⏳Temporary | 20

3 1 0
                                    

Masih tetap berada di teduhnya awan, menyapa fajar dan menikmati senja bersama. Selama napas masih berembus di setiap detik, selama itu pula para remaja yang terjerat cinta berusaha untuk mempertahankan, meski tak mengerti takdir akan membawanya ke mana.

Kini, waktu telah membawanya kepada jenjang akhir dalam perjalanan putih abu-abu. Menyisakan senang dan juga haru. Baik Hana maupun Reyhan telah di hadapkan dengan berbagai ujian akhir. Dan kini adalah hari akhir mereka mengerjakan ujian.

Masa-masa bersama pun telah dilewati dengan begitu indah, salah satunya saat Hana menerbitkan buku yang ketika itu pernah ia ceritakan pada Reyhan di jalan. Tanpa Hana duga, di saat-saat ia sedang sibuk menandatangani buku-bukunya, Reyhan turut berada di sampingnya, menemaninya sampai akhir Hana menyelesaikan pekerjaannya itu. Meski sesekali cowoknya merasa bosan, tapi tetap tak meninggalkannya berada sendiri di rofftop perpustakaan milik bunda, dengan sesekali memandang wajahnya dari arah sebelah.

Bersama es coffee yang menemani mereka, Reyhan mengajaknya berbicara agar tak menciptakan suasana sunyi.

"Na, kenapa kamu suka nulis?" tanyanya setelah menyeruput es coffee.

"Mau tauu?" gurau Hana sambil meneruskan pekerjaannya.

"Enggak." Lantas Hana melirik ke arah Reyhan. "Ya kalau gak mau tau, ngapain aku nanya ke kamu?" lanjutnya setelah Hana menatapnya.

Hana menengadahkan kepalanya sambil mengembuskan napas besar. "Iya juga sih," katanya lalu melanjutkan menandatangani buku-buku tersebut.

"Nah."

Sambil menikmati senja di atas roftoop perpustakaan dan juga es coffee, Hana melanjutkan perbincangannya tadi.

"Dulu itu, aku selalu minta sosok teman. Teman yang bisa mengerti aku, menghibur aku, dan bisa beri aku energi positif gitu lah," ujarnya yang masih terus bergulat pada pena. Sedangkan Reyhan memandanginya dari arah samping.

"Dan, aku selalu menyambut dengan senang hati kalau ada yang mendekatiku, apalagi mau menjadi temanku. Mereka sela ... lu cerita banyak hal tentang apapun itu, tapi aku ... gak segampang itu untuk cerita ke mereka."

"Aku gak segampang yang aku pikirkan untuk mempercayai seseorang."

"Kenapa?" Hana menggeleng untuk merespon pertanyaan dari Reyhan.

"Bukan berarti aku gak bersyukur masih ada orang yang mengelilingiku. Aku bersyukur. Tapi bagiku, proses mempercayai orang itu gak semudah menerima sebuah pujian," kata Hana yang diakhiri dengan menatap Reyhan.

"Saat aku mulai percaya dengan seseorang, saat itu pula aku harus menerima resiko. Jika kapan saja kepercayaan itu bisa luntur. Entah karenanya, atau kerenaku."

"Dan di saat itu, aku berpikir sambil memainkan pena yang ada di sela jari-jariku. Aku tulis semua isi dari hati yang sebenarnya ingin sekali aku bicarakan," lanjut Hana yang kini tangannya bertindak menata rambut Reyhan yang tak ada rapi-rapinya.

"Berulang kali. Sampai akhirnya ... aku merasa lega. Aku merasa lega setiap kali menuliskan semua isi hati di atas kertas putih, yang ... yang sebelumnya belum terkena tinta pena," terangnya menghentikan aktivitas itu.

Sedangkan Reyhan menelusuri setiap kata yang terucap untuk dimengerti. "Aku paham, Na."

Lalu Hana memandang Reyhan dengan penuh arti.

Momen itulah yang saat ini sedang Reyhan ingat ulang. Bersama Hana kini hidupnya lebih berwarna.

"Woi! Ngelamun mulu lo." Kenzo datang dan menepuk pundak Reyhan yang diketahuinya sedang melamun dan menatap lapangan sekolah dari lantai dua.

"Lah iya, udah tau mau lulus. Masih aja ngelamun-ngelamun," sahut Afka.

"Kesambet setan sekolah tau rasa lo, Han," lanjut Kenzo yang diakhiri dengan gelak tawa.

"Kenapa emang?" tanya Reyhan memandang aneh Kenzo.

"Ya kalau lo kesambet setan sekolah, terus lo ditahan, gak mau ninggal nih sekolah. Emang lo mau?"

"Nggak juga sih," jawab Reyhan tersenyum tipis.

"Ya gue sebagai teman sih gak pa-pa aja," kata Kenzo.

"Astagfirullahaladzim, tuh mulut minta dicium emang, Han," sahut Afka seketika.

"Mesum lo ya!" ujarnya sambil menutup mulut. "ya kalau yang nyium cewek sih, ayo. Kalau lo yang cium, ogah!!"

"Ooh maunya cewek??" gurau Afka sambil menyenggol lengan Reyhan.

"Asal jangan Hana aja sih gue ok," sahut Reyhan.

"Kalau nggak Hana ... berarti temennya dong, Ken?"

"Anjayy, cewek banyak yang lo tuju dia doang."

"Ya siapa tau jodohlah, Ken," ujar Reyhan menepuk bahu temannya itu.

Seketika Kenzo menatap cerahnya langit. "Hanya Tuhan yang tau jodoh gue, elo, dan elo," katanya yang diakhiri dengan menunjuk kedua temannya.

"Dahlah, yok latihan. Malah bahas jodoh, lusa tampil nih kita," seru Kenzo.

"Bener juga tuh," sahut Afka yang diiringi dengan merangkul kedua temannya untuk berjalan bersama ke ruang latihan band. Seakan koridor sekolah hanya mereka yang miliki, karena sebentar lagi semua akan menjadi kenangan saja.

***

"Kamu habis latihan ya?" tanya Hana yang saat ini sedang berjalan dan mengusap keringat Reyhan dengan tangannya.

"Iya."

"Emang AC-nya nggak nyala?"

"Nggak. Padahal mau lulus juga, segala pake nggak nyala," ujar Reyhan yang menarik tangan Hana untuk ia genggam.

"Hahaha, Reyhan ... nanti juga kamu bakal kangen masa-masa kayak gini." Reyhan menyambut perkataan Hana dengan senyum tipisnya.

Mereka berjalan menuju parkiran untuk pulang, tak lupa Reyhan mengantar gadisnya yang masih tak mau menunjukkan alamat asli rumahnya. Ia sangat menghargai jika itu memang privasi, meski terkadang rasa keinginan tahuannya meronta.

Di sepanjang jalan, Hana seperti sedang melamun. Terlihat dari kaca spion Reyhan yang mengarah padanya.

"Mikirin apa?" tanya Reyhan memecah lamunannya.

"Ah, nggak apa-apa, hehe."

Hana yang melingkarkan tangannya pada pinggang Reyhan pun mengeratkan pelukannya, seperti tak mau lepas kebersamaan yang telah mewarnai di tiap detiknya.

Reyhan yang merasakan hal itu pun tersenyum tipis, sambil mengingat awal mula ia bertemu lalu saling menyimpan rasa yang pada akhirnya tak sanggup lagi menyimpannya. Namun, di balik rasa itu, Reyhan berpikir sejenak, apakah kisahnya kini akan berakhir dengan cepat atau tangguh menerjang angin yang menerpa nantinya.

"Na," ucapnya sambil mengelus punggung tangan Hana yang ada di perutnya.

"Apa?"

"Gimana perasaan kamu?"

"Perasaan apa?" tanya Hana bingung.

"Udah di detik-detik kelulusan, gimana?" ujarnya lagi, sesekali menatap Hana dari kaca spionnya.

"Ooh ... hehe, nggak usah ditanyalah, Rey." Hana mencoba mengembangkan sudut bibirnya, meski seperti ada sesuatu yang membuatnya tidak lega melepas senyum itu sebagai jawaban.

"Salah ya nanya kayak gitu?"

"Nggak sih ...."

"Kalau gitu, kamu lulus mau lanjut ke mana?" tanya Reyhan lagi. Karena sebenarnya pertanyaan-pertanyaan seperti itu harus dibicarakan dari awal sebelum semua menjadi bubur.

Hana masih belum melontarkan sepatah kata pun untuk menjawab pertanyaan Reyhan, ia menyembunyikan wajahnya di balik punggung besar Reyhan. "Kuharap semesta terus menyuruhku untuk bersamamu."

Cowok yang sedang membonceng Hana itu pun hanya mampu tersenyum setelah mendengar kalimat  yang dinantinya beberapa detik lalu.

***

Temporary |End|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang