Dikelabui oleh pikiran jenuh, hati yang sangat kisruh dan keadaan ini begitu berdampak pada dirinya yang menjadikan tidak fokus ketika belajar dalam kelas. Ia melangkah, tapi tak tau arah. Ingin menjerit melepaskan tekanan yang ada. Namun, saat ini bukanlah tempatnya.
Di sisi lain, gadis yang tak lama mengenal sekolah baru itu sudah sering bergandengan dengan siswa di SMA-nya. Bukan karena dia cari perhatian, tapi memang mampu menarik sebuah kesan karena potensi dan keunikan dari fisikly dan personality. Seperti yang terlihat, kini mereka bercanda di depan kelas. Dengan senyumnya yang mampu memikat siapa pun untuk menatapnya atau sekadar hanya menyapa.
Terlalu lelah menanggapi Afka yang membuatnya tak bisa diam, Hana menyandar pada dinding dengan sesekali menghentikan tawanya.
"Modelannya kayak gini ... pantesan Reyhan kepincut," ucap Afka dalam hati sambil terus memandang Hana yang masih larut dalam gurauannya.
"Duh ... gak berhenti-berhenti ini aku ketawanya," ujar Hana menepuk pundak cowok yang tak lain telah membuat paginya kini cerah.
Gurauan itu masih terus berlanjut dan Hana tiada henti menertawakan. Namun, seketika gadis berambut hitam itu menjadi canggung ketika sorot matanya bertabrakan dengan tatapan seseoang yang akhir-akhir ini menghantui benak dan pikirnya.
Sorot mata itu terus bertabrakan. Tak ada kata yang terlontar dari bibir si pemilik, tapi dalam benak masing-masing terus mendorong sang rasa.
Hana menyambut dengan sentuhan bibir yang mengembang yang ia tujukan pada seorang yang kini telah menatapnya dari kejauhan. Sedangkan Afka sibuk memandang langit yang cerah.
"Gue gak percaya sama jatuh cinta yang datangnya dari mata, karena mata hanya mampu membinarkan saja, tapi hati yang terus berbicara, bagaimana suasana perasaan saat menatap mata dengan ketulusan segenap jiwa," ucap Reyhan dalam relung hati sebelum kakinya melangkah pergi, dan mengakhiri tatapan itu yang penuh arti.
Hana menatap lantai sekolah yang kini ia pijaki. "Bagaimana cara bicara dari hati ke hati? Sedang diantara kita hanya bisa memendam perasaan ini dalam hati. Aku tak mau salah sangka, aku tak mau salah kata, tapi kenapa matamu sudah cukup menjelaskan semuanya? Untuk masa ini, kamulah yang mampu membuatku berpikir dengan menyatukan rasa," ucapnya dalam hati setelah punggung besarnya tak terlihat oleh kedua mata Hana.
Hana merasa lengannya dicolek. "Kenapa?" tanya Afka ikut menunduk menatap wajah cewek yang menunduk di sebelahnya.
"Ah, ha? Gak apa-apa kok," responnya yang dibalut dengan senyuman.
Afka mengangguk saja, lalu menyelipkan jarinya pada Hana dan mengajaknya melangkah pergi meninggalkan tempat tadi.
Cowok yang sedang menggandeng Hana itu tersenyum sumringah. "Biar gue ambil alih, nanti lo yang miliki," terangnya dalam hati, yang bermaksud ia utarakan pada temannya di sana.
Sedangkan Reyhan kini duduk di antara rumput hijau di taman sambil membaca komik yang akhir-akhir ini menemaninya.
***
Ketika yang lain sangat gembira untuk pulang ke rumah. Namun, kedua anak ini memiliki alasan kenapa tidak kembali pada tempat teduhnya terlebih dulu saat pulang sekolah.
Mereka memiliki tujuan yang sama tapi dengan maksud yang berbeda untuk saat ini. Langkahnya saling mengarah pada tempat yang selalu diampiri setelah pulang sekolah, meski tak berada dalam satu kendaraan yang sama. Namun, Hana sampai terlebih dulu karena Reyhan harus mengisi perutnya dengan karbohidrat yang bisa mengenyangkan.
Hana tiba di perpustakaan ketika matahari mulai berjalan ke barat, makanya pengunjung sudah pada meninggalkan tempat dan akan kembali ramai saat malam nanti.
Gadis pemilik senyum indah itu menghampiri bunda yang berada diantara rak-rak buku. "Sini, Bund. Biar Hana aja." Bunda pun menoleh pada sumber suara.
"Eh, Hana ... udah mau rampung kok. Kamu ganti pakaian aja dulu jangan pakai seragam sekolah gitu," ucap Bunda yang sedang menata beberpa buku.
Hana mengangguk dan tersenyum. "Sebenernya ....," ujar Hana menggantungkan perkataan.
"Sebenernya apa ....?" sahut Bunda menepuk pundak Hana.
"Hana boleh tanya-tanya gak, Bund?" tanya Hana ragu.
Bunda mengangkat kedua alisnya. "Kenapa gak boleh?"
"Emangnya mau nanya apa ....?" lanjutnya merespon.
"Reyhan, Bund." Hana memainkan jari-jemarinya untuk menutupi kecanggungannya.
"Uuh, nanya apa tuh," gurau Bunda dihadapan Hana.
Namun, pintu ruangan itu menyemburkan seseorang dari arah depan ke dalam perpustakaan saat Hana mau menanyakan suatu hal pada bunda. Sorot mata kedua remaja tadi saling bertaut lagi, seperti mencari cela kejujuran dalam hati, tapi masih tiada yang mengerti.
Lantas Hana memutus kontak mata itu dan mengajak bunda untuk meninggalkan tempat yang tadinya mereka pijaki. Sedangkan Reyhan memilih buku untuk dirinya baca dengan paksa karena maksud kedatangannya adalah butuh sandaran seseorang yang selama ini ia anggap sebagai ibu.
Sungguh remaja laki-laki yang menyukai seni musik itu sedang sangat butuh hiburan dan sandaran untuk masalah yang kini menerjangnya. Namun, Reyhan takut jika dirinya malah menambah beban pikiran untuk orang lain, tapi meski demikian orang terdekat atau yang berada di sekitarnya sangatlah mengerti tentangnya walau tak menjelaskan secara menyeluruh.
***
Terima kasih karena sudah baca cerita ini🌷🐇

KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary |End|
Teen FictionReyhan Alkantara "Biarkan angin ini menerpa kehidupan yang penuh akan kebahagiaan, kebahagiaan yang hanya sementara kita rasakan. Namun, setiap hembusan angin yang menerpa, aku mencoba untuk mengikhlaskan apa yang telah datang dan akan pergi layakny...