Ketika anggota Iron Fist mengangkat senjata, Axel merasakan jantungnya berdegup kencang. "Liam!" serunya, berharap sahabatnya bisa menemukan cara untuk melawan. "Kita tidak bisa menyerah!"
Liam, dengan tatapan berapi-api, bersiap menghadapi situasi tersebut. "Kita harus mencari jalan keluar," dia berkata, matanya menilai kemungkinan di sekitar mereka.
"Jangan bergerak!" anggota itu berteriak, semakin mendekat dengan senjata teracung. "Atau aku akan menembakkan peluru ini ke kepalamu."
Axel menelan ludah, mengingat semua yang telah mereka lakukan untuk sampai ke titik ini. "Kau tidak bisa membiarkan kami pergi," dia mencoba berbicara tenang. "Jika kau membunuh kami, kau tidak akan pernah tahu apa yang kami temukan."
Tapi itu hanya memperburuk keadaan. "Aku tidak peduli dengan informasimu!" seru anggota Iron Fist, semakin mendekat.
Liam menyadari bahwa waktu mereka semakin sedikit. "Dengar," dia berusaha berbicara, "kita bisa bernegosiasi. Jika kau membiarkan kami pergi, kami bisa memberi tahu kalian tentang rencana kelompok mafia lainnya."
Mata anggota itu menyempit, menilai tawaran Liam. "Kau pikir aku akan mempercayai dua penyusup seperti kalian?" dia tertawa sinis.
"Tidak ada yang akan mempercayaimu jika kau membunuh kami," jawab Axel, berusaha menciptakan jeda waktu. Dia mengamati sekeliling untuk mencari cara melarikan diri. Di belakang anggota itu, Axel melihat pintu darurat yang sedikit terbuka. "Kita harus membuatnya melawan kita," pikirnya.
Sebelum anggota Iron Fist itu bisa merespons, Axel meraih tasnya dan melemparkan beberapa dokumen yang berhasil mereka ambil ke arah anggota itu. "Jangan sampai kau tertangkap!" teriak Axel, berlari ke arah pintu darurat.
Keputusan itu mengejutkan anggota Iron Fist, dan saat dia mengalihkan perhatian ke dokumen-dokumen yang bertebaran, Axel dan Liam berlari secepatnya. "Ayo!" Liam meneriakkan semangat saat mereka berlari menuju pintu darurat.
Begitu mereka mencapai pintu, Axel mengeluarkan tenaga terakhirnya untuk mendorong pintu dan berlari ke luar. Mereka berada di lorong belakang markas, dan Axel merasa angin malam menyentuh wajahnya, memberi harapan baru.
Tetapi kelegaan itu hanya bertahan sebentar. "Ayo, ke arah sana!" Liam berlari sambil menunjukkan jalan ke luar markas. Namun saat mereka melangkah lebih jauh, mereka mendengar suara langkah kaki yang mendekat.
"Cepat!" Axel mendesak, menarik Liam untuk bersembunyi di balik semak-semak.
Mereka bersembunyi, merasakan ketegangan melingkupi mereka saat anggota Iron Fist muncul di depan. "Di mana mereka?" suara salah satu anggota menggelegar. "Cari di luar!"
Axel menahan napas, merasa seakan waktu berhenti. Dia merasakan bahaya mengintai, dan semangatnya semakin pudar. "Kita harus menemukan mobil atau sesuatu untuk melarikan diri," dia berbisik kepada Liam.
"Di belakang markas seharusnya ada mobil," Liam menjawab. "Kita bisa mencuri salah satu dari mereka."
Mendengar itu, Axel merasakan dorongan untuk beraksi. Mereka bergerak perlahan, mencoba menghindari perhatian anggota yang berpatroli. Akhirnya, mereka sampai di area parkir belakang, di mana beberapa mobil terparkir.
"Mari kita ambil yang itu," Liam menunjuk ke sebuah sedan hitam yang terlihat tidak terpakai. Axel mengangguk, merasakan harapan menyala kembali.
Ketika mereka mendekati mobil, Axel berusaha membuka pintu. "Kunci, di mana kuncinya?" bisiknya panik. Namun sebelum mereka bisa masuk, suara langkah kaki mendekat lagi.
"Keberuntungan kita mungkin sudah habis!" teriak Liam, berusaha membuka pintu dengan cepat.
Dengan putus asa, Axel meraih tasnya dan menemukan kunci cadangan yang mereka ambil sebelumnya. "Ini dia! Semoga berhasil," katanya sambil memasukkan kunci ke dalam lubang kunci dan memutar.
Mobil itu menyala, dan suara mesin yang memekakkan telinga mengisi udara malam. "Ayo! Masuk!" Liam teriak, segera melompat ke kursi penumpang.
Axel melompat ke kursi pengemudi dan menginjak gas. Mobil melaju dengan cepat, meninggalkan markas Iron Fist dan ketegangan yang mengancam mereka. Tetapi saat mereka melaju ke jalanan gelap, ketakutan dan kekhawatiran masih menyelimuti pikiran Axel.
"Apakah kita sudah aman?" Liam bertanya, memandang ke belakang seolah berharap tidak ada yang mengejar mereka.
Axel menoleh ke arah Liam, merasa berat untuk menjawab. "Belum," katanya, menambahkan ketegangan di dalam mobil. "Kita belum bisa tenang sampai kita tahu apa yang mereka rencanakan."
Saat mereka melaju lebih jauh, Axel merasakan perasaannya campur aduk. Mereka berhasil melarikan diri, tetapi bahaya masih mengintai. Dalam perjalanan menuju tempat aman, Liam tampak gelisah. "Apa yang harus kita lakukan selanjutnya?" dia bertanya, sorot mata penuh harap.
"Kita harus memberi tahu Blackout tentang rencana Iron Fist," jawab Axel. "Jika kita bisa mendapatkan dukungan mereka, mungkin kita bisa melawan."
"Tapi aku takut mereka tidak akan mempercayai kita," Liam berkata, menghela napas. "Mereka mungkin berpikir kita hanya mencoba menipu."
Axel merasa berat di dadanya. Dia tahu Liam benar. Namun, mereka tidak punya banyak pilihan. "Kita harus mencobanya. Tidak ada cara lain."
Dengan tekad yang baru, Axel mengarahkan mobil ke markas Blackout. Dalam hati, dia berharap mereka bisa menemukan cara untuk mengakhiri semua ini, sebelum Iron Fist menghabisi mereka.
Tetapi saat mobil mendekati markas, perasaan cemas menyelimuti Axel. "Apakah kita akan siap menghadapi konsekuensinya?" pikirnya. Semua risiko yang mereka ambil terasa semakin nyata saat mereka melangkah ke dalam kegelapan yang lebih dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
[𝐁𝐋] Kiss Me, Bastard!! [End✓ | New Version]
Roman pour AdolescentsAxel Rodman tak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam satu malam tragis ketika tanpa sengaja dia menabrak seseorang di tengah jalan. Setelah kecelakaan itu, ancaman mulai menghantui hidupnya. Teror demi teror datang dari organisasi mafia mist...