Bahagia itu terdapat pada diri sendiri, bagaimanapun orang lain menggiring untuk tertawa, tapi jika diri tak mampu menerima. Cukup bisa membiarkannya saja.
Mungkin hal itu yang Reyhan terapkan pada dirinya, membiarkan apa keputusan dari orang tuanya, karena ... ya mau seperti apa menolak pun tak akan merubah semua yang terjadi.
Meski demikian Reyhan memiliki harapan dengan keputusan orang tuanya, untuk tetap bahagia meski tak lagi bersama. Begitu pun dengannya kini, yang memilih tinggal bersama Tiara.
***
Kini Hana telah lama menunggu seorang yang kini telah mengisi hatinya di depan ruang band.
"Di kelasnya udah gak ada anak," katanya pada dirinya sendiri.
"Di sini juga gak ada."
Hana melihat benda yang melingkar di tangan kanannya. Lalu melangkah meninggalkan tempat dan memilih untuk ke perpustakaan bunda.
Di sana, ia melebur dalam obrolan bersama seorang wanita pemilik perpustakaan itu. Dari perbincangan ringan hingga hal yang tak pernah Hana ketahui, bunda membahasnya.
"Terus, Bun?" tanya Hana sebagai pendengar.
"Ya gitu deh, tetangga Bunda yang tadi tuh memilih kabur dan gak tanggung jawab," terang Bunda membahas tetangganya yang menghamili seorang wanita yang berprofesi sebagai model.
"Kasihan ya, mbaknya itu jadi korban," kata Hana.
"Ya ... Bunda gak bisa ambil kesimpulan sih mana yang harus dikasihani, apa mbaknya? Atau anak yang dalam kandungan itu."
"Coba kalau mbaknya bisa tahan dan jaga diri, gak akan tuh kejadian. Ah, tapi udahlah ya, ngapain juga kita mikirin," ujar Bunda sambil memeragakan gaya bicara mak-mak yang biasa ngegosip.
Hana tertawa setelahnya. "Iya, Bund. Kan Tuhan hakim yang maha adil, pasti apa pun peristiwa akan ada imbalannya."
"Betull, entah baik buruknya juga tergantung apa yang kita lakukan itu 'kan," seru Bunda.
Sedangkan Hana mengangguk untuk mengiyakan opini tersebut.
Sebelum Bunda meninggalkan tempat, ia mengelus pundak Hana dengan senyum yang merekah. Namun, sebelum bunda lenyap dari belakang pintu, ia memberi tahu Hana tentang sesuatu.
"Oh iya, Han." Hana yang tadinya menunduk menatap baris kata dalam buku pun menoleh ke arah Bunda yang sedang di ambang pintu."Tadi Reyhan mampir ke sini," katanya.
Sedangkan Hana mengangkat kedua alisnya. "Ya ... gak ada hubungannya sih sama kamu, tapi kasihan. Abis cekcok sama keluarganya dan ... ya sekarang tinggal berdua sama adiknya."
Hana mengangguk pelan, sebenarnya ia pun sedikit tahu akan hal itu meski tidak sepenuhnya.
Saat bunda hendak menutup pintu, Hana menyegah. "Bunda!"
Alhasil Bunda pun menyemburkan kepalanya dari balik pintu.
"Hehe, Hana boleh minta alamat rumah Reyhan gak, Bun?"
Sejenak bunda berpikir."Ehmm, ya udah nanti Bunda shareloc."
Gadis penjaga perpustakaan itu pun merekahkan sudut bibirnya."Terima kasih, Bunda ...."
***
Di teduhnya awan kelabu, Hana melampah menuju rumah seseorang. Seorang yang telah mengambil separuh hatinya untuk dijaga. Masih dengan pakaian pegawai perpustakaan dan tas slempang yang menjadi kawannya saat itu.
"Bener gak ya ini rumahnya?" tanyanya pada diri sendiri.
Matanya terus melihat sekeliling rumah yang tak berukuran kecil itu. Berasa orang kecil sekali saat Hana berdiri tepat di depan gerbangnya.
"Pak, Reyhannya di rumah?" tanya Hana pada satpam rumah Reyhan.
"Oh, iya neng. Mas Reyhan di rumah, tapi maaf, neng ini siapa ya?"
"Oh, saya temannya, Pak," jawab Hana dengan senyum yang ramah.
"Owalahh, ini mau saya panggilkan atau-"
"Ya, Pak, tolong dipanggil ya ...."
Sembari menunggu pak satpam memanggil Reyhan dengan telepon genggamnya, Hana duduk di kursi yang ada di pos pak satpam.
Tak butuh waktu lama, Reyhan keluar dari rumah dengan menggunakan celana pendek cargo loreng dan kaos yang bewarna hitam. Sesimpel itu fashionnya, tapi tetap berkarisma jika dipandang mata.
Siapa yang tidak terpesona melihatnya? Seorang Hana Almeera saja bisa mebohongi diri jika tidak tertarik pada karisma Reyhan Alkantara.
Reyhan menghampiri Hana yang masih tetap duduk memandangnya.
"Makasih ya, Pak," ujarnya pada Pak satpam seraya melambaikan sebelah tangan.
Sedangkan Hana masih terus menatap Reyhan dan memamerkan senyum indahnya. Cowok di hadapannya itu pun mengerutkan alis serta turut merekahkan sudut dari bibirnya.
"Kenapa senyum-senyum kayak gitu?" tanyanya. Sedangkan Hana membalasnya dengan gelengan.
Reyhan pun mengulurkan tangannya untuk mengajak masuk dan Hana meraihnya dengan sepenuh hati.
Cowok pemilik rumah itu tetap terus menggandeng Hana untuk menuju taman. Selain suasananya yang adem, Reyhan juga berharap perbincangannya dengan Hana nanti sesejuk saat dia memandang tumbuhan.
"Duduk dulu," pintah Reyhan.
"Terus kamu mau ke mana?" tanya Hana saat mengetahui Reyhan akan beranjak.
"Ambil minum sebentar."
"Gak usah, Rey. Aku ke sini cuma mau ajak kamu ngobrol aja," kata Hana sambil menyelipkan helai rambutnya ke telinga kanan.
Reyhan mengembuskan napasnya mencoba memahami maksud dari kekasihnya itu. "Okey kalau gitu."
Hana pun menepuk kursi kosong yang ada di sampingnya, berniat mengajak Reyhan untuk duduk. Dan Reyhan duduk sambil menopang badannya dengan kedua siku, sedangkan kepalanya menunduk untuk sementara sebelum akhirnya menoleh menghadap Hana.
"Ya udah, mau ngomong apa?" tanya Reyhan.
Hana tersenyum lebar sambil mengerutkan kedua pundaknya sebentar. "Gak tau juga sih, ngalir-ngalir aja."
"Kamu ... gak mau bahas apa gitu?" lanjutnya bertanya.
"Di tanyain malah nanya balik," gerutu Reyhan. Sedangkan Hana tertawa ringan.
Hening pun menyelimuti kebersamaan mereka, meski tak lama. Karena pada akhirnya, Reyhan bersuara seperti seorang yang puitis, dan tentu tak sulit untuk Hana memahami itu.
"Aku, pernah duduk termenung, sampai akhirnya hatiku bersuara untuk membiarkan angin menerpa kehidupan yang penuh akan kebahagiaan, kebahagiaan yang hanya sementara kita rasakan. Namun, setiap hembusan angin yang menerpa, aku mencoba untuk mengikhlaskan apa yang telah datang dan akan pergi layaknya daun yang melekat pada pohon yang diterpa angin untuk gugur," katanya sambil menatap tumbuhan hijau yang bergoyang tertiup angin.
Hana tersenyum mendengarnya, tak heran jika cowok yang kini berada di sampingnya berujar seperti itu, karena Hana tau, Reyhan juga suka mengutak-atik lirik lagunya sendiri.
Gadis berambut panjang itu meraih jemari Reyhan untuk digenggamnya."Jika hidup ini penuh dengan hitam putih, maka pelangi yang membuatku tersenyum semangat, karena warna indahnya yang datang setelah hujan, dan kamu hadir ketika hujan telah redah. Jika aku akan pergi seperti pelangi yang hanya nampak sementara, ikhlaskan seperti halnya angin yang telah mengajarkanmu arti itu semua."
Reyhan menerima pernyataan Hana dengan merangkulnya penuh kehangatan, tanpa memahami dulu apa yang dimaksud oleh gadis di sebelahnya itu. Karena baginya kini, adanya seorang Hana cukup mampu mengisi kekosongan waktu dan hatinya.
***
Terima kasih pren🌷
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary |End|
Teen FictionReyhan Alkantara "Biarkan angin ini menerpa kehidupan yang penuh akan kebahagiaan, kebahagiaan yang hanya sementara kita rasakan. Namun, setiap hembusan angin yang menerpa, aku mencoba untuk mengikhlaskan apa yang telah datang dan akan pergi layakny...