Untuk kesekian kalinya Iko kembali mendongak, menatap pintu kamar berwarna putih yang berada di lantai atas. Namun, sosok yang ia tunggu sama sekali tak menampakkan diri. Jam di pergelangan tangannya telah menunjukkan pukul 07. 00, sementara Disca masih juga belum ada tanda-tanda tengah bersiap-siap.
Tak ingin membuang-buang waktu dengan hanya terus menunggu, Iko dengan tergesa melewati anak tangga hingga berdiri tepat di depan pintu kamar Disca. Masa bodoh dengan reaksi yang akan diberikan gadis itu, membangunkannya adalah hal terpenting saat ini.
Lagi pula, sejak perdebatan mereka malam itu Iko mulai terbiasa dengan kalimat tajam dan perilaku tak sopan dari Disca. Caci maki yang diberikan Disca dari hari ke hari pun tak lagi terasa menyakitkan, ia malah gemas melihat wajah Disca memerah akibat emosi.
Dengan keras Iko mengetuk pintu kamar Disca, berbeda dari yang Dean kata atau tunjukkan. Waktu mereka tinggal sebentar lagi, berlama-lama untuk memanggil Disca dengan lembut bukanlah hal yang baik.
"Disca!" serunya dengan cukup keras, akan tetapi tak mendapat balasan.Hingga Iko harus menggedor pintu itu lebih keras lagi.
Biasanya Iko tak harus melakukan ini, tetapi Dean telah berangkat beberapa menit lalu. Bukan karena keinginannya, melainkan karena perintah Iko. Sebab, panggilan masuk dari Sashi tak pernah berhenti. Gadis itu bahkan sampai menghubungi Iko hanya untuk menyuruh Dean segera berangkat.
Iko tak tahu apa yang terjadi dengan kedua orang itu, juga tidak peduli bagaimana Sashi mendapatkan nomornya. Akan tetapi, dari nada bicara Sashi, Iko tahu Dean sedang dalam masalah yang cukup serius.
Akhir-akhir ini laki-laki itu memang agak berbeda dari biasanya. Semenjak kejadian malam itu, Dean menjadi lebih pendiam dan semakin sering tenggelam dalam lamunan. Mungkinkah Dean tidak suka ia memiliki perasaan terhadap Disca?
Pergerakan Iko sontak terhenti untuk beberapa saat, lalu menggeleng dengan cepat. Sejak Dean tahu perasaannya terhadap Disca, sampai detik ini laki-laki itu tak pernah menunjukkan reaksi keberatan. Hal yang Dean lakukan justru memberinya kepercayaan penuh, sama sekali tak keberatan dengan hal yang ia lakukan. Lantas apa yang sebenarnya terjadi pada orang itu?
Di saat Iko bertanya-tanya mengenai calon kakak iparnya di kemudian hari, pintu kamar Disca pun akhirnya terbuka. Iko cukup merasa tergelitik melihat penampilan Disca. Rambut berantakan, mata yang belum terbuka sepenuhnya, hingga mulut yang terbuka lebar saat gadis itu menguap.
"Lo ganggu banget sih!"
Senyum tipis Iko langsung patah saat itu juga, bentakan Disca membuatnya terbangun dari pesona gadis itu. Kembali ke kenyataan untuk menghadapi perilaku luar biasa dari sang pujaan hati.
"Kita sudah mau telat, loh."
"Terus? Lo berangkat aja, hari ini gue gak masuk!" balas Disca sinis. Tanpa menunggu Iko bereaksi, dengan kasar ia menutup pintu kamarnya.
Mengabaikan kehadiran Iko yang berseru di balik pintu, Disca memilih kembali berbaring pada kasurnya, melanjutkan kembali tontonannya. Dalam hati ia merasa bersyukur karena bukan Dean yang membangunkannya, sehingga dapat bersikeras untuk bolos.
Sementara itu, di depan pintu kamar Disca, Iko mengacak-acak rambutnya. Ingin membujuk Disca untuk segera berangkat, tetapi waktunya untuk segera sampai ke sekolah kian menipis. Memilih untuk absen tentu bukan pilihan yang tepat, tetapi meninggalkan Disca begitu saja adalah hal yang salah.
KAMU SEDANG MEMBACA
WEEABOO ✓
General FictionDean dibuat khawatir oleh Disca yang menghabiskan waktu hanya untuk menonton anime, membaca manga, hingga berdandan layaknya tokoh anime.Adiknya bahkan terobsesi dengan segala hal berbau Jepang. Sebagai kakak yang kini merupakan keluarga satu-satun...