KMB | 04 : Perjanjian Berbahaya

8.6K 674 33
                                    

Axel duduk di depan Liam, menatap ke arah jendela kafe yang kini tertutup embun akibat hujan. Kepalanya berdenyut, penuh dengan pikiran yang kacau. Bagaimana mungkin segalanya berubah begitu cepat? Liam, sahabat masa kecilnya yang dulu selalu ada di sisinya, kini membawa aura gelap yang tak bisa diabaikan. Axel masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa Liam adalah pemimpin dari kelompok mafia yang paling ditakuti di kota ini.

“Aku butuh waktu untuk memikirkannya,” Axel akhirnya berkata, berusaha menenangkan dirinya. Dia tidak tahu bagaimana harus merespons pernyataan Liam yang menuntut jawaban tentang perasaan mereka, apalagi sekarang saat hidupnya tergantung pada seutas tali tipis di antara bahaya dan cinta yang tertunda.

“Tentu,” jawab Liam, suaranya lebih lembut kali ini. “Aku tidak memaksamu. Tapi kau tahu, waktu kita tidak banyak, Axel.”

Liam berbicara dengan ketenangan yang dingin, dan itu justru membuat Axel semakin gelisah. Dia bisa merasakan bahwa di balik kata-kata lembut Liam, ada ancaman yang lebih besar. Ketika Liam mengatakan bahwa waktu mereka terbatas, Axel tahu itu bukan sekadar pernyataan tentang hubungan mereka, tetapi lebih kepada situasi yang mengancam nyawanya.

“Kita harus mulai bergerak,” Liam berkata setelah beberapa menit hening. “Aku akan mengantarmu pulang, tapi mulai sekarang, kau harus lebih hati-hati.”

Axel mengerutkan kening. “Hati-hati? Apa maksudmu?”

“Mereka mungkin sudah tahu kau berhubungan denganku,” jawab Liam singkat. “Kelompok mafia lain tidak akan tinggal diam setelah kejadian tadi malam.”

Axel menggigit bibirnya, mencoba menahan kegelisahan yang mulai merayapi tubuhnya. “Liam, aku... aku tidak ingin terlibat dalam semua ini. Aku hanya ingin hidup normal.”

Liam menatap Axel dalam-dalam, wajahnya berubah serius. “Sayangnya, Axel, pilihan itu sudah tidak ada lagi. Sejak insiden itu, kau sudah terlibat. Satu-satunya cara untuk bertahan hidup sekarang adalah dengan berada di sisiku.”

Axel ingin membantah, ingin mengatakan bahwa semua ini tidak masuk akal, tapi di dalam hatinya, dia tahu Liam benar. Pria yang dia tabrak malam itu bukan orang biasa, dan sekarang dia berada di tengah pusaran konflik mafia yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.

“Dan tentang kita,” Liam melanjutkan, memecah lamunan Axel. “Kau belum menjawab pertanyaanku.”

Axel merasa ada tekanan besar di dadanya. Tidak mungkin dia bisa memberikan jawaban sekarang, saat semua terlalu kacau. Dia bahkan tidak yakin apa yang dia rasakan terhadap Liam lagi. Perasaan yang dulu ada—kehangatan, persahabatan, dan mungkin cinta—sekarang terbungkus oleh rasa takut dan kebingungan.

“Aku tidak bisa memberimu jawaban saat ini,” Axel berkata dengan jujur. “Semua ini terlalu... rumit.”

Liam menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak. Axel berharap ada amarah atau kekecewaan di mata Liam, tapi yang dia lihat hanyalah ketenangan yang mengkhawatirkan.

“Baiklah,” jawab Liam singkat. “Aku akan memberimu waktu. Tapi ingat, Axel, aku tidak akan menunggu selamanya.”

Mereka berdua berdiri, dan Liam mengeluarkan ponselnya, mengirim pesan singkat. Tak lama kemudian, sebuah mobil hitam berhenti di depan kafe. “Aku akan memastikan kau sampai di rumah dengan selamat,” kata Liam, mengisyaratkan agar Axel masuk ke dalam mobil.

Axel ragu sejenak, tetapi akhirnya mengikuti Liam masuk ke dalam mobil yang sudah menunggu. Sepanjang perjalanan, mereka berdua terdiam, hanya suara hujan yang terdengar samar di luar. Axel mencoba mencerna semuanya, tapi pikirannya masih berkabut oleh ketakutan dan ketidakpastian. Sesekali, dia melirik ke arah Liam yang duduk di sampingnya, tatapan pria itu tetap tenang seperti biasa.

Ketika mereka tiba di apartemen Axel, Liam menghentikan mobilnya. “Ini tempat yang aman,” kata Liam. “Tapi aku akan mengirim beberapa orang untuk berjaga di sekitar sini. Hanya untuk berjaga-jaga.”

Axel menatap Liam dengan bingung. “Aku tidak butuh pengawalan, Liam. Aku bisa menjaga diriku sendiri.”

“Kau tidak mengerti seberapa besar bahaya yang mengintaimu sekarang, Axel,” jawab Liam tegas. “Iron Fist Coalition tidak main-main. Mereka tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang mereka inginkan, dan sekarang kau terjebak di tengah-tengahnya.”

Axel menghela napas panjang. Dia tidak suka kenyataan bahwa dia harus bergantung pada Liam, tapi dia juga tahu bahwa menolak bantuan itu sama saja dengan menantang maut.

“Aku akan menunggumu di dalam mobil sampai kau masuk ke apartemenmu,” kata Liam akhirnya. “Dan ingat, jangan buka pintu untuk siapa pun kecuali aku.”

Axel mengangguk pelan, lalu turun dari mobil. Hujan mulai reda, menyisakan jalan yang basah dan udara dingin. Axel menengadah, menatap apartemennya yang tampak sunyi. Dia ingin semua ini berakhir, ingin hidupnya kembali normal, tapi dia tahu itu hanya mimpi yang mustahil.

Saat dia berjalan menuju pintu masuk apartemen, Axel merasakan sesuatu yang aneh. Ada perasaan bahwa dia sedang diawasi. Dia berhenti sejenak, melihat ke sekitar, tapi tak ada yang tampak mencurigakan. Hanya jalanan kosong yang tersapu hujan.

“Axel!”

Axel tersentak ketika suara Liam memanggilnya dari dalam mobil. “Masuk sekarang!” seru Liam dengan nada mendesak.

Axel segera berlari masuk ke dalam gedung apartemennya, dan begitu pintu tertutup, dia merasakan jantungnya berdetak kencang. Sesuatu sedang terjadi, tapi dia tidak tahu apa. Dia menatap ke luar jendela, melihat mobil Liam yang masih terparkir di luar. Untuk sesaat, dia merasa aman, meskipun tahu bahaya masih mengintai di luar sana.

Axel berjalan menuju jendela, memperhatikan Liam yang masih di dalam mobil. Sesaat, dia merasa lega melihat sosok yang dia kenal, meskipun sekarang membawa begitu banyak perubahan. Namun, di balik rasa lega itu, Axel juga tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

---

.
.
.

To be continued.... ♡

Warning : Cerita ini sudah aku rombak total dari alur sebelumnya! Yang sudah baca silahkan dibaca ulang

[𝐁𝐋] Kiss Me, Bastard!! [End✓ | New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang