MWB-35. A Hero

2.9K 173 9
                                    

Bu Jana mengabsen satu per satu siswa kelas 12 IPS 4, tempatnya mengajar saat ini. Baru saja enam orang yang ia panggil tapi panggilan kali ini tidak ada sahutan. Bu Jana mendongak dan menekuri pandangannya ke seluruh kelas, "Di mana Dafa Mustafa?"

"Ng—nganu Bu, saya baru dapat kabar kalau bapaknya Dafa masuk rumah sakit kena serangan jantung. Jadi, Dafa izin gak masuk Bu." Sahut Rendy setelah mendapatkan pesan dari Rion yang mengabarkan posisi Dafa saat ini.

"Oh ya? Ya ampun kasihan banget ya Dafa. Kalian harus kasih support buat Dafa, dia mungkin lagi down sekarang."

Vivi di tempat duduknya menyikut Kina, "Kin. Lo gak dikabarin apa-apa sama Dafa?" tanya Vivi dengan ekspresi khawatir.

Kina juga khawatir dan kaget saat Rendy mengatakan kondisi bapaknya Dafa. Dia menggeleng, "Pulang sekolah kita jenguk Bapaknya Dafa yuk?" ajak Kina yang dibalas dengan anggukan Vivi.

Siang menjelang sore saat jam pelajaran telah selesai Kina, Vivi, Sandra, Rendy, dan tiga orang lainnya berkumpul di depan sekolah untuk bersama-sama ke rumah sakit.

Sengaja hanya dipilih perwakilan saja khawatir kalau kebanyakan orang justru membuat suasana tidak kondusif.

Kina berdiri di ambang di pintu salah satu kamar di rumah sakit. Di sana ia bisa melihat Dafa yang tengah menjadi sandaran bagi seorang wanita paruh baya. Kina menduga wanita itu adalah ibunya Dafa. Wanita itu terlihat begitu tak berdaya, duduk di atas brankar dengan tangannya dialiri selang infus. Ia melihat ke sekeliling tapi tak mendapati sosok yang mungkin sebagai bapaknya Dafa di sana. Tiba-tiba saja perasaan Kina menjadi sangat khawatir.

Hingga Vivi menariknya masuk, Kina baru bisa tersadar dengan tujuan mereka ke sini yakni untuk memberi support pada teman sekelasnya, Dafa.

Kondisi Dafa juga tidak bisa dibilang baik-baik saja. Meskipun dia menampilkan senyum di wajah namun raut lelah sangat jelas terlihat.

"Gimana kondisi Bapak lo Daf?" tanya Rendy.

"Ayah alhamdulillah baru saja keluar dari ruang operasi. Sekarang masih di ICCU. Tapi Ibu langsung drop pas tahu Ayah kena serangan jantung, makanya jadi kaya gini." Dafa tersenyum dan mengelus rambut Ibunya yang masih bersandar di pundaknya.

Ibu Dafa mengangguk dan juga tersenyum pada teman-teman Dafa yang sudah datang. "Ayla, Aliyah, itu camilannya jangan dimakan sendiri aja, kasih ke temen-temennya Bang Dafa." Ucap Ibunya Dafa dengan nada lemah pada dua perempuan yang duduk di kamar itu juga. Sepertinya mereka berdua adalah adiknya Dafa. Yang besar mungkin masih SMP dan yang kecil bisa jadi masih SD.

"Gak usah repot-repot Bu," balas Rendy langsung saat melihat dua adik Dafa menyiapkan berbagai makanan ringan dan buah yang ada di depan mereka.

"Bu, kenalin ini temen-temennya sekelas Dafa. Ada Rendy, Bagas, Dalimin—eh maksudnya Damien, Vivi, Sandra, dan Kina." Dafa menunjuk satu per satu temannya sambil menyebutkan nama.

"Terima kasih ya teman-temannya Dafa sudah mau ke sini. Sayangnya Ayahnya Dafa belum bisa dijenguk sekarang, Ayah pasti senang kalau lihat kalian."

"Iya gak apa-apa Bu. Alhamdulillah kalau operasinya lancar. Ayahnya Dafa pasti bisa cepat sembuh." Tambah Sandra.

"Bu, aku tahu sih temennya Bang Dafa. Itu lho yang pernah aku ceritain ke Ibu pas aku baca buku tulisnya Bang Dafa." Ucap Aliyah—adik Dafa yang paling kecil—tepat di telinga Ibunya. Tapi karena suaranya cempreng, semua orang dalam ruangan pun bisa mendengarnya.

Ibu Dafa mengerutkan dahi. "Siapa?"

"Ih itu Kak kina, di buku tulisnya Bang Dafa ada namanya kak Kina, ada gambar love juga di sebelahnya. Itu kayanya pacarnya Bang Dafa deh Bu,"

Kina tersentak mendengar bisik-bisik anak kecil yang tidak bisa dibilang bisik-bisik itu. Sandra menyenggol tangan Kina, sementara yang lain menahan tawa sambil memberikan kode-kode pada Dafa dan Kina bergantian.

Mata Ibu-nya Dafa melirik ke arah Kina. Wanita paruh baya itu menghela nafas sambil bergantian melirik ke arah Dafa yang sedang mendelik ke arah Aliyah.

"Sorry Kin, Aliyah ini becanda doang. Aliyah baru belajar baca, pasti salah baca aja," sanggah Dafa.

"Enggak-lah aku udah mulai lancar kok bacanya. Tanya tuh sama Mbak Ayla, dia juga baca buku tulisnya Bang Dafa."

Dafa langsung mendelik pada Ayla yang meringis-meringis saja di pojokan.

"Udah-udah jangan bertengkar. Malu sama teman-temannya Bang Dafa." Ibu Dafa melerai anak-anaknya yang terbiasa bertengkar di mana pun dan kapan pun. "Daf, Hayom mana? Gak datang juga?" tanya Ibu Dafa mencoba mengalihkan perhatian. Ia tahu kalau pembahasan tadi dilanjutkan bisa membuat anaknya dan gadis cantik di depannya semakin malu. Meskipun sebenarnya ia penasaran juga.

"Hayom udah pulang Bu. Tadi kan seharian dia di sini waktu Ibu pingsan. Kasihan dia pasti capek," balas Dafa.

"Ooh. Padahal Ibu mau bilang terima kasih langsung sama dia. Kalau gak ada Hayom, Ibu gak tahu Ayah bisa diselamatkan atau tidak. Tolong bilangin ke dia ya Daf, bilang terima kasih udah mau bantuin nalangin buat bayarin operasinya Ayah."

"Aku udah bilang tadi Bu. Tapi kalau Ibu mau bilang langsung, besok dia juga mau ke sini katanya."

"Gak perlu ke sini kalau bikin repot Daf. Nanti kalau Ibu udah mendingan, Ibu yang nemuin Hayom langsung. Alhamdulillah, Bang Dafa punya teman-teman yang baik banget. Kayak kalian ini, udah mau repot jengukin Ayah dan Ibu. Makasih ya..." Ibu Dafa tersenyum tulus pada lima orang di depannya.

**

Kina mendapati Hayom duduk di sofa ruang tengah setelah makan malam selesai. Cowok itu sedang menonton siaran langsung IBL di tv yang besar itu.

Hayom menoleh saat melihat Kina meletakkan camilan di meja depan TV. Kina memosisikan diri di sebelah Hayom dan matanya ikut melihat ke layar TV.

"Thank's ya Yom," ucap Kina.

"Buat apa?"

"Udah mau bantuin Ayahnya Dafa buat operasi."

Hayom berdecak, dia mengambil teh hangat yang dibuatkan Kina dan menyesapnya. Kemudian, Hayom menoleh ke samping, "Gak perlu terima kasih. Gue cuma bantu dikit. Lagian kan gue udah bilang, Dafa itu salah satu temen gue yang paling baik. Jadi ya gue harus bantu dia kalau lagi susah,"

"Ya tapi kan tetap aja." Kina tidak tahu arti sedikit bagi Hayom. Yang ia tangkap dari pembicaraan Dafa dan Ibu-nya tadi adalah kalau tidak ada Hayom maka nasib Ayahnya Dafa tidak bisa ditentukan.

"Mereka itu punya asuransi Kin. Tapi karena operasinya mahal, jadi plafon asuransinya gak bisa melunasi semuanya. Gue cuma bantu nutup sisa plafon-nya aja,"

"Ya apa pun itu gue tetap terima kasih," Kina menggeser tubuh. Ia memeluk Hayom dari samping. Sekali lagi ia bangga dengan laki-laki yang statusnya adalah suaminya itu. Tidak menyangka kalau Hayom bisa berbuat baik seperti ini dan memiliki rasa simpati yang besar pada temannya.

Hayom hanya terkekeh saat Kina memeluknya erat. Ia mengelus punggung Kina dengan tangan panjangnya. Tanpa ragu ia juga mengecupi pucuk-pucuk rambut di kepala Kina.

Keduanya terlihat cukup dekat dan mesra hingga suara toples tupperw*re yang terjatuh membuat mereka terkejut.

Mbok Lastri meringis sambil memunguti isi toples yang bertebaran di lantai. "Maaf ya Mas Hayom dan Mbak Kina, udah lanjutin aja. Tadi Mbok gak lihat kok," ucap Mbok Lastri sambil berlari-lari kecil ke belakang.

Kina dan Hayom berpandangan dan seketika tergelak bersama saat pelukan keduanya belum terlepas.

**

Im trying to cut the story....but....susah karena dari awal rencananya cerita ini akan cukup panjang.... Gpp yaa... 😁😁😁

MARRIAGE WITH BENEFITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang