Dean kembali berdecak, menggeleng pelan melihat adiknya tergesa-gesa menuruni anak tangga. Begitu tiba di sampingnya, tanpa basa-basi Disca menggerutu, menyalahkan Dean yang terlambat membangunkannya.
Dean tak menanggapi kalimat Disca. Ia tidak ingin berdebat dan membuat segalanya kian runyam. Sudah cukup lelah ia berteriak-teriak untuk membangunkan gadis itu, Dean bahkan sampai harus mendobrak pintu kamar adiknya.
Andai saja ingin, Dean pasti sudah membalas gerutuan Disca lebih tajam. Disca hanya tak tahu berapa kali ia harus bolak-balik hanya untuk membangunkan, anak itu bahkan tak tahu betapa nyeri yang Dean rasakan saat tubuhnya menghantam pintu.
Namun, segala emosi tersebut hanya Dean pendam. Dean tak ingin waktu kebersamaan mereka yang minim terbuang percuma. Terlebih hubungan mereka yang merenggang membuat Dean harus berhati-hati dalam bersikap.
"Ya, udah. Ayo berangkat, udah mau telat banget ini," ucap Dean setelah melihat jam tangannya.
Disca melakukan hal yang sama. Matanya seketika melebar melihat angka yang ditunjukan benda itu. "Ini bukan mau telat lagi, Kak. Udah jam tujuh lebih, udah telat banget ini mah!"
"Gak apa-apa, paling dapat hukuman dan ketinggalan pelajaran di jam pertama," ucap Dean santai.
"Ih, mending gak usah masuk deh! Capek tau dihukum, panas, malu juga. Izin aja, ya." Disca meraih tangan Dean, memasang wajah sok imut dengan maksud membujuk
"Gak! Udah, ayo berangkat!" ucap Dean yang kemudian menarik tangan Disca. Tanpa peduli wajah masam anak itu.
Dean tentu tidak akan menuruti keinginan Disca. Seperti apa pun cara Disca meminta, apabila itu tak benar menurutnya. Dean tidak akan pernah mengabulkan permohonan itu.
"Kak–"
"Dis, semua harus dipertanggungjawabkan. Kamu gak boleh lari gitu aja. Lagian, kamu bakal rugi banget kalau bolos, Dek." Dean menyela.
Tak ada penekan di setiap kalimat yang ia ucapkan, sangat berhati-hati berbicara dengan adiknya. Namun, Disca yang tetap kukuh untuk tidak masuk hari ini.
"Sehari aja, Kak. Besok gak lagi deh. Aku tuh gak mau dihukum, capek, tau! Aku ngantuk, mana belum sarapan, kalau aku pingsan gimana? Kakak gak kasian sama aku?"
"Gak, karena itu semua kesalahan kamu sendiri. Kalau kamu gak mau dihukum karena terlambat, makanya jangan begadang," balas Dean yang kemudian menaiki motornya.
Disca tak bergerak sama sekali, mengabaikan seruan Dean untuk segera duduk di belakangnya. Ia tak ingin berangkat bila harus panas-panasan dan mendapat ceramah panjang dari guru BK. Lebih baik sekalian membolos saja, minta izin sakit dan menghabiskan waktunya menonton lanjutan kisah Tanjiro dan adiknya.
"Dis, ayo!"
"Kak, ini dah telat banget, loh. Kakak izinin aja, ya."
Dean menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Mesin motor kembali ia matikan,lalu turun dari kendaraan peninggalan sang ayah.
"Kamu gak mau ke sekolah?" tanya Dean yang dengan cepat diangguki Disca. Sebuah reaksi yang membuat Dean harus berkali-kali merapal kata sabar dalam hati.
"Oke! Kamu boleh, gak sekolah."
Senyum Disca seketika merekah, sangat senang dengan jawaban yang diberikan Dean. Untuk pertama kalinya ia bersyukur memiliki lelaki itu. Namun, semua hanya sesaat. Sebab, kalimat dan apa yang kemudian Dean lakukan membuat Disca mengutuk eksistensi Dean dalam hidupnya.
"Tapi, mulai detik ini kamu gak akan pernah main ini lagi."
Dean dengan kasar merenggut ponsel di genggaman Disca hingga membuat anak itu menjerit tak terima. "Gak ada lagi anime, gak ada lagi manga atau apa pun itu, bahkan gak ada lagi uang jajan," ucapnya tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
WEEABOO ✓
Ficción GeneralDean dibuat khawatir oleh Disca yang menghabiskan waktu hanya untuk menonton anime, membaca manga, hingga berdandan layaknya tokoh anime.Adiknya bahkan terobsesi dengan segala hal berbau Jepang. Sebagai kakak yang kini merupakan keluarga satu-satun...