⏳ Temporary | 14

4 1 0
                                    


Ketika hari sudah diselimuti oleh petang, memang waktu yang tepat digunakan untuk beristirahat. Tapi seketika hal itu ditepikan oleh Hana karena ia patut menanggapi omongan Iren–sang ibu.

Tak bisa dipungkiri bahwa setiap individu pasti mencari kekurangan atau kesalahan dari orang lain, dan hal itu dilakukan tanpa mencari kebenarannya terlebih dahulu.

Sepulang Iren dalam bekerja, ia mendengar omongan dari tetangga yang mengatakan Hana tidak memberi contoh baik pada adiknya yang selalu pulang malam.

Iren naik pitam. "Kamu! Ibu sekolahin biar berpendidikan, tapi kenapa nggak bisa jadi contoh yang baik," ucapnya menunjuk diri Hana.

Hana yang sedang duduk di tepi kasur hanya bisa menunduk, membiarkan ibunya berkata apa agar tidak mencelah omongannya.

"Kamu sering pulang malam, 'kan?"

"Iya, Bu, tapi-"

"Gak usah tapi-tapi. Harusnya kamu kasih contoh dong yang baik buat Rhea," ucapnya menyelah omongan Hana.

Hana menggangguk saja, membiarkan orang lain berkata apa, tapi yang sebenarnya ia melakukan itu untuk keluarga meski tiada yang percaya.

Mungkin sungut Iren telah muncul, karena tiada henti ibu dua anak itu menegur putri sulungnya tanpa mendengar penjelasan yang benar terlebih dahulu.

Sebelum terbawa larut, Iren mencoba mengontrol emosinya dan meninggalkan Hana di kamar. Kakak dari Rhea itu menatap kepergian ibunya dengan rasa sendu.

Di saat para remaja lain saling tukar cerita dengan ibu. Namun, Hana hanya bisa memendam curahan hati pada diri sendiri. Bulir air dari matanya menetes tanpa dipintah, memendam masalah sendiri hanya membuat sesak dalam dada hingga seakan kepala terbelah menjadi tiga.

Putri sulung dari Iren itu membaringkan tubuhnya, memeluk guling yang ada di sebelahnya dan mematikan lampu agar ia bisa menenangkan diri dalam kesunyian.

Sampai beberapa menit kemudian, Hana mendengar suara pintu yang terbuka. Ia masih tak berpindah tempat. Namun, bayangan dari pintu itu terus mendekatinya.

"Mbak, ibu menggigil tuh." Hana yang mendengar hal itu langsung menoleh pada sumber suara.

Ia mengusap buliran air yang menetes dari matanya. "Kamu baru pulang?"

"Iya, aku capek. Mbak rawat ibu, ya. Aku mau mandi," ucap Rhea yang langsung meninggalkan kakaknya.

Hana mengembuskan napasnya lalu beranjak dari kamar untuk menuju tempat Iren beristirahat.

Yang benar saja. Sesungguhnya perasaan ibu itu tidak pernah tega melihat anaknya kenapa-kenapa. Iren hanya tak ingin kedua putrinya tersesat pada jalan yang salah, karena ia sadar jika dirinya sudah tak bisa lagi mengasuh dengan sempurna.

Iren membiarkan tangan Hana untuk menyuapinya bubur, membukakan obat, bahkan memijat kakinya sampai dirinya terlelap. Namun, putri sulung dari Iren itu tetap tidak memejamkan matanya agar ia bisa mengganti kain basah pada dahi ibunya setiap beberapa menit sekali.

Hingga mentari telah menelusuk dicelah gorden ruangan. Iren terbangun dan melihat Hana yang masih setia duduk di pinggir ranjangnya sambil menelusupkan kepala pada sela tangan yang ia silangkan.

Iren membangunkan Hana, dan menyuruhnya bersiap untuk ke sekolah.

***

"Lah, mata panda. Begadang, lo?" tanya Yeshy saat Hana telah sampai di bangku kelasnya.

Hana memberikan respon yang positif dengan mengembangkan sudut bibirnya. "Iya, ibu tiba-tiba sakit semalam."

Yeshy yang mendengar itu langsung tersedak karena minum teh botol. "Terus sekarang gimana? Masih sakit? Kenapa gak izin aja buat rawat ibu," ucapnya ikut cemas.

"Udah mendingan kok," ujarnya yang diiringi dengan tawa saat melihat kecemasan temannya terhadap ibu.

"Syukurlah, kalau gitu kan lo bisa tenang belajarnya." Hana mengangguk paham.

Terkadang memang butuh dukungan positif dari orang sekitar untuk menguatkan diri. Namun, jika masih terasa sama saja, hanya diri sendirlah yang mendukung baik untuk bisa melewati semua.

***






Terima kasih pren🐇

Temporary |End|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang