5

7 3 0
                                    

Aku duduk di kursi belakang, sendirian. Albert dan Pak Sugeng, supir kami, duduk di depan.

Biasanya Albert selalu duduk di sampingku, tapi kali ini-Aku tak tahu apa penyebabnya-dia menghindari ku setelah kejadian tadi.

Entah dia marah, kecewa, atau tak menyangka anak gadisnya berpelukan dengan lelaki selain dia.

DIA BENAR-BENAR SALAH PAHAM!

Selama di perjalanan, aku terus merangkai kata untuk nanti kujelaskan padanya dan semoga saja dia tetap memperbolehkan aku ke istana lagi besok.

***

"Gendong Quin ke kamarnya. Pelan-pelan."

Samar-samar aku mendengar suara Albert dan pintu mobil yang di tutup. Yang jelas, aku mencium aroma Lean sekarang.

Kurasakan tangan yang mengangkat tubuhku dan aku merasa seperti melayang. Kelopak mataku terasa sangat berat sampai susah untuk membuka mata. Mungkin karena hari ini aku benar-benar lelah.

Tak lama, aku berbaring dan kurasakan sensasi lembut nan nyaman di kepalaku.

"Dasar merepotkan. Aku jadi harus bangun dari tidur nyenyakku, kan." ucapnya.

Aku tak merasakan apa-apa lagi karena aku sudah tenggelam dalam dunia mimpi. Yang kutahu sekarang, aku berada di suatu tempat asing.

Ah, ini penglihatan masa depan ya?

Aku memakai kemeja putih, blazer hitam dengan pinggiran putih, rok abu-abu selutut, dasi pita merah, kaus kaki dan sepatu hitam.

Seragam impianku!

Tunggu, Quincy di sini masih SMA?

Astaga, aku melupakan hal penting ini. Berarti cuma aku yang belum kuliah di keluarga Silvegraft? Yah, tak buruk juga sih.

Oke, aku tarik ucapanku barusan. Kini aku kelas 12 semester kedua.

Quincy sudah sebulan berhenti sekolah karena dia beberapa kali membuat kekacauan, nilainya anjlok semua, dipanggil masuk BK dan akhirnya dikeluarkan. Berarti ini ada di sekolah baru.

Ya ampun. Ternyata Quincy ini merepotkan juga. Untung aku ini termasuk murid pintar. Aku harus menaikkan semua nilaiku di sekolah baru nanti.

Aku sendirian di sekolah ini. Entah kenapa semua terlihat ungu layaknya mataku ada filter foto. Sepertinya ini bukan penglihatan masa depan karena aku bisa mengendalikan tubuhku di sini. Kupakai kesempatan ini untuk menjelajahi sekolah.

Saat naik ke lantai 3, aku mendengar suara dentingan kaca dan saat itu aku yakin kalau aku tidaklah sendiri.

Merasa ketahuan, orang itu segera lari untuk keluar dan menjauh dari ruangan itu. Sekilas aku melihat seseorang dengan rambut coklat muda sebahu dengan jaket hitam tanpa tudung.

Rasa penasaran mengalahkan rasa takutku. Kulihat sebuah pel yang berada di tembok dan mengambilnya kemudian berlari mengejar orang mencurigakan itu.

Dia berlari menuruni tangga dengan sangat cepat kemudian meluncur di pegangan tangga. Aku tak berani melakukan hal yang sama. Akibatnya, aku nyaris kehilangan orang itu.

Untung saja aku sedang memegang tongkat pel. Jadi aku melemparnya tepat mengenai lengannya saat dia meluncur. Dan saat itu juga aku mendengar suara benturan yang cukup keras karena dia langsung terjatuh dan menggelinding di tangga.

Aku yang merasa bersalah dan panik langsung berlari menuruni tangga dan menghampirinya yang kini tengah berbaring diantara lantai 1 dan 2.

"H-hei, maaf. Kau ... baik-baik saja?" tanyaku saat menopang gadis(?) itu.

Magic In The AirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang