Keraguan pada diri Reyhan untuk pulang masih ada. Namun, sebisa mungkin segera ia tepis. Karena meski sekesal apapun perasaan anak terhadap kondisi keluarga, pasti masih ada yang memikirkannya.
Reyhan mengambil motornya yang terparkir, lalu meninggalkan area sekolah dan juga kedua temannya. Ia melajukan motor dengan kecepatan yang rendah, karena masih ingin menikmati udara luar sebelum menghadap pada dunianya sendiri.
Setelah beberapa menit, tibalah Reyhan di rumah bergedong. Rasanya sungguh berat untuk melangkah masuk. Tak heran jika kini Reyhan menenangkan pikiran dan emosi agar bisa terkendali sebelum terjadi suatu momen yang tidak diinginkan.
Reyhan turun dari motornya. Melangkah menuju ruang utama rumahnya, tapi telinganya tak menyaring suara orang bicara. Ia mencoba menelusuri tiap ruang di rumahnya, dan ternyata memang Mamah, Papah, serta Adik perempuannya sudah bersiap menyantap hidangan yang tersaji itu.
Sebelum Reyhan berbaur dengan keluarganya ia sempatkan untuk mencuci tangan, lalu duduk melingkar menghadap keluarganya yang memasang raut wajah yang tak bisa diartikan bagi Reyhan.
"Han, ayo makan! Ini Papah beli dari Singapur," ujar Erlan sang Papah.
Melihat kecanggungan itu, Reyhan mencoba basa-basi meski ia tak menyukai hal itu. "Gimana projeknya di sana?" ujarnya mengambil suatu roti yang masih terbungkus.
"Ya ... cukup baik," jawab Papahnya sambil menyanggah dagu.
Sedangkan Tiara–adiknya hanya menatap keluarganya secara bergantian. Jujur dia merasa tak menginginkan suatu hal terjadi. Namun, sang mamah sudah berancang mengambil alih pembicaraan meski Erlan sudah mencegah lewat tatapan mata, tapi tetap tak membuat Fania–Mamah Reyhan merubah pikirannya.
"Ehm ... sebenarnya Mamah sama Papah pulang ini ada maksud tujuan, Han," ucap Fania memasang raut wajah melas sambil mengelus tangan kiri Reyhan yang ada di atas meja.
Yang merasa diajak bicara itupun mengerutkan dahinya karena merasa arah pembicaraan ini mulai tak sehat.
"Mah, udahlah. Kita lagi di meja makan, lagi pula anak-anak kita juga sedang menikmati-"
"Kalau gak sekarang terus mau kapan? Kamu sendiri kan yang-"
"Okey, saya memang yang memulai, tapi apa gak bisa-"
"Apa gak bisa kalian bicara secara jelas dan tidak bersahutan?" ucap Reyhan tegas sambil mendorong kursinya ke belakang secara pelan.
Tiara yang mendengar percakapan tak sehat antara kakak laki-laki dan orang tuanya itu menggerakkan tangan untuk menutup telinga.
Erlan dan Fania mengatur napasnya lalu saling menatap dengan penuh arti.
"Mamah mau cerai sama Papah kamu," ucap Fania dengan satu tarikan napas. Sangat terpaksa, tapi bagaimanapun Erlan telah menyakiti hatinya secara berkali-kali. Sebelum hal ini terjadi Fania masih bisa menyimpan praharanya. Namun, untuk ini ia tak bisa ambil diam.
Tak ada ekspresi terkejut atau marah dalam raut wajah Reyhan. Ia menatap Papah dan Mamahnya secara bergantian dengan sorot mata yang terkesan lelah untuk melihat drama yang ada dihadapannya itu.
Reyhan berdiri dan membanting roti yang sempat ia makan tadi, lalau beranjak dari tempat kejadian.
"Terserah!" gumamnya lirih, seperti memasrahkan saja apa yang terjadi.
Erlan yang mengakui jika ini kesalahannya hanya mengusap wajah secara gusar. Sedang Fania menatap Erlan dengan penuh kedengkian. Hatinya terlalu sakit jika melihat seorang yang ada dihadapannya itu.
Tapi, kejadian itu sangat memukul Reyhan dan Tiara yang memiliki peran sebagai anaknya. Reyhan menutup pintu kamar secara kencang sampai terdengar oleh orang yang berada di meja makan.
Reyhan melangkah ke arah balkon. Bukan tipikal cowok yang lemah, tapi bulir air dari matanya itu sangat menunjukkan rasa kecewanya pada kedua orang tua. Sebagai anak ia tak meminta apa pun, meski tak pernah merasakan suatu kehangatan dalam keluarga. Setidaknya ia masih merasakan memiliki orang tua yang utuh.
Ia lampiaskan kekecewaannya dengan berpadunya angin yang berembus kencang, entah mengapa bulir air dari langit tiba membasahi bumi. Rasanya semesta ikut serta menemani Reyhan dalam rasa kekecewaannya. Baik secara hati dan pikirannya kini begitu jenuh menyaksikan realita dalam kehidupannya.
Reyhan medengar suara pintu terbuka, bersamaan dengan suara guntur yang seolah sedang memotretnya. "Bisa keluar?" ucapnya masih lirih.
Sedangkan langkah kaki itu masih terus menancap pada telinga Reyhan dengan jelas.
"Bisa keluar?" kini ia berujar dengan nada yang tidak lirih lagi.
Ia pun merasakan ada yang melingkarkan tangannya dari belakang, sambil menaruh wajahnya di punggung lebar milik Reyhan untuk menyembunyikan isakan tangisnya.
Reyhan rasa, cukup dia saja sebagai kakak yang menahan goresan kepedihan ini. Dan membiarkan adiknya bisa terlepas dari sayatan luka yang tak diinginkan.
Tanganya mengelus lengan Tiara, membawanya pada pelukan yang semoga bisa memberi ketenangan. Sungguh hal ini sangat berat baginya. Di satu sisi ia masih merasa ganjal dengan kejadian pagi hari itu, ditambah lagi siang hari ini yang berbalut dengan keteduhan langit. Reyhan sangat terpukul, tapi tetap mencoba sigap dihadapan sang adik.
"Tiara tau, Mas Reyhan lebih terpukul dengan hal ini. Yang sedari kecil ditinggal di Jawa, sampai besar Mas Rey bisa menyusul mamah papah di kota. Dan Tiara-"
"Husst," ucap Reyhan memotong obrolan Tiara yang dibalut dengan isakan tangis.
"Gak pa-pa, Ra ... semua udah ada masanya. Tinggal gimana aja kita bisa menyesuaikan dan mengendalikannya dengan baik," lanjutnya mengelus pucuk kepala sang adik.
Isakkan tangis dari seorang perempuan yang ada dipelukannya itu semakin lirih setelah mendengar penuturan Reyhan yang mencoba menguatkan diri dan tak lain juga adalah adiknya.
Buliran air yang turun ke bumi masih tak henti, seperti sengaja untuk menutupi suara tangis dari kakak dan adik yang saling menguatkan itu. Tapi seketika kehangatan dari keduanya terpecah karena Fania datang secara tiba.
Fania berdiri diambang pintu balkon kamar Reyhan, sambil membawa teh hangat di tangannya. Ia mencoba menjelaskan kronologi yang sebenarnya mengapa keputusan itu diambilnya.
Sedang Reyhan dan adiknya melepas pelukan, membiarkan sang mamah tak mengutarakan kata-kata.
Dalam hati kecil Reyhan, ia tak mau membentak mamahnya meski merasa terpukul olehnya. Namun, anak sulung dari Fania dan Erlan itu hanya menatap Mamahnya dengan rasa kecewa. Keluarga yang diharapkan kini tak lagi ada petunjuk untuk mengarah ke sana.
"Keputusan ini Mamah ambil karena papah kamu," ujar Fania lirih saat Reyhan masih menatapanya dengan rasa kecewa.
Bukan sebuah kata yang Reyhan pintah, tapi tindakan untuk memperbaiki semua. Dan sepertinya itu pun nihil, sorotan mata yang ditujukan bukan hanya melampiaskan rasa kecewa. Namun, meminta waktu untuk dirinya sendiri.
Fania terus menatap putra sulungnya. Sampai pada suatu titik ia merasa ini sebuah kesalahan dan tidak seharusnya membicarakan keputusan itu dihadapan sang anak. Karena pasti sangat mengecewakan bagi mereka.
Mamah dari dua anak itu menaruh cangkir berisikan teh hangat di meja milik Reyhan. Lalu membiarkan putra dan putrinya bersama untuk saling menguatkan dalam kondisi apapun itu.
***
Thanks🐇
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary |End|
Ficțiune adolescențiReyhan Alkantara "Biarkan angin ini menerpa kehidupan yang penuh akan kebahagiaan, kebahagiaan yang hanya sementara kita rasakan. Namun, setiap hembusan angin yang menerpa, aku mencoba untuk mengikhlaskan apa yang telah datang dan akan pergi layakny...