Hari dan waktu akan terus berganti meski tak ada perbedaan. Namun, ada suatu hal yang bisa membuat beda di setiap bergantinya hari dan waktu, ialah momen di saat-saat tertentu.
Bukan hal aneh lagi jika mendengar kata 'insom' di telinga. Banyak sekali hal yang memicu terjadinya insom, entah pikiran sedang meluap-luap, atau perasaan hati yang sedang tak karuan, dan banyak hal yang lainnya. Niat mencari solusi itu pun ada. Namun, diri masih tak bisa menerima. Dan Hana kini sedang mengalaminya.
Tengah malam ia masih berkutik di meja belajarnya, baik sedang membaca buku ataupun menulis karangan cerita sambil mendengarkan podcast kesukaannya. Hana ingin menenangkan pikirannya yang sedang berkecamuk. Dalam hidup, lelah itu pasti ada. Namun, meski demikian Hana tak ingin menyerah, karena menyerah tak akan menghasilkan buah.
Di celah kegiatannya menenangkan pikiran, Hana menyeruput secangkir susu coklat yang hangat. Tak lama setelahnya, mendengar langkah kaki yang begitu jelas di dapur, karena kamarnya berada tidak jauh dari tempat masak itu.
Hana mencoba keluar kamarnya dan mulai melangkah ke arah dapur untuk mengecek keadaan apakah baik-baik saja atau sedang ada sesuatu hal yang tak diduga.
Saat Hana menyikap gorden yang sebagai pintu penghalang antara ruang tengah dan dapur. Ia melihat sosok lelaki dengan pakaian kemeja putih yang dibalut jaz warna hitam.
"Ayah?" ujarnya lirih.
Yang dipanggil 'ayah' itu pun menoleh.
"Loh, kamu kok belum tidur? Bukannya besok masih hari sekolah kan?" tanya Irfan–ayah Hana.
"Iya, Yah. Tapi masih belum bisa tidur," jawabnya cengengesan.
Irfan mengangguk-angguk paham. "Mau temenin Ayah sini? Sini!"
Irfan menawari anak sulungnya itu untuk duduk bersebelahan dengannya di meja makan. Hana pun menyetujui karena momen seperti inilah yang Hana rindukan, duduk bersama sambil bercengkrama, meski tak lama tapi sangat berharga.
Irfan mengelus rambut hitam dan panjang milik anaknya ketika Hana sudah menempati kursi yang ada di sebelah ayahnya.
"Ibu sudah tidur ya?"
Hana mengangguk. "Iya."
"Adek?"
Hana berdiam sejenak dan mengembuskas napas. "Rhea main ke rumah temennya, katanya mau nginap."
Setiap jam sembilan malam Hana selalu mengirim pesan kepada Rhea–adiknya. Menanyakan kabar dan juga menyuruh untuk pulang. Namun, sifat adik dan kakak itu berbeda. Rhea sangatlah keras kepala dan apa yang ia suka Rhea akan melakukan semaunya.
Irfan menggelengkan kepala bermaksud untuk memahami itu. Hening pun tercipta. Hana yang bergelut dengan pikirannya sendiri, begitu pun dengan sang ayah–Irfan. Sesekali Irfan mencomot roti bakar yang berada di atas meja makan itu. Ia pun mencoba mencairkan suasana.
"Kamu kenapa belum tidur? Mikirin Ayah apa mikirin cowok lain selain Ayah?" guraunya sambil memakan roti bakar.
Hana tersipu. "Ayah! Mana ada cowok selain Ayah," katanya diiringi dengan sudut bibir yang mengembang.
"Kan Ayah cuma menebak, siapa tau benar kan Ayah berganti profesi menjadi peramal," ujarnya santai. Namun, disambut dengan tawa oleh anaknya.
"Bisa-bisanya Ayah ngelawak kayak gitu," ujar Hana yang merendahkan tawanya.
Hal kecil seperti itu saja membuat dirinya bahagia, mungkin bagi orang lain itu adalah lelucon garing. Namun, bagi Hana momen seperti itu yang langkah di saat umurnya yang kini beranjak remaja-dewasa. Berkumpul dengan keluarga kecil yang jarang, apalagi bercanda dan tertawa bersama. Bagi Hana semua akan berubah seiring berjalannya waktu dan berkurangnya usia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary |End|
TienerfictieReyhan Alkantara "Biarkan angin ini menerpa kehidupan yang penuh akan kebahagiaan, kebahagiaan yang hanya sementara kita rasakan. Namun, setiap hembusan angin yang menerpa, aku mencoba untuk mengikhlaskan apa yang telah datang dan akan pergi layakny...