Matahari sudah menunjukkan warna kemerahannya. Aku belum ingin pulang karena akan melihat wajah Albert yang membuatku kesal. Tetapi, Edgar sudah menyuruhku untuk pulang dan melihat bagaimana keberuntunganku nanti.
"Quincy, lihat mataku."
Aku yang cemberut terpaksa menatap mata tajamnya itu. Ugh, aku ngga kuat. Benar-benar mirip dengan Dean!
Melihat bola mataku yang lari kemana-mana, Edgar menelungkupkan tangannya di wajahku. "Percaya padaku. Ayahmu tidak akan marah kalau kamu meminta untuk pergi ke sana dan dia akan mengabuli permintaanmu."
Mau tak mau, aku mengangguk dan akhirnya pulang ke rumah.
***
"Quin, ayo kita ke istana." ajak Albert.
Aku yang baru saja selesai mandi senang bukan main. Perkataan Edgar benar walau aku tak meminta Albert untuk pergi ke sana.
Saat sampai, aku langsung pergi ke ruangan kemarin. Dean belum ada di sana, tapi itu tak masalah bagiku.
Kunyalakan perapian listrik dengan suhu yang tak terlalu tinggi dan mematikan lampunya. Walau tak hujan, udara malam memang dingin.
Kulanjutkan lagi lirik yang kemarin kutulis dan tak terasa aku sudah membuat 3 bait. Aku masih bingung untuk lirik di bagian reff. Sambil mencari ide, aku berbaring dan menggelinding di ruangan. Sepertinya ini jadi kebiasaanku sekarang.
Tak lama, aku mencium aroma Dean yang entah kenapa terasa sangat segar. Dia kemudian membuka pintu dan melihatku berbaring.
"Di rumahmu ngga ada karpet ya sampai kamu begitu?"
Aku tertawa membalasnya. "Karpet di 'rumah' Anda membuat saya nyaman. Saya suka berada di sini."
Dean kemudian duduk di hadapanku. Mataku tak bisa beralih darinya. Aromanya menggantung nyaman di lubang hidungku. Lalu rambutnya yang setengah basah karena habis mandi membuatnya terlihat se-
Aku menampar wajahku sendiri. Quincy sadarlah! Kamu pasti sudah gila. Kututup wajahku dengan kertas saat dia melirikku bingung.
"Hei, Yang Mulia," panggilku. "Bagaimana dengan lirik Anda?"
Dia menyerahkan kertas liriknya padaku. Tulisannya sangat rapi dan bahasa yang dia gunakan sangatlah lembut di lirik ini. Aku jadi minder.
"Ini terlihat seperti bagian reff," kataku. "Kalau begitu, saya akan menggabungkannya."
Kutulis gabungan lirik kami sementara dia bermain gitar. Entah kenapa aku bisa menyanyikan lirik yang sedang kutulis ini saat dia memaikan sebuah chord. Matanya terbelalak saat mendengar nyanyianku lalu mengalihkan pandangan. Kalau kutebak, dia pasti tersenyum.
Aku merasa seperti seorang jenius sekarang, hahahaha.
Lirik lagu ini belum sepenuhnya selesai, tapi nadanya sudah mengelilingi otakku. Tak kusangka cepat juga membuatnya. Kami sudah merekamnya agar aku tak lupa nanti.
Aku sangat lelah karena ini sangat menguras otak. Kupejamkan mataku sebentar sambil berbaring dan mendengarkan suara gitar yang dimainkan oleh Dean.
Entah apa yang terjadi, saat aku membuka mata, yang kulihat hanya wajah Dean dan kepalaku berada di pahanya. Aku mengedipkan mataku berkali-kali lalu duduk. "Jam berapa sekarang?" tanyaku.
"9. Dasar kebo."
"Apaaa?!" Aku berdiri dan menjauhinya. "A-apa terjadi sesuatu saat Saya tidur? K-kenapa Saya bisa tidur di situ?"
"Tanya saja pada dirimu sendiri. Tanganmu mencari-cari bantal dan menemukan kakiku lalu tanganmu menarik tubuhmu dan tidur di..," Dean menunjuk pahanya, "sini."

KAMU SEDANG MEMBACA
Magic In The Air
FantasyAku adalah seorang mahasiswi yang tengah kuliah di Jerman. Namun karena pandemi Covid melanda, mau tak mau aku terpaksa kembali ke Negara asal, Indonesia. Di tengah jalan, tiba-tiba saja aku tersambar petir yang membuatku kehilangan nyawa. Hmm, sep...