

"Pacar baru ya?"

Yara bersiap melayangkan Radit pukulan. "Ngaco banget kalo ngomong."

"Abisnya gue nggak dikasi tau," rengek Radit.

Yara diam dan malah tersenyum-senyum tidak jelas. Menyerah sudah Radit hari ini. Atasannya adalah orang paling keras kepala yang pernah dia kenal.

Tak lama kemudian Sean masuk bersama Jean, membuat Radit harus menyingkir dari pintu karena tubuh besar mereka berdua.

"Yuk berangkat," Yara membawa tasnya. "Bye bestie."

Radit hanya bisa mendengus menahan kekesalannya. Dia memutuskan untuk pergi makan gado-gado depan kantor.

"LUN, GADO-GADO YUK!"

***

"Kak Yara!" Ardan begitu senang saat melihat mobil besar Yara masuk ke pekarangan panti.

Yara turun dari mobil. "Hai Dan! Udah makan belum?"

Ardan mengangguk. "Udah kak, barusan banget."

"Yah, yaudah deh kalo gitu. Padahal mau beliin makan siang," ucap Yara.

Mereka berdua masuk ke dalam rumah.

"Nggak usah Kak, udah pada makan semua. Nanti ngerepotin Kakak lagi,"

Yara menggeleng keras. "Kakak nggak pernah ngerasa direpotin kok, Dan. Jangan sungkan lagi ya, kalian udah Kakak anggep keluarga sendiri."

Ardan tersenyum. "Kakak tuh kayak bidadari tau nggak? Udah cantik, baik lagi."

Yara tertawa. "Pinter banget gombalnya."

"Ardan nggak gombal tau Kak, beneran!"

"Iya deh iya."

Kedekatan Yara dengan anak-anak panti tidak memerlukan waktu yang lama. Mereka selalu menyambut baik kedatangan Yara. Bagi mereka Yara adalah orang paling baik dan tulus yang mereka kenal.

Bu Tin mengeratkan ikatan kain gendongannya, menjaga agar si kecil tidak jatuh.

Di panti ini, Al jadi satu-satunya yang masih balita. Yang lain sudah menginjak bangku sekolah.

"Loh, kamu udah dateng? Dari kapan?" Tanya Bu Tin saat keluar kamar dan melihat Yara di ruang tamu bersama Ardan.

"Barusan aja kok, Bu."

Al yang merasa tidurnya terusik akhirnya bangun. Tubuhnya segera meronta saat tahu kalau ada Yara disana. Matanya sudah memerah ingin menangis.

"Hai Al, kok bangun sayang?"

Tangisannya makin menjadi saat Yara datang menghampiri. Tubuhnya meronta hebat ingin lepas dari kain gendongan, Bu Tin sampai kebingungan.

"Aduh Al, sabar ya."

Yara segera menggendong Al begitu ikatan kain lepas. Begitu juga dengan Al yang langsung menghambur di pelukan Yara. Tangisannya juga langsung mereda begitu saja. Mereka berdua sudah sedekat ini.

Bu Tin menggeleng heran. "Kalian ini ya. Lengket banget kayak perangko."

Yara tertawa, tangannya menepuk-nepuk punggung Al.

"Bener tuh, sekarang dia aja udah nggak mau main sama Ardan."

Al memasang wajah polosnya, pura-pura tidak mendengar ucapan Ardan.

"Udah-udah, main yuk kalo gitu." Ajak Yara.

Sepeninggal mereka bertiga, Bu Tin melanjutkan acara beres-beres rumah. Tidak sengaja dia melihat bodyguard Yara yang tengah bersandar di mobil, Bu Tin segera menghampiri.

"Mas berdua, masuk aja nggak papa. Daripada dilihatin tetangga jadi nggak enak," jelasnya.

"Iya Bu, terimakasih. Maaf kalau merepotkan." Sean berujar dengan tersenyum ramah membuat Bu Tin sedikit kaget.

Jean hanya mengangguk, pikirannya bercabang. Ia merasa belum siap untuk masuk ke sana. Salahnya juga karena tidak menunggu di dalam mobil dan malah berada di luar.

"Udah masuk aja." Ucap Sean melihat keraguan di wajah kakaknya. Dia dengan sengaja menyenggol lengan Sean.

Dengan berat hati Jean mengikuti langkah dua orang di depannya. Kini ia dan Sean sudah duduk di sebuah sofa bergaya sederhana.

"Kalau butuh apa-apa, bilang aja ke saya. Nggak usah sungkan," ucap Bu Tin pada keduanya.

"Mau saya bikinin teh atau kopi?"

Sean menggeleng. "Tidak Bu, nanti merepotkan."

Bu Tin berdecak. "Biasanya teh atau kopi?"

Sean tertawa kecil, "Kopi saja, Bu."

"Yasudah, saya bikinin dulu ya."

Bu Tin pergi meninggalkan ruang tamu, menyisakan kakak beradik itu disana. Sean tertawa saat melihat wajah kakaknya yang terlihat tidak tenang.

Lebay sepertinya kalau dibilang keduanya takut anak-anak. Tapi yang Sean lihat selama ini benar. Dirinya masih lebih mendingan daripada kakaknya yang terlihat sangat trauma untuk masuk ke panti.

Jean melirik tajam. "Ketawain gue lo?"

"Nggak, pede banget." Kekeh Sean.

Kalau ini bukan di panti pasti ia sudah kehabisan nafas karena pitingan Jean.

Suasana hening memenuhi ruangan. Dari dalam sana Sean dan Jean bisa melihat dengan jelas tawa riang Yara yang tengah bermain dengan anak-anak.

Dibalik Yara yang selalu merasa sepi, dia adalah orang yang penuh cinta. Hari-harinya kini seakan lebih berwarna. Tidak ada lagi Yara yang murung mengurung diri di kamar.

Sean dan Jean ikut senang melihatnya. Semoga selalu bahagia, harapnya.

***

thank you buat yang udah baca! bantu vote dan ramein komen yuk!<33

[✔] Mommy Bos Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang