BMT - 03

4.2K 309 18
                                    

•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada di masa kita tidak bisa menerima takdir itu sepenuhnya, tetapi kenyataan memaksa untuk semua itu diikhlaskan, dan hal itu benar-benar menjadi titik terendah dalam diri kita

~Meccah Az-Zihra Azhar


"Pagi yah," sapa Zizi yang sudah memulai sarapannya terlebih dahulu.

Sedari tadi ia menunggu kedua orang tuanya, tapi belum juga datang. Akhirnya ia memutuskan sarapan sendirian, dan sudah tiga puluh menit waktu sarapan terlewatkan, baru papanya datang.

"Maaf, ayah telat," ucap Azka sambil mencium kening putrinya itu. Ia tahu pasti Zizi sangat kesal kerena telah melewatkan waktu sarapan sendirian saja.

"Bunda mana?" Tanya Zizi sambil membantu menyiapkan sarapan untuk papanya.

"Bentar lagi datang," jawab Azka dan Zizi hanya diam saja mendengar jawaban dari papanya.

"Kapan berangkat ke Singapura?" Tanya Azka.

"In sya Allah minggu depan yah," mendengar hal itu Azka langsung meletakkan sendok kembali ke atas piring dan menghela napasnya cukup berat.

"Selesai sarapan ada yang ingin ayah bicarakan," mendengar hal itu Zizi sedikit kaget tidak biasa-biasanya papanya meminta waktu untuk berbicara dengannya dengan raut wajah penuh keseriusan seperti ini.

Tidak berselang lama, Hanum datang sambil mengambil posisi duduk di samping Zizi. "Udah siap sarapannya?" Tanya Hanum.

"Udah bun, sekarang bunda yang sarapan jangan sampai telat," jawab Zizi dengan menyiapkan sarapan untuk bundanya.

"Makasih," ucap Hanum sambil tersenyum hangat.

"Sama-sama bunda sayang," jawab Zizi.

Setelah sarapan pagi mereka selesai, sekarang Zizi bersama kedua orang tuanya sedang berkumpul di taman belakang rumah. "Ayah sama bunda mau bicara serius dengan kamu," ucap Azka.

"Ada apa, yah?" Tanya Zizi dengan sedikit bingung.

"Ayah sama bunda mau kamu pindah bekerja ke Jakarta," mendengar hal itu membuat Zizi tersentak kaget. Sebab ia sudah sangat nyaman bekerja di sana.

Sedangkan kalau ia kembali ke Jakarta, sama saja ia membuka kembali luka lama. Baru beberapa hari di Jakarta saja, luka lama itu kembali terbuka dengan mudahnya. Ia pun merasa takdir terus mempertemukannya dengan laki-laki itu dan ia merasa tidak nyaman dengan hal itu.

"Zi?" Mendengar hal itu Zizi kembali tersentak dengan gejolak yang ada di hatinya.

"Harus ya yah, bun?" Tanya Zizi dengan sedikit meredam rasa tidak sukanya dengan pembicaraan saat ini.

Bukan Muara Terakhir ✓(Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang