Pikiran Dean penuh dengan segala permasalahan yang ada, menyita seluruh fokus lelaki tersebut. Kesalahan yang sama kerap kali terjadi saat ia bekerja. Teguran demi teguran pun selalu didapatkan dari Sashi maupun rekan kerja yang lain. Dua kali peringatan tegas telah diterima Dean dari Bu Marissa, ancaman pemecatan pun berada di depan mata.
Dean memikirkan masalah tersebut begitu dalam, berusaha keras mencari solusi dan memperbaiki keadaan. Sebentar lagi Disca akan memasuki semester dua, tingkat akhir yang dijalani anak itu tentu mengharuskan Disca lebih fokus lagi.
Sayang, adiknya semakin hari kian berantakan. Dean tak dapat lagi mencegah, kegilaan Disca terhadap hobinya tidak sanggup lagi untuk dapat ia kontrol. Sekat di antara mereka semakin tebal. Disca sungguh melakukan semua dengan sesuka hati. Bebas menghabiskan waktu hanya sekadar untuk membaca manga, menonton anime, membahas hal-hal tersebut dalam sebuah grup online, dan melakukan cosplay semaunya.
Bagaimana mungkin Dean bisa mengabaikan keadaan itu? Adiknya benar-benar akan hancur bila terus seperti ini. Namun,apa yang harus dilakukannya?
Penolakan keras Iko beberapa waktu lalu yang diselimuti makian, membuatnya kehilangan harapan dari anak itu. Seharusnya, memang sedari awal ia tak mengharapkan siapa-siapa untuk membantu.
Dean menengadah, menatap hamparan langit bertabur bintang di atasnya. Mencari ketenangan atas segala rasa yang berkecamuk dalam dada. Berusaha melepas pikiran dari masalah-masalah yang ada untuk sesaat, sebelum kembali memutar otak mencari jalan keluar.
"Hidup kamu bahkan lebih hancur dari adik kamu sekarang, Yan."
Sashi tahu-tahu berada di sampingnya, mengambil ruang kosong di kursi panjang yang diduduki lelaki tersebut. Kopi yang baru belinya dari Circle K disodorkan pada sang sahabat. Kacau sekali lelaki idamannya itu akhir-akhir ini.
"Makasih, Sa. Sekali lagi, maaf untuk hari ini."
Dean menunduk, memandang dan menggenggam erat gelas minuman yang diberi Sashi. Hangat yang menguar dari gelas tersebut membuatnya merasa lebih baik. Dalam hati ia bersyukur masih dapat bersama sahabatnya untuk saat ini. Tidak lagi membetangkan jarak dan memasang mimik tak bersahabat.
"Aku gak nyuruh kamu buat mengabaikan Disca, Yan. Kamu kakaknya dan memiliki tanggung jawab terhadap dia, tapi kamu juga harus sadar. Hidup kamu bukan hanya seputar Disca. Kalau kamu terus seperti ini, yang akan hancur itu adalah kamu."
Tidak ada penekanan dalam nada bicara Sashi, tak tega harus bersikap ketus pada Dean. Sudah cukup hari ini lelaki itu dihardik oleh Bu Marissa, serta rekan lainnya dengan makian akibat salah mengimput nilai dan salah mengatur program materi anak bimbingannya.
"Kamu tahu mendapatkan pekerjaan ini gak mudah, Yan. Jadi, jangan lakuin kesalahan yang akan buat kamu kehilangan itu."
Dean tak menanggapi dengan cepat. Tidak dapat menjanjikan hal yang mungkin akan ia ingkari. Kesalahan-kesalahan itu tak ia lakukan dengan sengaja, berada di luar kendalinya. Jika saja bisa, maka ia tak 'kan seperti ini
"Sudah malam banget, Sa. Balik, yuk!"
Sashi menghela napas dan kembali menelan kecewa. Disca yang menjadi prioritas Dean selama bertahun-tahun ini, tak dapat ia usik. Fokus Dean yang hanya tertuju pada sang adik, memaksa Sashi harus mengubur rasanya.
Keduanya pun menaiki kendaraan masing-masing, meninggalkan tempat mereka menghabiskan waktu beberapa jam terakhir. Sashi melaju lebih dulu, sementara Dean mengawasi dari belakang. Hingga di sebuah pertigaan mereka harus berpisah, mengambil jalan berbeda menuju rumah.
"Istirahat, Yan," kata Sashi sebelum meninggalkan lelaki yang tampak kuyu itu.
Melihat Sashi yang semakin jauh,Dean pun kembali mengendarai motornya. Ia tak menambah kecepatan, membiarkan kendaraan-kendaraan lain mendahului. Dean tak perlu terburu-buru untuk pulang karena tidak akan ada yang menyambutnya.
"Serahin semua duit lo, buruan!"
Jalanan yang sunyi dan sepi membuat Dean menangkap seruan itu dengan jelas. Ditekannya kuat-kuat tuas rem, hingga kendaraannya sontak terhenti.
Melepas helm yang dikenakan Dean mengedarkan pandangan mengamati area sekitar. Mencari sumber suara yang tadi didengarnya.
"Cuma itu, aku gak punya lagi."
Kening Dean sontak berkerut, suara tadi cukup familier di telinganya. Tak ingin dibuat semakin penasaran, ia pun memutuskan mencari tahu jawabannya. Meninggalkan sepeda motornya di sisi jalan, Dean menyusuri trotoar, hingga berada di ujung sebuah gang yang menjawab semua keingintahuannya.
"Iko!"
Dean bergerak cepat, menarik laki-laki itu ke belakang tubuhnya. Berdiri tegak di depan pria berkumis yang nyaris melayangkan pukulan pada Iko.
"Lo siapa? Berani-beraninya ikut campur!"
Aroma menyengat langsung menggelitik hidung Dean. Pria bertubuh gempal yang tampak sangat berantakan itu sepertinya baru saja menghabiskan minuman keras. Bau alkohol dan juga asap rokok membuat Dean merasa tak nyaman.
Cengkeramannya pada lengan kurus Iko mengerat. Sekilas ia berbalik menatap manusia yang beberapa waktu lalu memakinya. Ada luka yang ia temukan di sudut bibir Iko, juga wajah pasi anak itu pun cukup menjelaskan keadaan Iko saat ini.
"Bisa-bisanya Anda melakukan hal seperti ini?" tanya Dean dengan emosi. Perlakuan pria di depannya keterlaluan, bersikap semena-mena terhadap orang lemah.
"Gak usah ikut campur deh lo! Mending lo minggir."
Iko akhirnya bersuara, kilat amarah di mata pria itu membuatnya gentar. Emosi pria mabuk itu tak dapat terkontrol, mereka bisa berakhir konyol jika terus seperti ini.
"Gimana gue gak ikut campur? Lo dipalak tengah malam gini sampai bibir lo luka gitu," balas Dean. Ia tak akan beranjak dan meninggalkan Iko seperti ini.
"Siapa dia?"
"Saya kakaknya, berani-beraninya Anda mengganggu adik saya!"
Dean menjawab cepat pertanyaan yang tertuju pada Iko. Tatapannya dan pria itu pun beradu, cukup lama sampai pria tersebut terpingkal-pingkal.
Tak heran dengan kelakuan pria mabuk tersebut. Dean mengeratkan genggamannya pada Iko dan berniat memanfaatkan kesempatan untuk kabur dari sana. Namun, baru saja akan berangkat langkahnya sontak tertahan. Kalimat yang diucapkan pria itu membuatnya kaku.
"Sejak kapan gue punya anak kayak lo? Sekotor-sekotornya wanita itu, gue tahu dia cuman lahirin anak gak berguna itu!"
Dean mendadak mati akal, tercengang dengan apa yang baru didengarnya. Hal tersebut bahkan membuatnya lengah, tanpa perlawanan ia membiarkan pria itu menarik Iko darinya.
"Ayah ...."
"Diam!" bentak pria tersebut, tangan lebarnya mencengkeram lengan Iko Dengan kasar. Tanpa peduli rintihan sang putra.
Pandangannya pun beralih pada lelaki di depannya yang tampak terkejut. "Dia anak gue, dan gue berhak lakuin apa pun sama dia," ucapnya sebelum menyeret Iko.
Sementara itu, Dean masih berada di tempatnya.Tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi, bagaimana bisa Iko diperlakukan seperti itu oleh ayahnya sendiri?
________
Day 5
Anfight Batch 8__________
Terima kasih sudah mampir.
Sampai jumpa di bab selanjutnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
WEEABOO ✓
General FictionDean dibuat khawatir oleh Disca yang menghabiskan waktu hanya untuk menonton anime, membaca manga, hingga berdandan layaknya tokoh anime.Adiknya bahkan terobsesi dengan segala hal berbau Jepang. Sebagai kakak yang kini merupakan keluarga satu-satun...