Udah lumayan lama aku tinggal di Jerman, sejak masuk kuliah sampe sekarang, kuliah semester kedua. Sambil ngisi waktu luang dan nambah uang jajan, aku kerja sebagai solo vlogger keliling Jerman. Dan kalau ada uang tambahan, ya jalan ke negara tetangga. Subscribers-ku? Lumayan lah. Udah 400 ribuan.
Orangtuaku asli Indonesia dan mereka tinggal di Jakarta. Kebetulan ayahku lahir dan besar di Jerman, makanya aku pengen merasakan kampung halaman ayahku itu. Nah, karena ada pandemi Covid-19, aku terpaksa dipulangkan ke negara asal, deh.
Kami, para penumpang pesawat akhirnya turun setelah tiba di bandara Soekarno-Hatta dan menunggu untuk hasil tes swab-PCR kami.
Untungnya, hasil dari tes itu, aku negatif. Kuambil sebuah handphone dari dalam tas dan mulailah rekaman live di instagram.
"Halo semuanya! Quincy di sini! Setelah sekian lama aku di Eropa, kali ini aku udah ada di Jakarta. Kalian pasti udah pada tau kan kenapa aku pulang? Nah, aku baru aja dapet hasil dari tes swab, tadi kami semua di cek, dan hasilnya itu aku negatif. Sekarang aku lagi jalan ke luar buat nyari taksi. Yuk guys. Kita lihat gimana reaksi ortu aku nanti pas dateng ke rumah."
Sambil nunggu antrian taksi, aku baca komentar-komentar yang menonton live aku sekarang. Banyak yang ngucapin rasa syukur karena aku negatif, ada yang seneng karena aku pulang ke Jakarta (siapa tahu bisa ketemu), ada juga yang ngasih tips belanja.
Tapi yang bikin aku tertarik, ada yang ngasih tahu aku untuk hati-hati di ruangan terbuka di siang bolong karena ada kasus petir yang menyambar begitu saja.
"Sejak kapan di Jakarta jadi banyak petir?" tanyaku. "Kan di sini ada banyak gedung tinggi."
Dari banyak balasan yang kudapat, akhir-akhir ini memang sering kemunculan petir yang sangat ganas. Kalau ada yang tersambar, orang malang itu akan hangus seketika. Membayangkannya saja sudah membuatku merinding.
Aku tersenyum saat ada banyak komentar agar aku selalu memperhatikan tempatku berdiri. Intinya jangan sampai kepala keluar dari zona aman, alias menghadap langsung ke langit.
"Iya, aku bakal hati-hati. Tapi sayangnya aku harus keluar untuk naik taksi. Kalian juga hati-hati ya. Lain kali aku mau ngadain fanmeet di-"
Jdeeer!
Tubuhku kaku seketika. Pandanganku menghitam dan kepalaku terasa berat. Koper dan tas yang kujinjing terjatuh diikuti oleh tubuhku. Kurasakan benturan keras yang menghantam kepalaku saat ini. Seingatku, baru saja berjalan satu langkah keluar dari zona aman. Tapi, kenapa aku bisa langsung tersambar?
Sakit. Hanya itu yang kurasakan. Jadi ini rasanya penderitaan orang kecelakaan maut. Aku tak bisa merasakan apa-apa lagi setelah itu.
***
Aku membuka mata perlahan. Mencoba memahami apa yang terjadi barusan. Kurasakan angin dan suara ombak-
"Ombak?!" sahutku panik. Ini di ... Pantai?
Aku sendirian di pantai ini. Baju, koper dan semua barang yang kubawa basah kuyup seperti aku baru saja terdampar di pulau terpencil. Tapi, di belakangku bukanlah hutan, melainkan sebuah tembok memanjang setinggi bahuku.
Di balik tembok itu ada banyak bangunan dan lampu-lampu pijar yang mulai menyala, menyatu dengan warna langit. Sepertinya dibalik sana cukup ramai. Terlihat seperti perumahan. Lalu kurasakan angin senja yang berhembus.
Ugh. Dingin banget.
Aku pun langsung mengeluarkan handuk dari koper.
Wait. Kenapa isinya beda? Ah sudahlah, aku tak peduli. Untungnya tak terlalu basah. Tiba-tiba kepalaku berdenyut. Beberapa ingatan asing terlintas begitu saja seperti aku sudah mengalaminya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Magic In The Air
FantasyAku adalah seorang mahasiswi yang tengah kuliah di Jerman. Namun karena pandemi Covid melanda, mau tak mau aku terpaksa kembali ke Negara asal, Indonesia. Di tengah jalan, tiba-tiba saja aku tersambar petir yang membuatku kehilangan nyawa. Hmm, sep...