Epilog; Aksa

2.2K 410 95
                                    

"Kisah lama kadang ada untuk dijadikan pelajaran, bukan untuk diulang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kisah lama kadang ada untuk dijadikan pelajaran, bukan untuk diulang. Ada yang datang untuk menetap, ada pula yang datang lalu lenyap."


Here we go again.

Masih dengan seorang Aksa Adhitama yang gagal move on, bujangan paling berumur di kontrakan, papi penggantinya Bocils, dokter pribadinya tujuh mahasiswa kucel dan kecengannya Pak Bima, si penguasa bangunan Andromeda mutlak dan yang mulia bagian penagihan uang sewa.

Gue jujur gak ngerti kenapa Pak Bima demen banget jodohin gue sama Teh Alina. Walaupun anak sulungnya itu seumuran sama gue, tetep aja berat hati gue kalau panggil dia langsung pakai nama. Bayu udah kepalang mupeng naksir sama itu perempuan, tapi Pak Bima malah kencang kirim sinyal ke gue sejak lama. Seolah stok laki-laki mulai menipis dan takut anak gadisnya itu gak kebagian. Mungkin karena faktor pekerjaan gue yang lumayan dibilang mapan dan menetap, prospeknya bagus untuk kehidupan masa depan. Apalagi di kontrakan cuman gue yang punya moge yang katanya sangar, lainnya pakai matic dan sepeda doang. Belum tahu dulu DP-nya hutang dulu ke Mama, sampai sekarang pun cicilannya masih belum lunas.

Gue juga gak ngerti kenapa mahasiswi kampus sebelah memang suka bisik-bisik ketika gue lewat mau berangkat kerja. Bukan bermaksud sok ganteng, tapi memang gue ganteng dengan alasan karena mama lahirin gue dengan jenis kelamin laki-laki bukan perempuan. Cakep itu relatif. Apa gunanya tampang tampan kalau pasangan pun belum bisa digandeng tangan?

Sumpah. Ngenes banget gue gak bisa lupa sama bini orang.

Pertemuan gue dengan Adisa sekarang bagaikan benang kusut yang gak tahu ujungnya di mana sebab gue gak bisa lagi menemukan titik awal dan titik ujung bagaimana gue harus segera mengakhiri kisah ini. Bayangan klise masa lalu selalu datang sewaktu gue memutuskan untuk mulai bergerak maju, seolah menarik gue kembali lagi dan lagi berulang kali. Dan jujur gue capek banget karena mengharapkan apa yang gak mungkin bisa lagi gue genggam. Jangankan gue genggam, berpikir bisa mengulang masa lalu aja kedengarannya sudah sangat mustahil. Mimpi doang digede-gedein, padahal realitanya sama sekali gak berpihak.

Orang dengan mudahnya bilang 'cari yang lebih baik' atau 'ngapain buang-buang waktu'. Kalau pada kenyataannya inilah titik di mana zona nyaman gue berada, mereka bisa apa? Kalau gue memutuskan untuk berdiam diri di tempat yang sama sejenak, apa mereka akan mengerti alasan gue gak ingin berpindah ke mana-mana? Apa mereka akan paham kalau Adisa akan selalu jadi tempat gue pulang selain rumah dan Andromeda?

Yang lebih lucu lagi ketika semesta menentang gue di saat gue lagi gak siap, Adisa datang lagi dengan kabar yang bikin gue jatuh sejatuh-jatuhnya.

"Aksa, lahir cewek, nih. Namanya Raisa."

Pesan itu gue dapatkan ketika jam pulang kerja. Kebetulan sore itu lagi gelap kayak mau hujan, tapi sampai besok paginya hujannya gak ada datang sama sekali. Iringan awan kelabu mengantar gue pulang dengan kehampaan dan kebisuan. Gue gak menyapa anak-anak pas sampai di kontrakan agak malaman, sekitar jam tujuh. Bayu yang peka pertama kali ketika gue masuk kontrakan dengan wajah datar dan menenteng bingkisan yang ukurannya lumayan dengan kartas kado yang motifnya berbentuk pelangi dan awan dengan background warna merah muda. Pasalnya, selama gue tinggal di sini selama beberapa tahun, dua-tiga tahunan kayaknya, gue gak pernah kasih kado ke siapapun pakai bungkus yang terbilang norak kayak gini. Biasanya pakai kotak minimalis dengan balutan warna gelap tanpa motif.

ANDROMEDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang