15

7 3 0
                                    

Aku tak tahu kemana Dean akan membawaku. Dia sudah berganti wujud menjadi dirinya yang asli dan kami berada di mobilnya. Pak Sugeng ada di belakang membuntuti kami.

FYI, Pak Sugeng sudah tahu kalau Edgar adalah Dean dan aku minta dia untuk merahasiakannya. Btw, aku hanya bilang kalau Dean menyamar, bukan bisa berubah.

Oke lanjut,

Sebenarnya dari pantai ke rumahku itu sangat dekat. Jalan kaki saja bisa karena memang ada di balik dinding ini. Jarak dari sini ke istana juga tak terlalu jauh, sekitar 15 menit kalau naik mobil.

Karena aku hanya melihat jalan dan sedikit bosan, tiba-tiba aku teringat kejadian di malam aku mabuk. Ugh, aku ingin sekali melupakannya.

"Um, Dean, aku minta maaf."

"Untuk apa?"

"Itu... aku hanya belum minta maaf. Aku kira yang dipegang Kak Alrick adalah teh, jadi langsung kuteguk. Kalau kupikir-pikir, itu sangat memalukan."

Aku langsung menutup wajahku dengan tangan sambil mendengarkan tawa kecilnya.

"It's not a problem for me. You're lucky you didn't meet that person."

"Siapa yang kamu maksud?"

"My brother. Dia sangat tak suka dengan orang mabuk terutama wanita." Dia kemudian memiringkan kepala sambil menatapku. "Kamu pernah bertemu dengannya."

Aku baru ingat kalau Dean punya seorang kakak. Sayangnya aku lupa seperti apa wajah dari pangeran mahkota tersebut. Banyak sekali orang yang baru kutemui saat pesta itu jadi aku tak bisa mengingatnya.

Namanya? Callisto Jace Travers. Haha, mirip dengan nama tengahku yang juga merupakan salah satu satelit terbesar Planet Jupiter setelah Ganymede.

"Kamu punya fotonya?" tanyaku. Dia tak suka berfoto ria, karena itu cukup sulit kalau mau mencarinya di internet.

"Kita akan menemuinya langsung."

***

Ah, sudah cukup lama aku tak ke istana dan hari ini aku kembali menginjakkan kaki. Pak Sugeng juga ikut denganku sebagai bodyguard.

Jangan pernah meremehkannya. Walau dia sudah berkepala 3, kekuatan dan kemampuannya bukan main.

Raja Sion yang sedang duduk di meja taman terkejut melihatku datang dan menyuruhku untuk duduk. Beliau juga bilang kalau ucapannya saat itu bukan kebohongan belaka, artinya aku (harus) menikah dengan salah satu putranya.

Kalau Albert dan Alrick ada di sini, pasti mereka langsung menentangnya, haha.

Kulirik Dean yang berdiri di sampingku. Dia tak bisa berkata apa-apa karena menurutnya, ucapan Raja Sion adalah perintah. Padahal kalau mau, dia bisa saja menolaknya.

"Oh ya, Nak Quincy. Apa kamu sudah bertemu dengan Jace?" tanya Raja Sion. "Sepertinya dia sudah tak sibuk lagi sekarang. Ben, tolong panggilkan putraku itu."

"Baik, Yang Mulia," ujar Benedict. Orang yang selalu ada di samping raja.

Haduh, canggung banget. Kali ini aku berharap Albert ada di sampingku.

Sebelum Ben beranjak pergi, kusenggol Dean menggunakan sikuku agar dia membuka topik pembicaraan. 'Ngomong apa gitu kek! Atau ngga, biarkan aku pergi dari sini!'

"Ayah, biar kami saja yang menghampiri Jace. Kondisinya masih belum membaik, jadi dia tak perlu keluar dari kamarnya," ucap Dean yang membuat Benedict tak jadi pergi dari tempatnya berdiri.

Mendengar hal itu, Raja Sion mengedipkan kedua matanya beberapa kali. "Tumben sekali kamu peduli pada kakakmu."

"Siapa yang peduli?" Dean kemudian menarik tanganku. "Ayo pergi."

Magic In The AirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang